Aku sedang berusaha menerjemahkan sendi-sendi kehidupan yang
ada di hadapanku. Bata-bata kebiasaan, kayu panjang perilaku, genteng karya
kita dan semen komitmen yang masih berserakan tak keruan. Untuk mengolah dan
menyusunnya menjadi satu rangkaian bernama bangunan kehidupan.
Sebuah istana yang kuat terdiri dari dasar yang kokoh, tiang
yang juga kuat dan atap yang melindungi. Dasarnya terdiri dari fondasi-fondasi,
dan terserah saja pada si empunya hendak seperti apa ia menciptakan
bangunannya. Tapi ia punya pilihan yang datang kepadanya dari pemikirannya
sendiri, dari pencariannya sendiri yang berujung pada 2 hal: apa yang ia
tegakkan dengan penuh keakuannya dan apa yang menjadi hakikat, sesuai firasat
dan naluri kehati-hatiannya.
Ketika mengerahkan tenaga untuk membangun fondasi, kita pula
diberi pilihan. Fondasi yang rentan akan menggoyahkan rumah ini meskipun dengan
getaran yang ringan. Rumah yang berdasar serpihan lepas akan bergerak kemana
arah angin dan bumi menggetarkan rumah, dan bisa jadi kapan pun oleng dan
ambruk seketika. Dasar adalah bagian yang paling esensial menjaga keutuhan
rumah, bisa dibangun kembali dengan tiang dan atap. Namun tanpa dasar, rumah
hanya akan bertahan dalam waktu yang sangat singkat, melelahkan si penghuninya
karena berulang kali harus memaku tiang dan memasang atap. Tanpa dasar,
bangunan kehidupan hanya akan terombang ambing bersama arus. Menyakiti
pemiliknya terus menerus, memaksanya mengulangi pekerjaan yang sama terus
menerus tapi tidak memberinya jaminan keamanan.
Manusia demi manusia di muka bumi jelas bukan pakar yang
baik dalam membuat fondasi. Mereka hidup dalam rata-rata rentang waktu kurang
dari 100 tahun, dan tentunya pengalaman hidup mereka terbatas. Harusnya, mereka
pun mencari dasar kehidupan ketika membangun istananya sendiri. Harusnya dari
cerita kita bisa belajar mana fondasi yang kuat dan mana yang tidak tanpa harus
terantuk jatuh dan tertimpa atap dan tiang yang kita tegakkan sendiri.
Pernah suatu kali aku mengganti dasarku dari apa yang aku
pikir akan bertahan, meskipun ketika itu aku tahu bahwa aku sedang mabuk.
Bata-bata kecil pemikiran yang aku coba, justru mengguncang dan meremukkanku
sendiri ketika badai asmara itu usai, mencabut rumahku dari tanah dan memorakkannya
menjadi serpihan bata-bata yang berserakan. Aku merajuk, bingung menghadapkan
diriku pada siapa, saat aku tahu kebenaran bahwa di ujung sana ada fondasi yang
sejatinya sudah diciptakan untukku. Fondasi yang sudah diciptakan si Empunya
Hidup, Yang Menciptakan aku pula. Bodoh benar aku ini, berani menandingi apa
yang Ia sudah titahkan sedari dulu.
Membangun kehidupan itu seringkali bikin penat, berkeringat
dan memuakkan. Tapi ia harus tetap dijalani. Ketika rumah pun jadi, bukan
dengan demikian ia bisa berdiri begitu saja. Badai dan gempa menghempas tanpa
ampun, tanpa henti. Asalkan ia berada di fondasi yang bisa dipercaya, yang
kokoh tiada duanya, maka rumah akan tetap berdiri. Kita menghendaki rumah
menjadi seperti apa yang kita rencanakan, tapi badai dan gempa memperindahnya
menjadi bentuk yang tak pernah kita duga sebelumnya. Bentuk yang Tuhan
menginginkannya, menjadi satu pelajaran bagi rumah yang lain. Agar di masa
depan, kita terus berhati-hati dan tidak melupakan pelajaran yang paling
penting ketika membangun rumah: memilih fondasi yang paling kuat dan tahan uji.

No comments:
Post a Comment