Thursday, December 31, 2015

From Desperation to Miracles


It started with an istikharah prayer. After-graduation unemployedness for a 26 years old single guy like me is never easy. I got a degree right behind my name, a bachelor. A degree with which people expect me to do something great, yet I can only find myself begging for pity from anyone who would even have a bit of mercy to accept me as their employee. I applied here and there, sent my CVs everywhere, so many companies. The answers keep dragging my heart down.
Hesitating of what should I do, I finally come tou You, my dear Allah swt. I kneel down to you, after all those ridiculous sins I’ve made, all those countless mistakes I’ve done. I beg for Your Blessing, Your Mercy, Your Forgiveness, now I repent shamelessly in front of You. I still feel so stupid, even until now, as to why had I only come to You after all these problems? I’m a weak human indeed, O God. And You are the Almighty. I give up my life to you, to worship You and be nothing but worshipper of Allah, as this is the reason why You created us all, human beings.
Now I have my life in front of me, but indecision of what should I do with it. I can’t stay unemployed, yet I’m no good at doing business. I’m good at studying, and keep studying. And that’s what I’ve been doing. And now that I ask you what should I do, it seems like studying is the answer. I should study more, and even spread my knowledge all over the world, help people with what I know. I feel like I should even become a teacher.
But the frustration comes into desperation when I found myself doing things that I thought would be important yet I can’t provide any advantage for the society, for the people. I’m a teacher without student, I’m a learner with no practice, I have no chance and felt so useless.  I study materials, read and write articles, read books but there’s nothing I can do to implement all those knowledge. Also, my applications for those jobs must’ve been thrown away in a rubbish bin, because apparently I got no answer for months. Even a look in the eye from anyone looks like it’s telling me that I’m a jobless worthless sucker. Simply, I was depressed.
And when my confusion peaked up, I got answer from my istikharah question about what I should do with my life: I should get a scholarship. That’ll totally improve the situation. It’s like a blink of a light when I’m stuck in the pitch dark cave, crouching on a wall looking for a chance to stay alive. It’s been inside my heart, hiding, because I always look at university websites, campuses, university ranking for no reason. I’ve been dreaming about since… I don’t even know since when but I’ve always wanted to study abroad. It’s like the primary school version of me is telling me to make my dream come true.
Ever since I realize this goal, my ambition to study abroad has been resurfacing. It’s buried in a shallow grave, I know, but my desperation and frustration of being rejected from companies had always keeping me away from it. It’s not just that, but I also have that faith in me, that I will be able to struggle even the hardest I should to get this. That no matter how many obstacles lie on my pathway there, I would always be able to kick it away and make my way there. And You, Allah swt., that I trust You, that You’ll always be on my side, and I believe that everything will just gonna be alright, including this struggle over scholarship. That’s the time that I start to apply for scholarship again.
That day, August 18th 2015, I sent my application to many universities abroad, in many countries. In my count, I can only remember 20 or more. I remember that day precisely I was sitting on my nephew’s bench concentrating on my laptop since very early in the morning. I filled up forms, uploaded my documents, made personal statements and submit my application. New Zealand, Australia, Turkey, United Kingdom, Japan, China, literally everywhere. Literally to every university I’m interested in. At first I was so excited, but then the excitement slowly turned down and it came into boredom. Nevertheless, I kept going. It sounds silly but I have a faith in what I was doing.

Since then, miracles have come into my life endlessly. I started to feel much happier with my struggle, my heart was even calmer than it was before. I study consistently, with belief in my head that it’ll be advantageous. I struggle, yet I no longer feel desperate for the result. During my struggle over scholarship, I got a lot of help that I believe could only come from You dear Allah. Those are, the miracles I never thought I would have in my life. It’s like you put sticks and stones  away to clear up my path and reach my goal. If it isn’t You, it wouldn’t be possible. Looking back to where I was and how I felt back then, it feels like impossible. But then again I’m already here. It was amazing.

