Monday, March 21, 2016

Menahan Drama

Bener sih. Kadang aku emang suka, entah sengaja atau enggak, mendramatisir keadaan jadi. Tujuannya kadang aku pun gak sadar, buat menikmati rasa, sedih itu terkadang bisa dinikmati. Iya betul, menikmati sedih. Terdengar konyol, tapi ada rasa senang setitik ketika aku merasa sedih, karena sepertinya ada bagian sedih dalam hidupku. Sedih terkadang menjadi bagian dari kebahagiaan, bahkan terpuruk itu membuatku merasa berharga, karena aku tahu rasanya terpuruk.

Aneh? Entahlah. Tapi aku sering merasa bahwa banyak orang lain yang sebenarnya pun merasa demikian, hanya saja mereka enggan mengungkapkan. Yang pasti karena gengsi, dan yang lain agar nikmat rasa sedih itu tidak terganggu dengan rasa bersalah bahwa ini ada sejumput senang dalam drama yang kita alami. Seperti hidup kita ini adalah sebuah episode penuh ratapan di sinetron atau serial drama manapun yang terkadang dilebih-lebihkan.

Contohnya sekarang aja. Grobogan lewat tengah malam, sekarang jam di komputerku keliatan jam 1.32 pagi. Yep, dini hari banget. Dan rasanya mellow berat. Abis ada kejadian sesuatu sih, well I don’t really wanna tell here, too many and too confusing, I just don’t wanna think bout that.

Justru karena perasaan ini aku jadi bisa nulis ini, semacam inspirasi. Katanya saat sedih cenderung lebih cerdas dibandingkan waktu kita bahagia. Padahal, orang bahagia punya lebih banyak energi yang diperlukan biat kerja. Trus apa itu berarti orang yang pengen pinter kudu sedih terus? Kan enggak gitu juga keleuuus. Over bahagia pun bikin kita lupa daratan, lupa sekitar, kadang lupa bersyukur gegara terlanjur terlena. Dangdut kali ah. Tapi suasana hati seperti ini emang bener bikin tulisan gampang keluar. Nikmat aja ngalir kayak kali depan rumah. Otak pun kayak udah gak mikir.

Perasaan ini kadang bisa jadi kendali. Maksudku, aku sekarang sudah cukup dewasa untuk mampu mengendalikan perasaan dan emosiku, bukan yang meledak seperti jaman dahulu (ini bukan dongeng, please). Aku bisa saja marah, tapi logikaku berjalan bahkan ketika aku berada dalam situasi yang cenderung tertekan, pelik, yang dulu kalau aku mengalami hal serupa mungkin sudah meledak. Aku lebih bisa menahan diri untuk tidak menyampaikan emosiku, lebih banyak tertahan, tapi jauh lebih terkendali dibandingkan dulu. Rasioku berpendapat seketika itu juga, dan bisa jadi karena aku mulai terbiasa, untuk berpikir bahwa mengeluarkan unek2ku di saat itu juga tidak akan menyelesaikan masalah, karena emosi bercampur opini sepihak, nada tinggi yang cenderung memicu semakin runcingnya perdebatan dan perdebatan yang tidak akan pernah ada ujungnya mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah. Ini sisi positif yang mulai aku tangkap dalam diriku, ketika aku menghadapi situasi pelik semacam itu.

Emosi dan sedih tak terkendali, itu dulu. Semoga aja gak ada urusan serupa lagi, karena aku pikir hatiku sudah ditempa macam pedangnya Godric Gryffindor (halah). Aku sudah jatuh bangun, kesusahan setengah mati bangun dari rasa pahit sakit hati. Sedih yang sampai setangis2nya cowok pun pernah. Sedu sedan semalaman tak karuan, menghadapi situasi sulit, pahit sepahit-pahitnya hati. Sudah dirobek secuil-cuilnya.

Tapi karena pernah hancur itu, aku tahu bagaimana caranya mengembalikan kepingan-kepingan, bahkan remah hati yang bercecer. Menyatukan hatiku kembali sampai kapan pun itu bukan perkara mudah, makanya aku lebih memilih untuk tidak mengizinkan diriku, akalku menuntut hatiku untuk tidak berpegang pada hal yang serupa lagi.

Kebiasaan mendramatisir itu, perlahan berhenti menjadi kesabaran. Kemampuanku untuk mengikhlaskan, kesediaanku untuk menerima fakta, melepaskan apa yang dulu pernah aku inginkan, memasrahkan semua yang aku punya pada mengalirnya dunia.

Hal itu bukan berarti aku tidak merasa muak, jengkel, dongkol, ingin marah, ingin menangis dan semua macam ledakan emosi yang pernah aku lakukan dulu jaman aku masih ababil berat. Sekarang aku cenderung menahan semua itu, lebih banyak menampilkan wajah cerah ceria tanpa duka. Berusaha sebisaku mencari yang membuatku lebih banyak tertawa. Aku lebih kuat menahan emosiku, lebih mampu menguatkan benteng. Dan aku sangat bersyukur atas hal itu.

Dan drama yang lain siap aku hadapi, kali ini dengan lebih berani. Orang yang kuat adalah ia yang berjuang melawan apa yang ia takutkan dengan berani, tanpa mengeluh, dan seringkali tanpa diketahui oranglain.


Aku kuat!

No comments:

Post a Comment