Artikel ini dirilis di Suara Merdeka pada tanggal 2 Februari
2013
Transparency International mencatat Indonesia sebagai salah
satu dari negara terkorup di Asia tahun 2012. Memprihatinkan. Di
negeri ini, ternyata justru orang-orang yang memiliki status tinggi dan jabatan
melakukan pelanggaran hukum atau yang sering disebut dengan white collar crime (Sutherland, 1961).
Korupsi
di Indonesia sudah menjalar ke tiga komponen pemerintahan: eksekutif,
legislatif dan yudikatif. Beberapa bulan lalu, seorang anggota Kabinet
Indonesia Bersatu II ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi yang juga
melibatkan beberapa oknum anggota legislatif. Belum
lagi kasus suap terhadap jaksa dalam perkara tipikor yang sudah jenuh kita
dengar di berbagai media pemberitaan. Herannya
lagi, persekongkolan ini marak terjadi bahkan dengan melibatkan korporat yang
berusaha melakukan eksploitasi terhadap sumber daya alam Nusantara.
Semua
gejala ini mengarah pada kleptokrasi, suatu kondisi dimana negara dipenuhi
dengan korporasi dan birokrat yang bekerja sama dalam tindakan korup yang
menguntungkan pihaknya sendiri (Weber, 1978). Gejala ini merupakan “puncak
gunung es” dari kebobrokan moral (Noeh, 2005) yang dilakukan oleh pihak yang
memiliki pangkat tinggi dan semestinya menjadi panutan bagi masyarakat. Jika
demikian, lalu seperti apa kondisi “di bawah gunung es” yang tidak dapat kita
lihat?
Pendidikan
tentu berperan membentuk moral masyarakat. Mahasiswa memiliki potensi sebagai
agen perubahan dan selaku calon pengelola negara. Gerakan mahasiswa berfungsi
untuk mendorong perubahan sosial dan politik (Altbach, 1981). Proses pendidikan
mahasiswa menjadi kunci bagi terbentuknya moral generasi pengelola negara kita
di masa depan.
Sayangnya,
gejalan kerusakan moral yang mengarah pada kecenderungan tindakan korupsi
ternyata sudah menjadi hal yang umum dalam keseharian generasi terdidik
Indonesia. Praktik
suap daam penerimaan mahasiswa, plagiat dan kehidupan mahasiswa yang hedonis,
merupakan tanda kerusakan moral yang mengarah pada tindakan korupsi. Gejala-gejala
semacam inilah yang seharusnya ditangani, jika kita memang mau “naik kelas”
bebas dari korupsi.