Thursday, November 28, 2024

Masjid Agung Paris: Sebuah Cerita tentang Bagaimana Umat Muslmi Menyelamatkan Yahudi selama Holocaust

 


Bukankah ini luar biasa? Ketika Muslim dari tempat yang sekarang disebut sebagai tempat paling Islamofobik di dunia, justru menerima Yahudi dengan tangan terbuka saat kesulitan paling keras menghantam buminya? 

Muslim di sana bukan orang yang paling makmur, dan bukan orang yang dilimpahi kekuasaan. Tapi, mereka mampu memberikan keselamatan dan melindungi pihak yang dipersekusi. 

Tapi mengapa orang Perancis tidak belajar dan melihat ini? 

Aku ingin menjadikan ini sebagai bahan untuk dibaca dalam sebuah workshop. Harus beli buku ini dulu, pasti. Bagaimana caranya, entah aku belum tahu. Tapi aku punya tekad untuk itu. Semoga bisa terbeli dulu. 

Thursday, July 18, 2024

Bagikan Ilmu Biarpun Secuil

“Allah meninggikan orang-orang yang beriman  di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yng kamu kerjakan.

(QS Al Mujadalah: 11)

Ayat ini mengingatkan betapa aku dijuluki, dilabeli, dan disikapi sebagai seseorang yang berilmu. Aku menanggung gelar magister di pundakku. Dari luar negeri pula. Betapa orang akan memandang ini sebagai sesuatu, seolah aku adalah orang berilmu. Terkadang aku merasa, terkadang juga tidak merasa. Karena toh sikapku sebagai orang dewasa, mungkin merasa terkadang aku bertindak seperti anak-anak.

Maka dari itu, aku terkadang perlu menyadari satu hal: bahwa ada hal yang aku sudah ketahui dan aku pahami setelah studiku yang sekian lama ini. Ada jurnalisme damai yang aku tahu, ada kajian keamanan, dan ada banyak hal lain yang aku bisa. Termasuk menulis dalam bahasa Inggris.

Dengan kemampuan dan pengetahuan tersebut, apakah aku tergolong orang yang berilmu?

Salah satu yang menjawab, di antaranya, adalah ketika aku sedang berada di dalam kelas. Di dalam kelas, aku memahami bahwa banyak mahasiswa yang ternyata perlu pemahaman tentang hal-hal yang aku anggap sudah dipahami banyak orang, namun ternyata tidak. Artinya, aku punya sesuatu yang tidak mereka punya. Tapi, bukankah mereka juga punya pengetahuan yang tidak aku punya?

Makanya, aku setuju dengan perkataan bahwa mencari guru itu harus yang sudah sepuh secara usia. Karena sudah sepuh, hidup dan pengalaman sudah menyepuhnya menjadi kilapan ilmu pengetahuan yang mencerahkan, meskipun kami sama-sama terbuat dari modal logam yang sama. Ia lebih tajam, lebih mengkilat, dan lebih mampu membedah isi daging untuk dibagi kepada banyak orang.

Pisau ilmunya telah terasah sebegitunya.

Tapi aku juga memahami bahwa ilmu itu bisa datang dan pergi. Otak manusia terkadang terbatas dengan kapasitasnya mengingat. Ada masa dimana ia akan lupa dengan apa yang dulu ia ketahui.

Padahal, dengan kapasitas terbatas tersebut, ia tetap punya tanggung jawab untuk meneruskan ilmunya menjadi sesuatu yang berharga, dalam bentuk apapun itu. Karya, tulisan, ucapan, lisan, pengajaran, buku, teknologi yang bisa dimanfaatkan, atau tindakan yang menghasilkan kebermanfaatan bagi banyak orang.

Hal ini berarti bahwa, sekecil apapun ilmu dan pengetahuan itu, maka tuangkanlah sebisa dan sepahammu. Karena Allah swt menitipkan kepadamu pengetahuan itu sejenak, dan bisa jadi tidak lama lagi kamu akan lupa karena alaminya sifat manusia adalah pelupa.

Maka dengan waktu, pengetahuan dan ingatan yang terbatas, bagikanlah apa yang kamu ketahui sesingkat dan sesedikit apapun itu. Karena yang kecil belum tentu remeh, dan yang besar belum tentu penting.