That’s the time that I fully submit my life to You dear Allah, that it started to change. I change the orientation of my life, giving up my entire life to only worship Allah and struggle for my religion. And I did, with Your Help, O Allah the Almighty. That’s the best decision I’ve ever taken in my whole life. I thank You for all these great achievements, for all these experience, opportunity, life, breathe, and every single thing You provide right here in front of me. I just can thank You enough for these blessing, these gifts. May I be Your servant for the rest of my life.

Friday, December 25, 2015

Seri Beasiswa LPDP: Beda Afirmasi dan BPI

Halo, pejuang beasiswa! =D


Halo, pejuang beasiswa! =D

Tulisan kedua tentang beasiswa LPDP ini akan menjawab pertanyaan beberapa orang teman yang kebetulan berminat melanjutkan studi lewat beasiswa LPDP. Tepatnya pertanyaan yang satu ini:

Apa sih bedanya Beasiswa Afirmasi sama Beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP?

Buat yang sudah pengalaman ubek2 situsnya beasiswa LPDP, pasti sudah paham betul bagian yang mana pertanyaan ini. Di menu laman beasiswa LPDP, ada 2 macam beasiswa yang bikin orang bertanya yaitu afirmasi dan magister-doktor. Lha terus apa bedanya? Ini kudu ambil yang mana?

Sebenarnya, dua beasiswa LPDP ini memang beda. Perbedaan awal dari tujuan masing-masing. Beasiswa Pendidikan Indonesia atau BPI itu diberikan secara umum untuk semua golongan masyarakat, tujuannya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, memberikan pendidikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan dan memang unggul. Kalo afirmasi tujuannya buat menjangkau masyarakat yang seringkali termarjinalkan dan sangat membutuhkan pendidikan tinggi, juga untuk orang-orang yang sudah berjasa mengharumkan nama bangsa dengan macam-macam prestasi.

Dari tujuan itu pula, sasaran penerima kedua beasiswa itu berbeda. Kalau BPI, asalkan kita memang unggul dan memenuhi kriteria penerima beasiswa LPDP entah dari golongan mana pun, bisa lulus (dan ingat, beasiswa LPDP tidak mengenal sistem kuota untuk penerimanya). Jadi jangan heran, pendaftarnya puluhan ribu! Tahun 2015 setidaknya 50.000 pendaftar untuk kategori ini. Takut saingan sama temen sendiri? Jangan khawatir, tidak ada istilah saingan buat seleksi beasiswa LPDP. Yang ada cuma saingan sama diri sendiri. Iya betul, diri sendiri! So be the best version of yourself!

Kalau afirmasi, penerimanya terbatas dari beberapa golongan. Kategori pertama adalah penerima dari daerah 3T, singkatan dari terdepan, terluar dan tertinggal. Jadi LPDP sendiri punya daftar daerah-daerah yang termasuk di kategori 3T ini (http://www.lpdp.kemenkeu.go.id/wp-content/uploads/2015/07/Daftar-Daerah-3T-2015.pdf ). Nah, bagi siapa saja yang memenuhi syarat beasiswa LPDP dan berdomisili atau berasal dari daerah ini berarti masuk ke kategori penerima beasiswa yang satu ini. Kategori kedua berasal dari kelompok masyarakat berprestasi namun miskin secara ekonomi, seperti alumni beasiswa bidikmisi, yang memilih piagam penghargaan, punya banyak prestasi, dengan syarat IPK minimal 3,50. Kategori yang ketiga adalah orang-orang yang memiliki prestasi baik nasional maupun internasional.

