Bener sih. Kadang aku emang suka, entah sengaja atau enggak,
mendramatisir keadaan jadi. Tujuannya kadang aku pun gak sadar, buat menikmati
rasa, sedih itu terkadang bisa dinikmati. Iya betul, menikmati sedih. Terdengar
konyol, tapi ada rasa senang setitik ketika aku merasa sedih, karena sepertinya
ada bagian sedih dalam hidupku. Sedih terkadang menjadi bagian dari
kebahagiaan, bahkan terpuruk itu membuatku merasa berharga, karena aku tahu
rasanya terpuruk.
Aneh? Entahlah. Tapi aku sering merasa bahwa banyak orang
lain yang sebenarnya pun merasa demikian, hanya saja mereka enggan
mengungkapkan. Yang pasti karena gengsi, dan yang lain agar nikmat rasa sedih
itu tidak terganggu dengan rasa bersalah bahwa ini ada sejumput senang dalam
drama yang kita alami. Seperti hidup kita ini adalah sebuah episode penuh
ratapan di sinetron atau serial drama manapun yang terkadang dilebih-lebihkan.
Contohnya sekarang aja. Grobogan lewat tengah malam,
sekarang jam di komputerku keliatan jam 1.32 pagi. Yep, dini hari banget. Dan
rasanya mellow berat. Abis ada kejadian sesuatu sih, well I don’t really wanna
tell here, too many and too confusing, I just don’t wanna think bout that.
Justru karena perasaan ini aku jadi bisa nulis ini, semacam
inspirasi. Katanya saat sedih cenderung lebih cerdas dibandingkan waktu kita
bahagia. Padahal, orang bahagia punya lebih banyak energi yang diperlukan biat
kerja. Trus apa itu berarti orang yang pengen pinter kudu sedih terus? Kan enggak
gitu juga keleuuus. Over bahagia pun bikin kita lupa daratan, lupa sekitar,
kadang lupa bersyukur gegara terlanjur terlena. Dangdut kali ah. Tapi suasana
hati seperti ini emang bener bikin tulisan gampang keluar. Nikmat aja ngalir
kayak kali depan rumah. Otak pun kayak udah gak mikir.
Perasaan ini kadang bisa jadi kendali. Maksudku, aku
sekarang sudah cukup dewasa untuk mampu mengendalikan perasaan dan emosiku,
bukan yang meledak seperti jaman dahulu (ini bukan dongeng, please). Aku bisa
saja marah, tapi logikaku berjalan bahkan ketika aku berada dalam situasi yang cenderung
tertekan, pelik, yang dulu kalau aku mengalami hal serupa mungkin sudah
meledak. Aku lebih bisa menahan diri untuk tidak menyampaikan emosiku, lebih
banyak tertahan, tapi jauh lebih terkendali dibandingkan dulu. Rasioku
berpendapat seketika itu juga, dan bisa jadi karena aku mulai terbiasa, untuk
berpikir bahwa mengeluarkan unek2ku di saat itu juga tidak akan menyelesaikan
masalah, karena emosi bercampur opini sepihak, nada tinggi yang cenderung
memicu semakin runcingnya perdebatan dan perdebatan yang tidak akan pernah ada
ujungnya mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah. Ini sisi positif yang
mulai aku tangkap dalam diriku, ketika aku menghadapi situasi pelik semacam itu.
Emosi dan sedih tak terkendali, itu dulu. Semoga aja gak ada
urusan serupa lagi, karena aku pikir hatiku sudah ditempa macam pedangnya
Godric Gryffindor (halah). Aku sudah jatuh bangun, kesusahan setengah mati
bangun dari rasa pahit sakit hati. Sedih yang sampai setangis2nya cowok pun
pernah. Sedu sedan semalaman tak karuan, menghadapi situasi sulit, pahit
sepahit-pahitnya hati. Sudah dirobek secuil-cuilnya.
Tapi karena pernah hancur itu, aku tahu bagaimana caranya
mengembalikan kepingan-kepingan, bahkan remah hati yang bercecer. Menyatukan
hatiku kembali sampai kapan pun itu bukan perkara mudah, makanya aku lebih
memilih untuk tidak mengizinkan diriku, akalku menuntut hatiku untuk tidak
berpegang pada hal yang serupa lagi.
Kebiasaan mendramatisir itu, perlahan berhenti menjadi
kesabaran. Kemampuanku untuk mengikhlaskan, kesediaanku untuk menerima fakta,
melepaskan apa yang dulu pernah aku inginkan, memasrahkan semua yang aku punya
pada mengalirnya dunia.
Hal itu bukan berarti aku tidak merasa muak, jengkel,
dongkol, ingin marah, ingin menangis dan semua macam ledakan emosi yang pernah
aku lakukan dulu jaman aku masih ababil berat. Sekarang aku cenderung menahan
semua itu, lebih banyak menampilkan wajah cerah ceria tanpa duka. Berusaha
sebisaku mencari yang membuatku lebih banyak tertawa. Aku lebih kuat menahan
emosiku, lebih mampu menguatkan benteng. Dan aku sangat bersyukur atas hal itu.
Dan drama yang lain siap aku hadapi, kali ini dengan lebih
berani. Orang yang kuat adalah ia yang berjuang melawan apa yang ia takutkan
dengan berani, tanpa mengeluh, dan seringkali tanpa diketahui oranglain.
Aku kuat!
No comments:
Post a Comment