Merespon berkibarnya kabar tentang kontroversi penerimaan pengungsi Rohingya di Indonesia, banyak pihak yang bahkan tidak tahu menahu mengenai asal usul orang-orang kulit hitam yang tinggal di negeri orang-orang berkulit cerah ini. Yang banyak kita tahu adalah agama mereka yang Islam dan bagaimana semua aspek masyarakat Myanmar dari pemerintah sampai masing-masing invidivu non-Rohingya memperlakukan mereka. Sebagai orang yang akan membicarakan nasib mereka dan pemerimaan kita terhadap 'tamu' yang satu ini, alangkah bijak kalau kita mencari tahu terlebih dahulu seluk beluk penduduk yang terusir ini.
Sejarah masih buram bagi orang-orang Rohingya. Beberapa pakar sejarah mengungkapkan bahwa mereka adalah sekelompok pengungsi yang meninggalkan Bangladesh karena konflik. Tentu tidak mengherankan, karena secara fisik mereka terlihat lebih mirip dengan orang-orang Dravida dari selatan India dan juga Bangladesh. Orang-orang ini berkulit hitam dan memiliki rahang yang cenderung kotak, bukan bulat oval seperti orang-orang Melanesia. Dari segi rasial, mereka berhubungan dekat dengan orang-orang Tamil, Malayalam dan etnis-etnis lainnya yang tinggal di India Selatan, Sri Lanka dan Maladewa. Tapi apakah benar mereka ini pengungsi dari Bangladesh?
Sejatinya, permasalahan dulu dan sekarang memang berbeda. Orang Rohingya sejatinya adalah sebutan bagi mereka yang tinggal di tanah Arakan atau yang juga disebut dengan Rakhine. Kata "Rakhine" ini kemudian digunakan sebagai awalan bagi penyebutan orang-orang yang berada di tanah Arakan, oleh karena itulah mereka disebut dengan "Rohingya" yang artinya orang-orang Rakhine. Dulu, penyebutan ini digunakan untuk mencakup semua orang di Arakan baik keturunan Benggala maupun warga Arakan asli itu sendiri. Orang-orang Benggala inilah yang datang ke tanah Arakan ketika terjadi penggabungan wilayah bumi Arakan di bawah kerajaan Mrauk U dengan rajanya Narameikhla yang berhasil merebut tahta kerajaan Arakan dengan bantuan sultan Benggala. Peristiwa yang terjadi pada abad ke-15 ini menjadi awal migrasi sejumlah orang keturunan Benggala yang beragama Islam ke tanah Arakan secara legal. Ketika Arakan melepaskan diri dari Benggala, orang-orang keturunan ini telah lama tinggal dan menetap di Arakan sehingga terjadi asimilasi yang kental. Bahkan sistem kerajaan Arakan pun memiliki ciri khas kerajaan Islam dalam berbagai aspek seperti pemerintahan, keuangan dan sistem ekonomi. Orang-orang keturunan Benggala ini diakui pula sebagai warga Arakan yang resmi meskipun berbeda secara fisik dengan penduduk setempat. Orang-orang keturunan Benggala inilah yang nantinya kita sebut dengan Rohingya.
Kolonialisme Inggris membawa dinamika terhadap pergerakan orang-orang Rohingya. Ketika terjadi pendudukan dari kerajaan Burma, orang-orang Rohingya memohon perlindungan dari Inggris yang berkuasa di Benggala pada abad ke-18. Saat Burma berhasil dikalahkan Inggris, pemerintah kolonial Inggris menggabungkan wilayah Arakan ke dalam wilayah administrasi Benggala sehingga pergerakan penduduk semakin bebas. Sebagai bagian dari British India, pergerakan warga dari wilayah-wilayah yang nantinya meliputi 6 negara di Asia Selatan dan Tenggara ini sangatlah bebas. Awalnya percampuran ini tidak menyebabkan masalah, sampai Perang Dunia II pecah.
