Sunday, June 12, 2016

Ketika Akhir Datang

Bila suatu ketika datang surya dari barat
Dan semua manusia berucap, "Aduhai betapa malangnya aku, lupa akan datangnya hari akhir."
Padahal sesungguhnya mereka telah diperingatkan, dan selalu diperingatkan
Berdayakah harta yang dipuja dan ditimbun selama masanya ia hidup?
Bergunakah kerabat keluarganya yang sayang ia pada mereka?
Adakah tahta dunianya memberi manfaat melindunginya?
Maka tidak ada seorang mampu lari darinya (kiamat)...
Dan semua orang sempoyongan
Berlarian mendapati dirinya akan disiksa
Dengan siksa yang pedih, dan pula kekal
Menangislah manusia sejadi-jadinya...
Berteriak memohon ampunan, tetapi bergunakan yang demikian itu di hari kiamat?
Hanya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh semasa hidupnya yang akan terhindar...
Dari api yang menggelegak...
Dari panas yang membara...
Dari nanah yang mendidih...
Yang demikian itulah hari pembalasan...
Dan sebenarnya hari akhir itu benar adanya...

Wednesday, June 8, 2016

Lebih Baik Saja

Hari ketiga Ramadhan. 2016 Masehi. Dan kejadian itu sudah berlalu lebih dari satu tahun yang lalu. Desember 2014, tepat di hari dimana usiaku waktu itu menginjak angka 26 tahun. Dan beberapa hari kemudian.

Hari itu masih terpatri di kenangan, meskipun sudah tidak benar-benar kuingat atau bahkan kucoba ingat, kecuali sekarang ketika aku menuliskan ini. Rasa awalnya manis, karena penantianku untuk bertemu setelah sebulan lebih berada jauh di Jakarta, magang, akhirnya terjawab juga saat aku datang kembali Semarang. Rindu terobati, ada hangat (biarpun nantinya aku tahu itu palsu dan tak berguna) yang memeluk dari relung jantung. Terlebih lagi setelah aku mempercayakan padanya kunci kamar kosku, bukan pada orang lain. Ada sebagian harapan yang terpenuhi, meskipun ada harapan lagi di balik itu (yang sepertinya tak berkehabisan).

Semua sepertinya baik-baik saja, sampai akhirnya ketidaksabaran dan pertanyaan sebulan lebih itu menggerogotiku dari dalam, memicu nafsu mempertanyakan. Kami menjalani sesuatu yang tidak terdeskripsikan, dari jarak jauh. Yang dia sendiri tidak mampu jelaskan, tapi aku merasa aku bisa merasakannya kala itu dan terlena pada manja rasa. Kupikir, biar saja nanti ketika bertemu kembali, merajut benang demi benang menghangatkan hati. Dan ketika tiba waktu, akhirnya dengan emosi aku benar mempertanyakan, dengan harapan dipasang setinggi langit tanpa pelindung apapun. Hatiku telanjang tanpa suatu penangkal perih apapun, tak paham resiko.

Dan aku yang tak menduga licin medan, terpeleset kata demi katanya, terperosok dalam di jurang sakit hati. Di dalam itu gelap, murung, penuh kerikil kenangan, ikatan fisik yang sempat terbentuk, dan harapan yang tadinya melejit. Terlalu tinggi aku memasang diriku di tebing harapan, dan luka jatuhnya tak terperi. Aku goncang, bermuram entah berapa lama. Mencari pelarian kesana kemari, seperti anak ayam kehilangan induk. Panik tak keruan, memohon-mohon padanya untuk kembali, mengemis belasnya. Padahal aku tahu hanya percuma.

Aku yang waktu itu berhati, pedih karena sakit hati, dan akhirnya belajar menggunakan hati. Tertatih, dan jatuh lagi, tapi aku memulai kendali atas degup jantung. Aku membuka mata pada logika, bahwa rasa tak selalu harus diikuti dan dituruti. Aku terantuk kembali, beberapa kali setelah itu. Tapi aku jauh lebih kuat dari apa yang dulu pernah aku rasai.

Hari ini ia kembali, hanya mengungkap kabar. Setelah sekian lama, kami berkabar juga.

Semua seolah baik saja, setidaknya dihadapan kami. Ada sesuatu, itu pasti, tapi aku tak mau menguak lebih dalam. Luka lama sebenarnya sudah tertutup, atau malah terlupakan. Tapi masih ada, dan perih bila digores kembali. Datangnya ia memang menebar lagi perih, tapi aku tidak lagi merintih. Bukan tidak terasa sakit, aku sadar ternyata aku belum sembuh benar dari sakit itu. Hanya saja, kali ini berbeda.

Kali ini aku tahu bahwa kini aku mampu melogika pilihan hidupku jauh lebih baik dari yang dulu. Aku yang dulu menggebu menuruti ego, sekarang tahu mana yang lebih masuk akal, dan aku menjalani itu. Bukan tidak terasa sakit, tetap saja sakit. Tapi aku bisa mengabaikan perih, mengesampingkan inginku untuk kembali, lalu berjalan kembali dengan kehidupan.

Dan sekarang aku berjalan dengan genggam kemenangan. Bahwa aku lebih dari sekadar baik-baik saja.