Karena masing-masing kategori itu tadi perlu dibuktikan, syarat pendaftaran afirmasi secara birokrasi lebih rumit. Seleksi kedua kategori beasiswa berlangsung bersamaan, meskipun masing-masing pewawancara paham betul mana yang afirmasi dan mana yang BPI. Proses pendaftaran sama dengan BPI yaitu lewat formulir daring di laman beasiswa LPDP. Bedanya untuk afirmasi, ada dokumen-dokumen tambahan seperti surat keterangan tidak mampu, rekening listrik selama 3 bulan, surat keterangan penghasilan, surat domisili atau KTP dengan keterangan penduduk di daerah tertentu, dan dokumen lain yang relevan tergantung dari masing-masing kategori. Eits, jangan sedih dulu, pendaftar beasiswa afirmasi justru dimudahkan dengan rendahnya syarat minimal skor TOEFL untuk bisa lulus seleksi administratif. Kalau BPI mensyaratkan skor TOEFL 500 untuk dalam negeri dan 550 untuk luar negeri, beasiswa Afirmasi hanya membutuhkan skor yang relatif rendah, 400 untuk magister dan doktor dalam negeri serta 450 untuk magister dan doktor luar negeri.

Sebagai gantinya, penerima beasiswa Afirmasi nantinya bakal menjalani yang namanya Pengayaan Bahasa (PB). PB ini pun menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing penerima beasiswa. Kalau sekiranya nilainya sudah memenuhi syarat minimal penerimaan di universitas atau sudah diterima (dengan bukti surat penerimaan dari universitas), penerima diperbolehkan tidak mengikuti PB atau berhenti dari jalannya PB. Komponen pembiayaan untuk beasiswa Afirmasi juga sudah mencakup tunjangan biaya hidup selama menjalani PB di kota yang ditentukan. Lokasinya biasanya tergantung LPDP, a.ka rahasia perusahaan.

Persiapan Keberangkatan (PK) yang wajib dijalani semua penerima beasiswa LPDP, meskipun sama untuk afirmasi maupun BPI, tapi berbeda dalam beberapa hal. Penerima BPI bisa langsung mengikuti PK, sedangkan penerima beasiswa afirmasi umumnya harus menunggu PB sebelum bisa mengikuti PK. Kasus khusus untuk penerima beasiswa afirmasi yang sudah memenuhi syarat bahasa, boleh langsung mengajukan PK. Selain itu, pengumuman PK untuk BPI biasanya diberikan 1 minggu setelah pengumuman kelulusan beasiswa. Untuk afirmasi, informasi tentang PB baru diberikan 2 bulan pasca-pengumuman kelulusan, jadi PK untuk afirmasi cenderung mundur beberapa bulan. Soal proses PK, kurang lebih sama baik untuk BPI maupun afirmasi.

Secara garis besar, Afirmasi dan BPI hanya berbeda dari segi penerimanya, syarat bahasa dan keberadaan PB. Tapi intinya, yang namanya perjuangan beasiswa itu tidak ada yang semudah membalikkan telapak tangan. Yang pasti, pontang panting untuk persyaratan itu pastinya tidak bisa terelakkan. Makanya, mari berjuang! =D


There’s no failure in this life, only those who give up too soon.

Thursday, December 10, 2015

Seri Beasiswa LPDP: On the Spot Essay



Selamat pagi, pejuang beasiswa!

