Ada sebuah pepatah Jawa yang berbunyi seperti berikut ini:
“‘Yen mung rupa sing bisa gawe atimu tresna, banjur kepiye anggonmu tresna marang Gusti sing tanpa rupa.”
Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi:
“Jika hanya tampilan saja yang bisa membuatmu cinta, lalu bagaimana kau akan mungkin cinta pada-Nya yang tak tampak.”
Dan dengan segera aku teringat pada diriku. Ini jadi semacam pengakuan dosa, setiap kali aku keluar dengan beberapa temanku selama beberapa waktu ini, hampir selalu kami menengok kanan dan kiri mencari sekadar ‘pemandangan indah’ wajah-wajah yang menurut kami menarik hati. Terkadang kami cekikikan kegirangan ketika ada yang benar-benar mampu mencuri hati kami meskipun hanya sekilas saja. Sampai-sampai gemas dan seolah ingin benar-benar memiliki. Ya, secara kasat mata kami menilai orang berdasarkan kenampakan fisik mereka.
Meskipun ini nantinya berbeda ketika kami bertemu dengan si empunya fisik yang sesungguhnya dan berhubungan secara langsung. Karena memang kepribadian akan sangat berpengaruh terhadap hubungan dua orang. Tapi benar bahwa hal ini, kebiasaan buruk ini menjadi semacam penyakit bagi kami, yang tak bisa dihilangkan sampai sekarang.
Membaca satu kalimat tadi jadi membuatku berpikir, merenungkan dan memikirkan kembali apa yang selama ini aku lakukan. Fisik bukanlah penentu, bahkan fisik itu bukan apa-apa. Itu hanya sekadar bagaimana manusia terlihat dari luar, bukan apa yang ada di dalam. Kecantikan fisik bisa didapat dengan usaha, namun ia mampu menutupi kebusukan yang ada di dalam. Lagipula kecantikan fisik itu hanya bersifat sesaat, hanya dalam sekejap bisa berubah drastis.
Aku bicara tentang kehidupan cinta seseorang yang cenderung lebih mudah menyukai seseorang berdasarkan tampilan fisik mereka, dan ini berlaku global di mana pun kita berada. Betul kan? Tidak dipungkiri bahwa keindahan fisik akan selalu menarik bagi kita, membuat kita ingin melakukan sesuatu, membuat hati kita mengingat, membuat kita ingin menyentuh. Bahkan lebih jauh, membuat kita ingin ikut merasakan keindahan itu lebih lama, lebih jauh dan lebih intim.
Dan itu wajar. Kita ini manusia, kita diberi perasaan yang tahu mana yang indah dan mana yang biasa saja. Kalau kita tidak punya rasa, maka tak akan ada yang namanya seni. Ciptaan Tuhan itu indah, memiliki seni yang bisa diindra, apapun bentuknya. Manusia pun diciptakan indah, namun ada kalanya ada satu hal yang lebih dari orang pada diri satu orang tertentu, termasuk fisik. Seseorang yang memiliki keindahan fisik dapat dengan mudah dikagumi karena keindahannya mudah dirasakan. Maka wajar bila orang dengan mudah kagum padanya, dan bisa sangat mudah ditebak dan itu hal yang biasa. Seseorang yang diciptakan dengan keindahan yang menuntut orang lain berusaha lebih keras untuk dapat merasakan keindahan itu, bukankah seharusnya itu lebih bermakna daripada sesuatu yang dengan mudah kita rasakan dan ketahui. Keindahan yang tersembunyi dan tidak diumbar itu kan yang sebenarnya keindahan sejati, bukankah begitu? Jika kita dengan mudah mendapatkan keindahan itu, lalu apa bedanya? If it’s easy, it’s not significat, begitu kataku.
Sekarang pikirkan. Seseorang yang memiliki tampang yang begitu menarik, namun ia begitu sombong dan angkuh. Merasa seolah ia adalah yang paling indah dan paling berjaya. Dengan sikap semacam itu, orang mana yang bisa tahan bersama dengannya?
Lain lagi halnya dengan seseorang yang berjuang mati-matian hanya demi terlihat menarik di depan mata orang. Pikirkan seorang pelacur yang bersolek tanpa lelahnya, hanya untuk mendapat pelanggan. Seusai mendapat pelanggan dan mendapat bayaran lalu apa? Seolah tubuh ini bayaran, alat yang bisa digunakan kapanpun orang mau. Apa itu yang namanya manusia?
Lalu kalaupun menarik, untuk apa? Untuk menggaet semakin banyak lawan jenis? (atau bahkan sesama jenis?) Kalau sudah digaet lalu untuk apa? Dinikmati dari luar saja? Membiarkan orang lain memuja kita? Demi apa? Kalau sudah dipuja kita mau apa? Toh itu hanya sekejap mata. Coba kalau orang yang memuja kita itu sudah mendapatkan kita, bosan lalu pergi begitu saja. Lalu dimana harga diri kita?
Penampilan fisik kita, kemungkinan besar hanya untuk beberapa saat dan dinikmati ketika kita masih muda dan berada di usia yang paling ‘segar’, kata orang banyak. Ketika kita menua, toh semuanya akan sama saja. Yang akan bertahan dengan kita itulah yang seharusnya memiliki mental, kepribadian, kecantikan dari dalam diri yang terpancar keluar.
Makanya, fisik itu harusnya hanya satu nilai tambah dari nilai tambah yang lainnya.
Tapi kenapa sekarang banyak orang jadi begitu tergila-gila dengan yang namanya tampilan fisik? Bukankah hal ini tidak kekal, dan hanya sekejap mata? Apa gunanya?????
Bagaimana itu kecantikan dari dalam yang terpancar keluar? Pernah lihat Aung San Suu Kyi? Tatapan matanya begitu tajam dan kuat, setegar dirinya yang ditekan kekuatan pemerintahan militer sebuah negara otoriter. Bukankah itu yang menggerakkan dunia dan lebih hakiki, jauh lebih bermakna daripada kecantikan yang hanya didapatkan dengan sekadar operasi plastik instan yang membuat kita menjadi lebih indah dari luar saja?
Jadi mulai sekarang, indahlah bukan hanya dari luar, namun dari hati yang paling dalam. Dari kemampuanmu untuk berada tetap dalam jalan yang tepat dan benar, kelembutan hatimu untuk melihat dunia dan menjadikan dunia lebih baik dengan kekuatan kelembutan itu sendiri.
Look deeper, much deeper, then you’ll see the real beauty.