Sudah beberapa bulan ini aku berkutat dengan upaya mendaftar untuk studi lanjut di jenjang S3. Sedari tahun 2022, sepertinya, aku sudah punya tekad untuk segera melanjutkan studi ini. Angan-angannya banyak, menjadi bergelar doktor, studi di luar negeri, bisa melakukan banyak hal, dipuji banyak orang karena gelar, dipandang tinggi juga.
Tapi, ada yang tidak sejalan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dalam niatku untuk melanjutkan studi. Aku tidak pungkiri ada upaya membesarkan diri dan memampukan diri dikagumi banyak orang. Dalam upaya ini, niatku menjadi jauh dari tulus untuk mencari ilmu. Untuk menuntut ilmu dalam diriku sendiri. Yang terbayang dalam diri adalah berada di luar negeri dengan semua keindahannya, padahal dulu aku juga ingat persis bahwa studi S2-ku adalah perjuangan yang tidak mudah, lalu apalagi S3? Bukankah lebih sulit lagi? Apakah aku sudah lupa dengan pengalaman itu? Sepertinya, diriku tidak berpikir semendalam itu, mungkin.
Dalam upaya itu pula, aku menjadi berpikir banyak hal menyenangkan yang bukan seharusnya menjadi niat awal dalam menuntut ilmu, yaitu ya, menuntut ilmu itu sendiri. Makanya, tidak mengherankan bahwa perjalanan belakangan ini untuk studi lanjut terasa berat betul. Selama 2 tahun, tidak kunjung aku berhasil membuat bahkan barang proposal semata. Kenapa bisa begini, pun aku tidak sepenuhnya paham, sebelumnya.
Baru kemudian aku sadari kembali bahwa, innamal a'malu binniyat. Amal itu tergantung pada niatnya.
Aku tidak berniat secara tulus untuk mencintai pengetahuan dengan mengkajinya, menelaahnya, merenunginya, mengaitkan dengan jiwaku, dan juga mengajar serta menerapkannya, lalu menuliskan untuk dibagikan kepada banyak orang.
Niatku bukan karena ilmu itu sendiri. Tapi karena kesenangan yang membarenginya. Tapi karena kesenangan berada di luar negeri. Tapi karena kebanggaan pada diri sendiri dan keinginan dilihat wah. Tapi pada keinginan untuk mampu menggapai hal-hal lain yang diinginkan diri, yang bukan sepenuhnya tentang ilmu itu sendiri. Tapi pada keinginan untuk mendapatkan amal jariyah dari ilmu. Tapi pada keinginan untuk menjadi lebih baik dalam kedekatan dengan Allah swt karena berpindah ke tempat lain, dan merasa akan ada kehidupan baru yang lebih baik. Tapi pada keinginan untuk mengungguli orang-orang lain.
Tapi keinginan-keinginan itu pula yang sepertinya semakin membuat ilmu enggan menyapa.
Karena ia tahu ia tidak dicintai secara tulus, setiap kali aku terburu membaca bagian-bagian darinya tanpa merenunginya.
Karena ia tahu ia tidak dicintai secara tulus, ketika aku tidak memikirkan setiap jengkal sederhananya dengan perhatian penuhku.
Karena ia tahu aku tidak sepenuhnya merenunginya dengan hati dan jiwaku, untuk mencintai dan meneruskannya pada manusia lain, demi ridho-Nya dan demi kemaslahatan umat manusia.
Karena ia tahu tujuan sejatinya hati dalam tindakan ini bukan untuknya, melainkan untuk dunia.
Padahal ilmu itu adalah cahaya, yang tidak sejalan bisa disandingkan dengan orientasi duniawi si pencarinya.
Maka ketulusan cinta pada pengetahuan, yang dibarengi dengan kesabaran, renungan, hati dan jiwa yang seutuhnya didedikasikan padanya, untuk Allah swt, bersama Allah swt, dan memahami kembali bahwa sejatinya ilmu itu dari Allah swt.
Maka cinta pengetahuan berarti mencintai hadiah dari Allah swt yang mencerahkan hati dan kehidupan umat manusia.
Tanpa cinta tersebut, ilmu yang bermanfaat adalah mustahil.
Sampangan, 16 Juli 2024