Monday, March 21, 2016

Menengok Lebih Dalam

Abis buka-buka timeline di facebook. Ada banyak banget cerita. Ada cerita pindah ke negara lain, entah betul atau tidak. Cerita reuni alumni sebuah jurusan dan kampus mentereng di negeri ini. Ada cerita berdampingan dengan pasangan. Ada juga duka pedih ratapan seorang yang merasa betul-betul dirundung nestapa selama di muka bumi. Ada cerita keluarga, ada narsis sendiri.

Semua macam cerita dunia ada di satu halaman itu.

Dan aku melihat ke dalam kehidupanku sendiri. Orang-orang di sana sedang membuat sejarah dalam kehidupan mereka masing-masing. Aku kadang baper, bawa perasaan, iri, anggap remeh (biarpun aku sendiri pun tak kalah remeh), kagum, sedih, empati, nafsu, bahkan dengki.

Tapi kupikir lagi, apa guna semuanya itu, baik perasaan maupun apa yang benar-benar mereka capai di dunia.

Pagi ini aku ditegur, “bermegah-megahan di dunia telah melalaikanmu.”

Dunia sering bikin lupa, karena kita terlalu menengok indah. Karena aku pun terlalu menatap ke sesuatu yang terasa indah. Padahal, itu semua semu, karena ‘dijadikan terasa indah’ saat aku menjalani kesalahan dan dosa itu tadi. Intinya, semua yang bukan karena-Nya, bukan di bawah ridho-Nya, itu percuma.

Ini bukan berarti mereka-mereka tadi tidak bertingkah demi ridho-Nya. Bisa jadi memang mereka mengarah ke sana. Tapi…

Aku merasa terlalu bersalah, terlalu melihat kehidupan orang lain yang bikin aku semakin ingin itu ingin ini. Tidak benar rasanya, kepo dengan apa yang mereka lakukan terhadap hidup mereka. Tapi coba pikirkan, coba lakukan. Aku coba baca semua posting itu tadi dengan kacamata yang lain, yang lebih besar. Kacamata tentang, signifikansi apa yang ada dalam semua postingan itu, secara garis besar.

Apa gunanya? Apakah dengan menginginkan ini itu, lalu hidupku lebih baik? Tidak. Bahkan sebaliknya, aku bakal semakin mumet karena berusaha mendapatkan apa yang mungkin tidak lebih baik dari apa yang aku punya sekarang.

Aku bukan tidak dilimpahi dengan keindahan, bahkan aku bersyukur dengan apa yang aku punya saat ini. Rencana hidup yang mantap. Hidup. Tidak semua orang mendapatkan kesempatan untuk diberikan sekian banyak harta ini.

Sekarang, terasa benar-benar fana, semua itu. Entah hidupku, entah apa pun yang di posting di sana. Pada akhirnya semua akan berakhir di tempat yang sama, liang lahat. Semua tubuh berakhir di sana, semua jiwa dikuburkan dalam barzah.

Yang tinggal hanya amal…
Yang tinggal hanya amal…
Yang tinggal hanya amal…

Lalu apa hak-ku mempertontonkan semua bagian kehidupan, toh itu semua hanya sejenak. Tanpa niat yang tulus untuk bermanfaat, itu hanya berarti pamer, dan Allah tidak punya tempat di surga untuk orang yang pamer, barang sedikit. Memangnya siapa kita, punya siapa barang itu, sampai berani kita pamerkan.

Bahkan ketika gonta-ganti profile picture pun hanya sekadar pencitraan, bahwa kita ingin dilihat orang sebagai orang yang seperti ini atau seperti itu. Palsu. Yang tahu kita sebenarnya hanya Allah, yang menutupi aib-aib dan tidak membiarkan orang lain tahu, dan akhirnya kita terlihat luar biasa hebat di depan khalayak. Cih!

Malu… seharusnya kita malu. Bukan siapa-siapa tak punya apa-apa tapi pamer seolah ini milik kita. Aib yang kalau di umbar bisa bikin jijik seisi negeri. Mau dibuang kemana ini muka kalau sampai seluruh dunia tahu apa yang kita lakukan? Malu!

Introspeksi, menengok diri lebih dalam. Bahwa sadar atau tidak, disengaja atau tidak, dosa kita banyak. Tanggung jawab tidak bisa selalu kita tangani, hak orang lain tidak bisa selalu kita penuhi. Dan masih mau banyak tingkah? Memalukan.

Ini sekadar tamparan untuk diriku sendiri, betapa aku masih terlalu memandang dunia, dan terlepas dari kezuhudan terhadap akhirat. Berlakulah sebaliknya! Dunia habis terbakar dosa, di akhirat masih dibakar pula. Hina dunia, hina di sana, mau jadi apa?

Bahkan badan saja kita ‘numpang.’

Bahkan aku menulis begini pun pencitraan. Ah… Manusia memang terlalu banyak salah. Tapi kalau disalahkan tak pernah mau. Sudah suci, apa?

Yang sejati ada dalam ibadah kepada-Nya, karena itu lah yang benar-benar dihitung. Yang benar adalah bekerja untuk memperbaiki dunia, berbuat baik. Berusaha berbuat baik saja kita banyak salah, apalagi dengan sengaja berbuat salah.

Ikhlaskan hati, manusia. Kemegahan dunia itu bergelayut di kaki ketika berjalan menuju surga. Semakin sedikit kemegahan, semakin ringan langkah kita menuju pintu Firdaus, menemui utusan-Nya yang selalu kita rindukan. Menemui-Nya.

(Dikutip dari seseorang)



No comments:

Post a Comment