Kali ini sapaan sengaja saya tulis seperti ini, karena saya yakin betul sekarang ini anda-anda sekalian yang sedang membaca tulisan kecil ini adalah para pejuang beasiswa yang sedang berkutat menghadapi ujian LPDP. Jangan khawatir, njenengan tidak salah tempat. Tulisan ini memang secara khusus didedikasikan untuk teman-teman semua dari seluruh penjuru Indonesia yang tengah berharap-harap cemas menantikan seleski Beasiswa LPDP, baik Afirmasi maupun Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI).
       Lebih khusus lagi, artikel ini akan membahas mengenai satu model seleksi baru untuk menyaring penerima beasiswa LPDP yang dilaksanakan kedua kali pada periode 4 tahun 2015 yaitu, jeng jeng jeng… seleksi penulisan esai. Model seleksi baru ini sudah diumumkan sejak periode pertama tahun 2015, dan sejujurnya tidak se-menyeramkan yang banyak dikira. Waktu itu, saya lihat reaksi banyak pendaftar sepertinya begitu heboh, dan kemudian banyak yang bersegera mendaftar untuk menghindari proses yang satu ini. Saya rasa, tidak perlu menanggapi begitu paranoid, toh saya yang baru saja melewati proses itu seminggu lalu pun insyaAllah baik-baik saja.
        Tujuan dari seleksi esai ini ya betul-betul menguji kemampuan akademis si calon penerima beasiswa LPDP. Kita nantinya (kalau benar-benar lolos dan berangkat) diharapkan akan memberikan kontribusi untuk Indonesia, dan sudah sewajarnya memiliki kesiapan akademik yang matang, termasuk di antaranya kemampuan menyampaikan pendapat dan menjelaskan dalam bentuk tulisan. Aspek kemampuan menulis menjadi penting mengingat kemampuan orang berkomunikasi itu bervariasi, ada yang secara lisan lancar namun ada yang tidak bisa berkutik ketika harus berbicara di depan khalayak, tapi punya kecerdasan yang mengagumkan. Nah, celah inilah yang bisa dimanfaatkan si orang tersebut, sekaligus biar panitia seleksi beasiswa LPDP gak kecolongan karena salah strategi. Jadi orang yang betul-betul berkualitas bisa tersaring. Pelajaran ini saya dapatkan karena salah satu rekan saya satu tim waktu seleksi juga memiliki kendala dalam menyampaikan pendapat, tapi hasil karyanya betul-betul menakjubkan. Jadi kalau njenengan nggak terlalu bisa ngomong, jangan khawatir, ini kesempatan anda!
       Teknis penulisan ini sebenarnya sederhana. Kalau anda pernah mengikuti Test of Writing English di TOEFL atau IELTS, pasti paham dengan model seleksi penulisan esai ini. Waktu seleksi penulisan ini adalah 20 menit sebelum LGD, dan dilaksanakan selama 30 menit. Iya, cuma 30 menit! Aturannya pun mudah, tidak ada kertas atau alat tulis lain selain pena dan papan jalan (sebelumnya sudah diumumkan di undangan seleksi substantif yang dikirimkan ke surel masing-masing, makanya baca surelnya harus lengkap, gak boleh main-main!). Satu kelompok esai terdiri dari sekitar 20 orang yang nantinya duduk di ruang kelas dengan satu meja dengan selembar soal di atasnya (dan pastinya ada kursinya), dipandu seorang pembimbing di dalam ruangan. Pembimbing ini akan menjelaskan aturan penulisan esai, dan menghitung pelaksanaan esai selama 30 menit. Selain itu, selama proses penulisan esai, pembimbing juga akan memberitahukan waktu yang tersisa untuk menulis. Peringatan diberikan setelah berjalan 15 menit, sisa 10 menit, sisa 5 menit serta 1 menit. Karena selama seleksi penulisan esai ini tidak diperbolehkan membawa kertas lain atau mencorart-coret lembar soal, peserta bisa menulis gagasan di kartu peserta yang sudah dicetak sebelumnya.
