Saturday, April 25, 2015

Puncak Gunung Es


Artikel ini dirilis di Suara Merdeka pada tanggal 2 Februari 2013

Transparency International mencatat Indonesia sebagai salah satu dari negara terkorup di Asia tahun 2012. Memprihatinkan. Di negeri ini, ternyata justru orang-orang yang memiliki status tinggi dan jabatan melakukan pelanggaran hukum atau yang sering disebut dengan white collar crime (Sutherland, 1961).
   Korupsi di Indonesia sudah menjalar ke tiga komponen pemerintahan: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Beberapa bulan lalu, seorang anggota Kabinet Indonesia Bersatu II ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi yang juga melibatkan beberapa oknum anggota legislatif. Belum lagi kasus suap terhadap jaksa dalam perkara tipikor yang sudah jenuh kita dengar di berbagai media pemberitaan. Herannya lagi, persekongkolan ini marak terjadi bahkan dengan melibatkan korporat yang berusaha melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam Nusantara.
   Semua gejala ini mengarah pada kleptokrasi, suatu kondisi dimana negara dipenuhi dengan korporasi dan birokrat yang bekerja sama dalam tindakan korup yang menguntungkan pihaknya sendiri (Weber, 1978). Gejala ini merupakan “puncak gunung es” dari kebobrokan moral (Noeh, 2005) yang dilakukan oleh pihak yang memiliki pangkat tinggi dan semestinya menjadi panutan bagi masyarakat. Jika demikian, lalu seperti apa kondisi “di bawah gunung es” yang tidak dapat kita lihat?
     Pendidikan tentu berperan membentuk moral masyarakat. Mahasiswa memiliki potensi sebagai agen perubahan dan selaku calon pengelola negara. Gerakan mahasiswa berfungsi untuk mendorong perubahan sosial dan politik (Altbach, 1981). Proses pendidikan mahasiswa menjadi kunci bagi terbentuknya moral generasi pengelola negara kita di masa depan.
    Sayangnya, gejalan kerusakan moral yang mengarah pada kecenderungan tindakan korupsi ternyata sudah menjadi hal yang umum dalam keseharian generasi terdidik Indonesia. Praktik suap daam penerimaan mahasiswa, plagiat dan kehidupan mahasiswa yang hedonis, merupakan tanda kerusakan moral yang mengarah pada tindakan korupsi. Gejala-gejala semacam inilah yang seharusnya ditangani, jika kita memang mau “naik kelas” bebas dari korupsi.


Potong Mata Rantai

Artikel ini dirilis di Suara Merdeka pada tanggal 20 Oktober 2012

Oleh Wahyu Arif Raharjo
Mahasiswa FISIP Universitas Wahid Hasyim

Masih segar di ingatan kita bagaimana tawuran antar mahasiswa di berbagai kota di Indonesia belakangan ini memakan korban tewas yang tidak sedikit. Sebuah ironi yang pahit jika kita melihat fakta bahwa mahasiswa yang notabene adalah kaum intelektual, justru memilih untuk menggunakan jalan kekerasan sebagai jalan keluar bagi permasalahan mereka. Ironisnya, pemicu terjadinya taurwan ini seringkali tidak ada sangkut pautnya dengan kebijakan (9 persen) yang seharusnya menjadi bahan yang dikritisi mahasiswa, namun cenderung pada permasalahan pribadi (23 persen) serta sentimen antar institusi (29 persen).
    Sayangnya, institusi pendidikan sebagai tempat mahasiswa yang terlibat tawuran tersebut menimba ilmu hanya memberikan sanksi terhadap mahasiswa yang terlibat tawuran tanpa secara aktif membina mahasiswa serta melakukan tindakan pencegahan terhadap tawuran. Padahal jika diamati lebih dalam, benih-benih tawuran yang disebabkan oleh sentimen antar institusi ini tumbuh dan bereproduksi selama mahasiswa berada di kampus. Budaya kampus menjadi media utama berkembangnya sentimen permusuhan ini.
   Oleh karena itu, tindakan pertama dan utama yang perlu dilakukan adalah memutus rantai sentimen permusuhan antar institusi yang menyebabkan tawuran ini. Tugas berat ini terutama dipegang oleh kampus sebagai institusi pendidikan yang memiliki wewenang terhadap mahasiswanya. Pihak kampus perlu mengawasi kegiatan organisasi mahasiswa serta kegiatan mahasiswa di kampus yang berpotensi menjadi media sosialisasi sentimen permusuhan antar institusi oleh para senior.
   Selain itu, segenap komponen kampus mulai dari mahasiswa, dosen, staf pengajar, alumni serta seluruh organisasi kemahasiswaan juga perlu menumbuhkan kesadaran bahwa keterlibatan dalam tawuran hanya akan menjadi noda kotor bagi nama baik kampus itu sendiri. Penanaman toleransi, nilai keberagaman, serta resolusi konflik sebagai bagian dalam kurikulum merupakan wujud nyata pencegahan terhadap tindak kekerasan.
   Pada kenyataannya, penyelesaian masalah melalui jalan kekerasan seringkali tidak menuntaskan permasalahan dan bahkan justru menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks.

