Friday, July 10, 2015

Mengingat Kematian

Entah kenapa tiba-tiba terpikir tentang hal ini dalam benakku. Sekarang ini belum selesai juga aku menonton film, judulnya My Brilliant Life. Film ini bercerita tentang seorang anak yang menderita Progeria, sebuah penyakit yang menyebabkan si penderita merasakan percepatan penuaan yang 10 kali lebih cepat daripada manusia pada umumnya. Umurnya baru 10 tahun, tapi ia tampak dan secara fisik sudah merasakan penyakit orang yang berumur lebih dari 80 tahun. Ia bisa saja meninggal kapan pun, apalagi mengingat semua penyakit yang ia derita mulai dari pernapasan, mata yang mulai rabun, pembuluh darah yang tersumbat bahkan hingga pecah.

Belum selesai aku menonton film ini ketika aku berpikir bahwa, singkat atau lama hidup seseorang, semasa hidup manusia itu membawa jiwa yang bisa dicintai. Adalah wajar bagi manusia lain untuk mencintai si empunya jiwa itu. Pecinta itu bisa jadi orang tua, dan itu adalah yang paling wajar. Bisa jadi kakak, adik, nenek, kakek, paman, atau siapapun dalam keluarga. Atau bisa juga sahabat yang sejatinya seorang sahabat, yang peduli dan benar peduli. Atau, yang satu lagi, cinta yang ia temukan ketika ia menjalani kehidupannya.

Cinta-cinta ini menyelinap di hati manusia, kedua belah pihak. Ia tinggal di sana, bahkan mungkin ketika salah satu di antaranya sudah tiada. Cinta tidak mengenal wujud, baik itu sekadar berupa citra dalam kenangan yang sudah lama tidak bersua dalam dunia nyata, atau memang seseorang yang masih dapat kita indra. Jadi ada atau tidak, hidup atau mati, kenangan mengenai cinta, beserta citra orang yang kita cintai akan selalu ada di dalam hati dan kenangan kita.

Mengingat mati, kupikir, terkadang lebih baik jika manusia tidak mencintai. Terdengar kejam? Entahlah, bagiku itu sepertinya lebih masuk akal jika aku ini tak berhati. Kita hidup, yang kata orang Jawa sekedar “mampir ngombe” atau sekadar minum sebentar. Hidup sebegitu singkat sampai kita seringkali tidak sadar bahwa kita terikat terlalu dalam pada hidup. Lupa bahwa akan ada mati ketika kita meninggalkan semuanya. Ketika kita mati, kita meninggalkan wujud fisik kita dari dunia nyata.

Semasa hidup, seringkali kita membentuk cinta ini. Kita mencintai dan mengikat diri pada orang-orang ini, keluarga, pasangan hidup, anak-anak kita, kerabat dan sahabat. Kita menjadi bagian tak terpisahkan, saling tergantung satu sama lain, bukan hanya perkara hidup tetapi juga dalam hal emosional. Seperti pelari yang kelelahan, manusia terkadang mencari tempat untuk meneduh dan bersandar sejenak dari karut marutnya hidup. Di situlah kita menjadi tergantung pada orang lain, si orang-orang yang kita cintai tadi, untuk menjadi penyejuk jiwa.

Yang kita lupa seringkali adalah ketika datang kematian, kita menjadi terlalu bersedih dengan kematiannya. Seharusnya kematian, atau ketiadaan citra fisik seseorang itu sejatinya mengekalkan ingatan tentang orang tersebut di dalam hati kita. Orang ini tidak akan pernah benar-benar meninggalkan kita, mereka ada di dalam hati kita selama kita masih mengingatnya.

Apakah itu berarti tidak bersedih dengan kepergian seseorang? Tidak juga. Adalah wajar kita memiliki emosi. Adalah maklum, bahwa manusia itu makhluk yang penuh kelemahan. Dalam hal ini, kita kehilangan tempat bersandar, dan emosi terguncang, maka butuh waktu untuk menyesuaikan dengan hal itu. Yang justru lebih indah dari itu adalah ketika ingatan tentang masa-masa indah itu muncul di dalam benak kita, dan betapa kita sudah seharusnya menghargai masa itu. Bahwa cinta dan kasih sayang si empunya raga itu ada dan nyata, tanpa perlu kita ragukan adanya.


Dan aku tersenyum sekarang, mengingat kematian.

No comments:

Post a Comment