Tuesday, July 16, 2024

Tulus Mencintai Ilmu

 Sudah beberapa bulan ini aku berkutat dengan upaya mendaftar untuk studi lanjut di jenjang S3. Sedari tahun 2022, sepertinya, aku sudah punya tekad untuk segera melanjutkan studi ini. Angan-angannya banyak, menjadi bergelar doktor, studi di luar negeri, bisa melakukan banyak hal, dipuji banyak orang karena gelar, dipandang tinggi juga. 

Tapi, ada yang tidak sejalan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dalam niatku untuk melanjutkan studi. Aku tidak pungkiri ada upaya membesarkan diri dan memampukan diri dikagumi banyak orang. Dalam upaya ini, niatku menjadi jauh dari tulus untuk mencari ilmu. Untuk menuntut ilmu dalam diriku sendiri. Yang terbayang dalam diri adalah berada di luar negeri dengan semua keindahannya, padahal dulu aku juga ingat persis bahwa studi S2-ku adalah perjuangan yang tidak mudah, lalu apalagi S3? Bukankah lebih sulit lagi? Apakah aku sudah lupa dengan pengalaman itu? Sepertinya, diriku tidak berpikir semendalam itu, mungkin. 

Dalam upaya itu pula, aku menjadi berpikir banyak hal menyenangkan yang bukan seharusnya menjadi niat awal dalam menuntut ilmu, yaitu ya, menuntut ilmu itu sendiri. Makanya, tidak mengherankan bahwa perjalanan belakangan ini untuk studi lanjut terasa berat betul. Selama 2 tahun, tidak kunjung aku berhasil membuat bahkan barang proposal semata. Kenapa bisa begini, pun aku tidak sepenuhnya paham, sebelumnya. 

Baru kemudian aku sadari kembali bahwa, innamal a'malu binniyat. Amal itu tergantung pada niatnya.

Aku tidak berniat secara tulus untuk mencintai pengetahuan dengan mengkajinya, menelaahnya, merenunginya, mengaitkan dengan jiwaku, dan juga mengajar serta menerapkannya, lalu menuliskan untuk dibagikan kepada banyak orang.

Niatku bukan karena ilmu itu sendiri. Tapi karena kesenangan yang membarenginya. Tapi karena kesenangan berada di luar negeri. Tapi karena kebanggaan pada diri sendiri dan keinginan dilihat wah. Tapi pada keinginan untuk mampu menggapai hal-hal lain yang diinginkan diri, yang bukan sepenuhnya tentang ilmu itu sendiri. Tapi pada keinginan untuk mendapatkan amal jariyah dari ilmu. Tapi pada keinginan untuk menjadi lebih baik dalam kedekatan dengan Allah swt karena berpindah ke tempat lain, dan merasa akan ada kehidupan baru yang lebih baik. Tapi pada keinginan untuk mengungguli orang-orang lain. 

Tapi keinginan-keinginan itu pula yang sepertinya semakin membuat ilmu enggan menyapa. 

Karena ia tahu ia tidak dicintai secara tulus, setiap kali aku terburu membaca bagian-bagian darinya tanpa merenunginya. 

Karena ia tahu ia tidak dicintai secara tulus, ketika aku tidak memikirkan setiap jengkal sederhananya dengan perhatian penuhku. 

Karena ia tahu aku tidak sepenuhnya merenunginya dengan hati dan jiwaku, untuk mencintai dan meneruskannya pada manusia lain, demi ridho-Nya dan demi kemaslahatan umat manusia. 

Karena ia tahu tujuan sejatinya hati dalam tindakan ini bukan untuknya, melainkan untuk dunia. 

Padahal ilmu itu adalah cahaya, yang tidak sejalan bisa disandingkan dengan orientasi duniawi si pencarinya. 

Maka ketulusan cinta pada pengetahuan, yang dibarengi dengan kesabaran, renungan, hati dan jiwa yang seutuhnya didedikasikan padanya, untuk Allah swt, bersama Allah swt, dan memahami kembali bahwa sejatinya ilmu itu dari Allah swt. 

Maka cinta pengetahuan berarti mencintai hadiah dari Allah swt yang mencerahkan hati dan kehidupan umat manusia. 

Tanpa cinta tersebut, ilmu yang bermanfaat adalah mustahil. 



