Friday, July 10, 2015

Bangunan Kehidupan

Aku sedang berusaha menerjemahkan sendi-sendi kehidupan yang ada di hadapanku. Bata-bata kebiasaan, kayu panjang perilaku, genteng karya kita dan semen komitmen yang masih berserakan tak keruan. Untuk mengolah dan menyusunnya menjadi satu rangkaian bernama bangunan kehidupan.

Sebuah istana yang kuat terdiri dari dasar yang kokoh, tiang yang juga kuat dan atap yang melindungi. Dasarnya terdiri dari fondasi-fondasi, dan terserah saja pada si empunya hendak seperti apa ia menciptakan bangunannya. Tapi ia punya pilihan yang datang kepadanya dari pemikirannya sendiri, dari pencariannya sendiri yang berujung pada 2 hal: apa yang ia tegakkan dengan penuh keakuannya dan apa yang menjadi hakikat, sesuai firasat dan naluri kehati-hatiannya.

Ketika mengerahkan tenaga untuk membangun fondasi, kita pula diberi pilihan. Fondasi yang rentan akan menggoyahkan rumah ini meskipun dengan getaran yang ringan. Rumah yang berdasar serpihan lepas akan bergerak kemana arah angin dan bumi menggetarkan rumah, dan bisa jadi kapan pun oleng dan ambruk seketika. Dasar adalah bagian yang paling esensial menjaga keutuhan rumah, bisa dibangun kembali dengan tiang dan atap. Namun tanpa dasar, rumah hanya akan bertahan dalam waktu yang sangat singkat, melelahkan si penghuninya karena berulang kali harus memaku tiang dan memasang atap. Tanpa dasar, bangunan kehidupan hanya akan terombang ambing bersama arus. Menyakiti pemiliknya terus menerus, memaksanya mengulangi pekerjaan yang sama terus menerus tapi tidak memberinya jaminan keamanan.

Manusia demi manusia di muka bumi jelas bukan pakar yang baik dalam membuat fondasi. Mereka hidup dalam rata-rata rentang waktu kurang dari 100 tahun, dan tentunya pengalaman hidup mereka terbatas. Harusnya, mereka pun mencari dasar kehidupan ketika membangun istananya sendiri. Harusnya dari cerita kita bisa belajar mana fondasi yang kuat dan mana yang tidak tanpa harus terantuk jatuh dan tertimpa atap dan tiang yang kita tegakkan sendiri.

Pernah suatu kali aku mengganti dasarku dari apa yang aku pikir akan bertahan, meskipun ketika itu aku tahu bahwa aku sedang mabuk. Bata-bata kecil pemikiran yang aku coba, justru mengguncang dan meremukkanku sendiri ketika badai asmara itu usai, mencabut rumahku dari tanah dan memorakkannya menjadi serpihan bata-bata yang berserakan. Aku merajuk, bingung menghadapkan diriku pada siapa, saat aku tahu kebenaran bahwa di ujung sana ada fondasi yang sejatinya sudah diciptakan untukku. Fondasi yang sudah diciptakan si Empunya Hidup, Yang Menciptakan aku pula. Bodoh benar aku ini, berani menandingi apa yang Ia sudah titahkan sedari dulu.

Membangun kehidupan itu seringkali bikin penat, berkeringat dan memuakkan. Tapi ia harus tetap dijalani. Ketika rumah pun jadi, bukan dengan demikian ia bisa berdiri begitu saja. Badai dan gempa menghempas tanpa ampun, tanpa henti. Asalkan ia berada di fondasi yang bisa dipercaya, yang kokoh tiada duanya, maka rumah akan tetap berdiri. Kita menghendaki rumah menjadi seperti apa yang kita rencanakan, tapi badai dan gempa memperindahnya menjadi bentuk yang tak pernah kita duga sebelumnya. Bentuk yang Tuhan menginginkannya, menjadi satu pelajaran bagi rumah yang lain. Agar di masa depan, kita terus berhati-hati dan tidak melupakan pelajaran yang paling penting ketika membangun rumah: memilih fondasi yang paling kuat dan tahan uji.


Semarang, 2 Juli 2015.

No comments:

Post a Comment