Mahasiswa FISIP Unwahas Duta Bahasa Jawa Tengah

Tulisan ini dirilis oleh harian Suara Merdeka pada tanggal 16 Oktober 2012. 
SEMARANG - Mita Devi Ayu Hafsari, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional FISIP Unwahas mewakili Jawa Tengah sebagai Duta Bahasa Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012, setelah memenangi lomba yang diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Rabu (10/10).
Pemenang II putra Wahyu Arif Raharjo juga dari FISIP Unwahas. Mita mengungguli pesaingnya dalam lomba yang diikuti peserta dari perguruan tinggi negeri dan swasta se-Jateng. ”Mulai Rabu (24/10), saya akan dikarantina untuk ikut lomba bahasa tingkat nasional. Karena itu, saya mohon doa restu kepada seluruh warga Jateng, semoga diberi kelancaran dan berhasil meraih prestasi,” kata Mita, kemarin. (H84-37)

Arti Sebuah Bahasa

Artikel ini dirilis di SKH Kedaulatan Rakyat pada hari Selasa, 30 Oktober 2012.

Oleh Wahyu Arif Raharjo
Mahasiswa (waktu itu masih mahasiswa) FISIP Universitas Wahid Hasyim

   Menurut sejarahnya, adalah para pemuda yang 84 tahun lalu mengucapkan sumpah untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dalam Sumpah Pemuda. Dengan dimotori oleh Sutan Takdir Alisyahbana, bahasa yang berasal dari pola bahasa Melayu dengan diperkaya kosa kata dari ratusan suku bangsa di berbagai daerah ini kemudian menjadi bahasa baru bagi bangsa yang juga baru saja tumbuh (Badudu, 1992:7) sekaligus pemersatu bagi bangsa kita yang majemuk. Bahasa Indonesia kemudian menjadi bahasa lingua franca bagi bangsa Indonesia (Badudu, 1992:8).
    Lain ladang lain belalang, lain dulu lain sekarang. Dulu, para pemudalah yang menjadi pencetus sekaligus penggerak bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dengan bangga dipakai dalam berbagai perhelatan baik resmi maupun tidak resmi. Imajinasi dan kreativitas bahasa pun berkembang dengan banyaknya pujangga-pujangga dari penjuru Indonesia. 
    Faktanya, pemuda sekarang ini lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia yang tidak resmi. Kosa kata seperti loe, gue, kayak dan gitu sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari lidah penutur muda bahasa Indonesia. Bahasa tidak resmi ini juga telah mendapat pengaruh dari bahasa lain terutama bahasa Inggris seperti fine, end, schedule dan mouse. Padahal bahasa Indonesia juga mengenal istilah-istilah ini dalam bahasa Indonesia: baik, akhir, jadwal dan tetikus. Bahkan tidak jarang, pola bahasa Inggris pun ikut berpengaruh dalam kehidupan berbahasa para pemuda masa kini seperti penggunaan akhiran -s yang ditambahkan pada kata "teman" sehingga menjadi "temans" untuk menggambarkan bentuk jamak dari nomina teman. Pola yang berasal dari bahasa Inggris ini melenceng jauh dari penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. 
    Masih banyak kecondongan berbahasa pemuda Indonesia masa kini dalam kehidupan sehari-hari yang menyalahi kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar dengan tujuan eksistensi. Keinginan kamu muda untuk menampilkan diri sebagai insan terdidik serta serba modern menjadi alasan dari ketidaksesuaian berbahasa yang mereka pergunakan. Kekerenan menjadi alasan utama penggunaan bahasa yang tidak sesuai kaidah kebahasaan. Gejala ini memrihatinkan mengingat pemuda merupakan tolok ukur situasi kebahasaan sehingga dapat mengancam keberlangsungan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
     Pengaruh bahasa lain dan penggunaan bahasa tidak resmi tidak sepenuhnya bersifat negatif karena merupakan indikasi bahwa suatu bahasa berkembang secara dinamis serta mengikuti perkembangan zaman. Namun pengaruh bahasa lain ini perlu mengalami proses pembahasaindonesiaan agar sesuai dengan karakter bangsa Indonesia serta tidak berkembang dengan liar dan tetap memiliki jatidiri sebagai bahasa dari bangsa yang majemuk. Kaidah bahasa Indonesia yang baik perlu dilestarikan karena bahasa inilah yang berjasa besar menjembatani kemajemukan Indonesia.
    Pada akhirnya, penutur muda dalam bahasa mana pun memiliki kekuatan yang menentukan bagi masa depan suatu bahasa. Para pemuda adalah generasi yang menentukan arah pergerakan suatu bahasa melalui kecenderungan tren penggunaan kosa kata tertentu dalam suatu bahasa. Para pemuda pula yang memiliki andil dalam membawa serta memperkenalkan bahasa Indonesia baik kepada masyarakat internasional maupun kepada generasi penerusnya di masa depan. Lalu jika para pemuda tidak melestarikan bahasa Indonesia, mau dibawa kemana nasih bahasa pemersatu kita ini?