          Soal esai terdiri dari 2 pilihan, yang keduanya terkait dengan isu tertentu terutama yang terkini. Dari savitriadelia.blogspot.co.id, saya dapat informasi kalau tema seleksi penulisan esai adalah sebelumnya adalah (1) revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi dan (2) bonus demografi; sebuah tantangan ataukah bencana? Sedangkan di periode 4 tahun 2015 sewaktu saya mengikuti seleksi, tema pertama berkaitan dengan tantangan globalisasi, bagaimana peluang bagi Indonesia untuk memanfaatkannya dan bagaimana ancaman globalisasi terhadap budaya lokal, serta yang kedua yaitu tentang pola pengasuhan orang tua terutama yang berkaitan dengan perilaku seksual anak. Dari kedua tema, kita kemudian diminta untuk memilih salah satu topik kemudian menuliskan pendapat kita sesuai tema. Ada 3 kriteria penilaian yaitu struktur tata bahasa, orisinalitas ide atau gagasan anda dan sistematika penulisan, keterkaitan antar paragraf.
             Menulis dalam waktu singkat dan dengan gagasan yang bisa terbatas atau bisa juga melimpah itu betul-betul sebuah tantangan. Kalau kita punya banyak gagasan, biasanya justru akan bingung karena harus memilah mana yang tepat dan mengangkat nilai. Kalau miskin ide, nanti jadinya esai akan meluber dan hanya berputar di satu gagasan inti tapi dijelaskan panjang lebar tinggi dan kemana-mana, malah terlihat tidak efektif. Kalau kita sudah punya gagasan, lebih baik difokuskan pada menjawab pertanyaan tema yang sudah disediakan. Lalu gagasan bisa diurutkan seperti membuat skripsi, mulai dari pendahuluan, tinjauan pustaka, lalu pembahasan dan kesimpulan. Yang penting, antar paragraf nyambung satu sama lain. Selain itu, kita bisa buat penjelasan yang singkat, padat dan jelas. Waktu 30 menit untuk menulis itu benar-benar sebentar saja, jadi lebih baik kalau gagasan yang disampaikan tidak terlalu banyak tapi padat dan rinci.
           Terkait dengan tema, memang gampang-gampang susah. Kalau kita beruntung, tema yang kita dapatkan bisa jadi sesuai dengan studi kita dan itu kan gak masalah. Apesnya kalau kita sama sekali tidak tahu menahu tema tersebut. Untungnya, setidaknya kita bisa memilih 2 tema yang tersedia. Persiapan untuk seleksi ini ya pastinya memperbarui informasi dari macam-macam sumber, bisa koran (asal dibaca), atau berita on-line (yang nyambung dan relevan, bukan gosip seleb). Berita-beritanya juga yang memang menyedot perhatian publik, banyak didiskusikan, bisa jadi diomongin bapak-bapak PNS yang lagi nongkrong di warteg mau sarapan, atau tukang ojek yang lagi mangkal. Isu yang diangkat biasanya kontroversial, banyak memicu perdebatan dan memang lagi hot-hotnya.  
Kalau sudah, coba kita analisis kasus itu dengan sudut pandang sendiri. Beberapa teman mengaku sempat bingung karena studi kasus tidak ada hubungannya dengan studi, misalnya studi teknik geodesi sedangkan temanya kontroversi hukuman kebiri, kan gak ada sangkut pautnya berroohh. Nah kalau sudah begini, pakai saja perspektif pribadi. Dan jangan khawatir ini tidak nyambung, semua orang pasti punya hati nurani dan akal budi, yang pastinya masih bisa dipake buat mikir. Semua orang itu pasti punya perspektif yang unik, tergantung bagaimana kita menjelajahi lebih dalam pendapat kita sendiri.
Proses menulis esai umumnya berjalan dengan tertib. Sedari awal seleksi saya belum pernah mendengar ada kecurangan yang dilakukan peserta seleksi. Selain ada pemandu yang selalu berkeliling dan membantu peserta, saya pikir masing-masing peserta seleksi juga memiliki kesadaran yang tinggi kalau ini adalah seleksi untuk memilih calon pemimpin bangsa. Jadi kalau sedikit saja ada pikiran berbuat curang di benak calon pemimpin bangsa, terus bagaimana nasib bangsanya nanti? Maka dari itu, kecurangan dalam bentuk apapun benar-benar bukan solusi.
Kalau sudah selesai esai, ya mari kita berdoa saja. Sekarang pun saya sedang berdoa tanpa henti agar diberi kemudahan. Sekarang ini saya sedang menanti pengumuman, nanti tanggal 10 Desember 2015 diumumkan dan insyaAllah saya posting tulisan ini. Semoga bermanfaat. :)