Ak berdiri di persimpangan kehidupan, kali ini di jalan-Nya yang sudah aku upayakan sedemikian rupa agar tidak melenceng, biar pun aku masih terperosok di lubang yang aku buat sendiri beberapa kali. Seperti tadi malam, yang aku terus saja tidur, lalai pada kewajibanku menemui-Nya sebelum berangkat ke pulau kasur. Benar saja, bangunku kesiangan.
Ada dua jalan yang ada di hadapanku, yang landai dan yang terjal. Aku melihat si terjal ini akan mengorbankan banyak hal, baik dari diriku maupun dari orang di sekitarku. Tapi si terjal ini memang memiliki pemandangan yang luar biasa indah di depannya, akan memperbaiki masa depanku dan aku akan hidup enak di sana. Aku berjuang untuk keduanya, toh ini sudah jalan yang aku pilih. Si terjal memiliki gerbang yang sulit dibuka, tapi bukan tidak mungkin. Beberapa gerbang ia miliki, tapi setidaknya ketika aku sudah membuka gerbang pertama, gerbang kemudiannya akan semakin terbuka. Dan aku buka si gerbang pertama ini, lalu aku di sambut.
Tidak aku lihat ada kesempatan aku bisa membuka gerbang kedua, aku berpaling. Aku pikir, aku akan pilih jalan yang biasa saja, yang landai dan pemandangannya pun sama indah. Tujuan ke depannya indah, hanya saja yang ini keindahannya ada pada kesederhanaan dan kebersahajaan. Aku pun menyukai hal itu, pemandangan indah yang biarpun banyak ditemui tapi tetap saja unik dan tidak bisa ditemukan di tempat lainnya. Aku berniat meminta si penunjuk jalan yang adalah kerabat, untuk menuntunku. Aku pikir, nantinya aku pun akan bersamanya dan menghabiskan waktu di perhentian yang juga disiapkan oleh saudaraku ini. Aku akan membantunya, untuk kepentingan rumah tangganya. Dan aku siap untuk itu, ini pilihanku.
Ada yang berkata lain rupanya. Aku bertemu kerabat ilmuwan. Kepada si ilmuwan ini aku bercerita hendak mengikuti jalan landai, biarpun aku tahu aku sudah diterima di jalan yang terjal. Sang ilmuwan berkeras, aku harus ambil jalan terjal. Akan ada nama baik dan kebaikan yang lebih lebih lagi jika aku mengikuti jalan yang tampak menanjak tapi menjanjikan kebesaran dan keagungan yang lebih. Aku sesungguhnya tidak benar-benar berharap, aku melamar untuk membuka gerbang jalan terjal hanya sekadar iseng belaka. Biarpun dalam hati aku sangat ingin dan bersemangat untuk mendaki terjalnya jalan ini, aku membuang pikiran muluk untuk mampu memandang keindahan si terjal nun jauh di sana. Tapi si ilmuwan berkeras, dan ia kembali membukakan gerbang terjal yang pertama, untukku. Ah nanti jika aku benar-benar sampai di ujung pendakian, dialah yang pertama harus aku persembahkan terima kasih yang setulus dan sebesar hati.
Sekarang ini, aku sedang mendaki. Pendakian terjal menuju puncak, yang nantinya masih terus menanjak lagi. Tapi pemandangan dari atas sana, semakin tinggi semakin indah, biar pun resiko jatuh dan sakit hati pun semakin dalam. Sekarang ini, aku mendaki dengan dibantu banyak tangan. Aku heran dari mana datangnya tangan-tangan ini, tapi banyak sekali. Doa-doa, bantuan demi bantuan, ketulusan demi ketulusan, kebaikan hati mereka yang membantu, sedikit demi sedikit tapi mendorongku semakin naik. Aku sedang menapaki satu per satu pijakan di tebing terjal menuju puncak. Dan aku yakin akan mampu sampai di puncak dengan selamat, memandangi indah dunia.
Yang aku tak boleh lupa, ketika aku berada di atas nanti, aku tak boleh melupakan tangan demi tangan yang menopangku tadi. Karena mereka itulah yang bersatu mengangkatku semakin ke atas. Aku harus memberi manfaat bagi mereka, bahkan bagi semuanya. Bagi semua khalayak, agar perjuangan tangan-tangan tadi tidak sia-sia belaka. Aku harus membawakan mereka kue manfaat, yang nanti bisa mereka kecap manis dan legitnya di kemudian hari, sadar bahwa aku begini atas perjuangan mereka pula. Kalau aku sombong, harusnya aku malu karena terlalu banyak yang membantu, ini bukan sejatinya hanya perjuanganku sendiri tapi banyak orang yang lain. Dan lagi, ini bukan milikku, tapi atas pertolongan-Nya. Aku hanya numpang lewat di puncak jalan terjal itu.
Yang utama yang bisa membantuku adalah Dia yang berada di ujung sana. Dia yang membuatku, dia yang menentukan jalan mana yang seperti apa nantinya. Aku berniat, berencana sedemikian rupa. Tapi nantinya ia yang tahu mana yang akan dan harus aku jalani. Jika jalan yang aku wajib lalui adalah yang terjal, maka kepada-Nya pula aku memohon kekuatan untuk tetap bertahan di jalannya dan tidak melenceng kemana pun agar aku tidak tersesat dan jatuh ke lubang yang sama, seperti yang dahulu itu. Aku memohon dengan kerendahan diri dan hati untuk pertolongan-Nya. Karena hanya dengan pertolongan-Nya aku akan selamat.
Dan nanti ketika memang aku tidak mampu mendaki puncak, aku akan turun dan kembali ke jalan landai. Mereka yang sudah dengan tangan terbuka menerimaku, yang mengagumiku dengan kesederhanaanku dan diriku yang bukan apa-apa. Akan berbakti kepada mereka dengan setulus dan sepenuh hatiku.
Tapi sekarang, demi khalayak yang lebih banyak, demi tangan-tangan yang begitu bersemangat mendorongku, demi dunia dan negeriku, agamaku, dan diriku yang lebih baik. Perjuangan akan terus berjalan, dengan semangat yang berapi-api. Dengan kerendahan hati. Dan dengan pertolongan-Mu. Yang aku selalu doakan, semoga ini pun pilihan-Mu bagiku.