Sampangan, 16 Juli 2024

Thursday, October 19, 2023

Bahasan tentang Menjadi Guru

 Guru dari Syaikh Abdul Qadir Jailani, yaitu Syaikh Hammad, adalah seorang guru yang wali besar sekaligus seorang penjual sirup di pasar. Artinya, ia tidak sepenuhnya menggantungkan hidup pada pekerjaannya sebagai pendidik, tapi memberikan keluangan waktunya untuk bekerja dengan sesuatu yang lain. Meneliti dan mengabdi kepada masyarakat adalah bagian dari keduanya, kupikir. Dan itu adalah kewajiban yang menjadi bagian dari pekerjaanku. Sedangkan, mengajar adalah caraku untuk mengabdikan diriku kepada pendidikan masyarakat, maka benar bahwa mendidik adalah mengabdi, bukan sepenuhnya bekerja. 

Pertanyaannya, apa yang menjadi pembeda? Ketika bekerja, kita memikirkan transaksi, kita berpikir tentang apa yang kita dapatkan dari usaha tadi, apakah setimpal atau tidak setimpal dengan usaha. Kita berpikir tentang apa yang 'kita' dapatkan, bukan apa yang 'mereka' terima. Dalam pemikiran yang begini, tugas mengajar menjadi selesai manakala materi diberikan tanpa memahami apakah mahasiswa sudah mengerti atau tidak. Yang selesai ya sudah selesai, karena itu yang bisa diberikan. Dengan mindset bahwa mengajar adalah sedekah, kita berpikir apakah mereka membutuhkannya, dan apakah ini sesuatu yang tepat untuk mereka. Maka ini berarti, mereka yang melihat, apa yang mereka butuhkan dalam menjalani kehidupan ini. Maka bukankah mengajar berarti berpikir tentang bagaimana mereka melihat apa yang mereka butuhkan dan bagaimana hal ini bisa membantu mereka untuk melanjutkan kehidupan, dengan kecerdasan, kemampuan berpikir dan analisis yang lebih mumpuni? Dan dengan demikian, kemampuan analisis itu tidak berasal dari materi yang terus menerus ditumpuk, tapi kemauan untuk berpikir dan mengelola pemikiran. 

Lalu bagaimana caranya seorang yang mau bersedekah waktu, tenaga, dan pikirannya, membantu proses belajar tersebut? Karena ini adalah memberi, artinya ikhlas itu penting. Jika tidak ikhlas, bagaimana bisa memberi dengan kerelaan? Dan apakah yang diberikan itu akan menjadi berkah? 

Monday, March 14, 2022

Sentuhan Kepada Hati

 Yang melembutkan hatimu adalah ketika kamu melihat manusia atau kejadian yang menyentuh hatimu dan kamu merasa mereka tidak seharusnya merasakan itu. Pada saat yang sama, kamu bisa merasakan kepedihan hati mereka ketika mereka menjalani kehidupan tersebut. Atau terlebih, kamu bisa melihat betapa sesuatu yang sejatinya pedih bisa mereka jalani dengan tanpa meratapi kesedihan itu. Mereka berjalan, menerjang, terbang, tanpa mempedulikan pedih dan keluh karena hidup tidak sekadar pedih dan keluh. Ada sesuatu yang mereka perhatikan di luar sana, ada yang mereka ingin capai dan perhatikan. Hatiku juga bisa begitu, dan memang begitu. Aku punya peduli, aku punya hati. Aku juga paham bahwa itu bisa kembali merekah. Bahwa ia memang lembut dan bahwa ia memang berbesar untuk orang lain. Maka latih hatimu kembali dengan perhatian yang mendalam pada perasaan-perasan orang yang mengalami hal semacam itu. Perhatikan dengan hati, dan hati-hati dengan perhatianmu. Karena yang menyentuh hatimu itu yang perlu dilakukan setiap hari, agar kamu tetap menjadi sehat dengan hatimu. 

Thursday, March 3, 2022

Gratefulness and Dreaming Ahead

 As the usual - after midnight or almost dawn in the dark of times when most people are sleeping - my thoughts are running. This time, it gets back again to the writing I made back then in 2014 - the first time I eventually become consistent with only one blogspot that I have. This one. 

