“Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yng kamu kerjakan.
(QS Al Mujadalah: 11)
Ayat ini mengingatkan betapa aku dijuluki, dilabeli, dan
disikapi sebagai seseorang yang berilmu. Aku menanggung gelar magister di
pundakku. Dari luar negeri pula. Betapa orang akan memandang ini sebagai sesuatu,
seolah aku adalah orang berilmu. Terkadang aku merasa, terkadang juga tidak
merasa. Karena toh sikapku sebagai orang dewasa, mungkin merasa terkadang aku
bertindak seperti anak-anak.
Maka dari itu, aku terkadang perlu menyadari satu hal: bahwa
ada hal yang aku sudah ketahui dan aku pahami setelah studiku yang sekian lama
ini. Ada jurnalisme damai yang aku tahu, ada kajian keamanan, dan ada banyak
hal lain yang aku bisa. Termasuk menulis dalam bahasa Inggris.
Dengan kemampuan dan pengetahuan tersebut, apakah aku
tergolong orang yang berilmu?
Salah satu yang menjawab, di antaranya, adalah ketika aku
sedang berada di dalam kelas. Di dalam kelas, aku memahami bahwa banyak
mahasiswa yang ternyata perlu pemahaman tentang hal-hal yang aku anggap sudah
dipahami banyak orang, namun ternyata tidak. Artinya, aku punya sesuatu yang
tidak mereka punya. Tapi, bukankah mereka juga punya pengetahuan yang tidak aku
punya?
Makanya, aku setuju dengan perkataan bahwa mencari guru itu
harus yang sudah sepuh secara usia. Karena sudah sepuh, hidup dan pengalaman
sudah menyepuhnya menjadi kilapan ilmu pengetahuan yang mencerahkan, meskipun
kami sama-sama terbuat dari modal logam yang sama. Ia lebih tajam, lebih mengkilat,
dan lebih mampu membedah isi daging untuk dibagi kepada banyak orang.
Pisau ilmunya telah terasah sebegitunya.
Tapi aku juga memahami bahwa ilmu itu bisa datang dan pergi.
Otak manusia terkadang terbatas dengan kapasitasnya mengingat. Ada masa dimana
ia akan lupa dengan apa yang dulu ia ketahui.
Padahal, dengan kapasitas terbatas tersebut, ia tetap punya tanggung
jawab untuk meneruskan ilmunya menjadi sesuatu yang berharga, dalam bentuk
apapun itu. Karya, tulisan, ucapan, lisan, pengajaran, buku, teknologi yang
bisa dimanfaatkan, atau tindakan yang menghasilkan kebermanfaatan bagi banyak
orang.
Hal ini berarti bahwa, sekecil apapun ilmu dan pengetahuan
itu, maka tuangkanlah sebisa dan sepahammu. Karena Allah swt menitipkan
kepadamu pengetahuan itu sejenak, dan bisa jadi tidak lama lagi kamu akan lupa
karena alaminya sifat manusia adalah pelupa.
Maka dengan waktu, pengetahuan dan ingatan yang terbatas,
bagikanlah apa yang kamu ketahui sesingkat dan sesedikit apapun itu. Karena
yang kecil belum tentu remeh, dan yang besar belum tentu penting.