Pada Perang Dunia II, terjadi penolakan warga Rohingya atas pendudukan Jepang di kawasan Arakan. Inggris diduga menjadi dalang yang menggerakkan warga Rohingya untuk melawan warga Arakan yang pada waktu itu tunduk di bawah pendudukan Jepang. Dari sinilah awal munculnya sentimen kebencian antara warga Rohingya dengan warga Myanmar lainnya terutama warga Arakan. Terjadi saling bantai antara warga Rohingya dengan Arakan yang menewaskan puluhan ribu jiwa. Masing-masing digerakkan oleh kekuatan politik yang lebih besar dengan kepentingan masing-masing: Jepang yang berupaya mengekspansi wilayah hingga ke India serta Inggris yang menjadikan wilayah Arakan sebagai penyangga dan benteng terdepan dari pendudukan Jepang.
Sayangnya ketika warga Rohingya ingin bergabung dengan salah satu negara yaitu Pakistan dan Burma, keduanya menolak. Ketika upaya kemerdekaan dilakukan oleh kedua pihak, warga Rohingya mengajukan permohonan untuk bergabung dengan wilayah Pakistan Timur (yang kemudian merdeka dari Pakistan dan mendirikan Bangladesh). Pakistan yang ketika itu dipimpin oleh Muhammad Ali Jinnah, tidak menanggapi permintaan ini dengan pertimbangan tidak ingin mencampuri hubungan dalam negeri Burma dan ingin menjaga hubungan baik dengan tetangganya itu. Karena upaya ini gagal, muncul gerakan separatis yang berusaha mendirikan negara di wilayah Arakan untuk etnis Rohingya. Terjadi konflik antara pemerintah Burma dengan pemberontak Rohingya, dan orang-orang Rohingya terpaksa mengungsi ke wilayah Chittagong di Pakistan Timur (nantinya Bangladesh). Orang-orang Rohingya kembali terusir dari tanah Benggala ketika terjadi pergolakan kemerdekaan Bangladesh dari Pakistan. Warga Rohingya kembali dipaksa meninggalkan tanah Benggala, sehingga arus eksodus ke tanah Arakan semakin besar. Pemerintah Burma yang merasa terkena imbas pergolakan ini, merespon dengan membatasi hanya 200.000 orang Rohingya yang diperbolehkan kembali ke Burma. Meskipun demikian, karena tidak adanya penjagaan dan dokumentasi pergerakan di perbatasan kedua negara, mobilisasi warga Rohingya ini tidak tercatat sehingga diperkirakan jumlahnya membludak melebihi batas 200.000 yang ditentukan pemerintah Burma.
Dilempar ke sana kemari bak bola ping pong, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari catatan sejarah etnis Rohingya. Angka jumlah penduduk Rohingya di Myanmar pun hingga kini masih simpang siur karena pemerintah Myanmar hingga kini tidak mengakui mereka sebagai warga Myanmar. Lalu bagaimana nasib mereka di sana dalam kesehariannya di Myanmar?
Dari segi pendidikan, warga Rohingya sulit sekali mendapatkan akses. Yang paling sederhana, dari segi bahasa yang digunakan dalam pendidikan agama Islam di Myanmar. Pendidikan Islam di Myanmar diatur dan diharuskan menggunakan bahasa Burma sebagai bahasa pengantar. Padahal hampir keseluruhan buku teks agama Islam berbahasa Urdu, yang lebih mudah dimengerti orang Rohingya dan telah digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan agama Islam selama berabad-abad. Alhasil, pendidikan agama pun sulit mereka dapatkan hingga kini.
Dan seperti yang anda sekalian ketahui, kekacauan dan kekerasan yang melibatkan orang Rohingya, diskriminasi bahkan hingga genosida yang menewaskan puluhan ribu orang Rohingya terjadi secara terus menerus. Sentimen yang ada di benak etnis Burma dan etnis lain di Myanmar terhadap orang Rohingya tampaknya sudah begitu dalam. Warga Rohingya secara terang-terangan di usir dari tanah Myanmar. Inilah yang mendorong warga Rohingya untuk "kabur" menyelamatkan nyawa mereka di negeri yang entah tanah air mereka atau bukan.

No comments:
Post a Comment