Things have changed so much since then. I was a student in an undergraduate program, still in IR. Things changed in 2015 and 2016, I became a student of University of Sydney and my dream once again became true. And now, have I been trying to reach my dream again? Am I ready for another dream?

I am a lecturer now. Teaching IR, yes. Doing works for peace, I am trying to. Both in activism and in academia. Have I been living a dream? I live the dream of many people wanting to go abroad and study, and I live the dream of people wanting to be a lecturer. I live the dream of many people wanting to work in UII, and I live the dream of people wanting to be free. Like Kevin. You do remember, Kevin. 

Suprisingly this writing takes turn in the way I didn't expect it to be: a reflection of what I should be grateful of. I am now living freely, doing job I like by teaching and serving others for peace, having a degree that many people envy. Isn't that enough? For having things I live, thus, I should be grateful. Because Allah provides for me things that Allah doesn't for other people. For this reason, you are entitled to an honor to serve others the way you can with those things Allah blesses you with. 

What about dreaming? Do you still have a dream rif? I do, though. I want to study in one of the best-known best university in the world, like Oxford so that I could place myself there to inspire more people. Do I honestly want to inspire other people or do I just need some validation? I often question myself that. But I pray for you ya Allah to purify my intention and set it straight for me. I do realize I want people with the same identity as mine to be able to achieve their dream if they want to. 

I can believe that Allah gave me strength to get through Sydney Uni. It was harsh, don't get me wrong. It was not an easy task to finalise that particular study. And yet Allah helps me to get through it. 

Now, do I need some validation? Should I need some validation? Those are two things: a fact-check and a value-orientation. A fact-check should help me understand my needs. Now do I need one? From a human being? Mentally do I need one? Isn't it tiring to not get acceptance from people? But isn't it ourselves who can change that situation? Yeah. I can change the situation, and that will happen of course by trying and by praying and giving this all to Allah. Eventually these are from and will come back to Allah. So why bother trying to get a validation from people when you know that it comes from Allah and it will come back to Allah. It doesn't change a thing in your life, because they don't have the power to do so. They will be able to, if you give them a way to do so through your mind. So the key is trusting Allah fully that you are with Allah and Allah is with you. That is the way to get rid of all the clinginess to validation that you do realize you have it. Now, you had it!

Valid or not, accepted or not by people, feelings are feelings. Things are things, and facts are facts. There is no such thing as invalid feeling just because other people think the mindset or thought processes are wrong. Pointing out that people's feeling are wrong, is wrong. Therefore, let the feeling go without blaming yourself or others. Because you simply feel it, and they just don't understand it. 

Once you conquer that desire for validation, you conquer yourself for the things that makes you insincere. You become you because you do what you want to do not thinking about whatever good or bad or not-so-important things that other may say to you even in their minds. Those are all behind you, so move ahead. 

Moving ahead knowing I am enough and I am with Allah, I am reaching my dream for peace. That's where I want to be ya Allah. Doing things that makes peace for the world. It is probably not new, but please assure me that I have my own way of doing it that might lead to a legacy to make the world a better place to live. At least for one more person in this life. 

I thank You for this wondrous life and I am moving ahead as You blesses me everyday regardless. 

You Allah, my Guide, my Lord, my Everything. 

Wednesday, January 20, 2021

Do Good, For It Is You Who Would Benefit From It

 Don't Fear. Indeed, Allah is with you. Be confident.


What struck me when reading today's paper is that conformity in some way relates to self-esteem.
A person conforms to norm because this person wants to avoid being prosecuted against or being seen with negative image due to dissonance. When one conforms, one increase self-esteem because of his/her own perception as conforming party and others' view that the person is indeed conforming.

Is that the same case with religion? When you're conforming to something, a ruling, a norm, you know you're doing the right thing and that makes you feel good about yourself, thus boosting confidence. On the other hand, when you do bad things, you know that's bad even though on the outside we say it's a good thing, thus degrading self-esteem? Is that really the way it works?

Doing the right thing, what you personally perceive as the right thing, which might differ from others, would make you feel good about yourself and thus increase your self-confidence. Doing otherwise ruin your confidence.

That is why, it is said that when you do sins, when you conduct immoral actions, you're oppress yourself. You're being unjust to your own self. You ruin your own soul.