Entah kenapa tiba-tiba terpikir tentang hal ini dalam
benakku. Sekarang ini belum selesai juga aku menonton film, judulnya My
Brilliant Life. Film ini bercerita tentang seorang anak yang menderita
Progeria, sebuah penyakit yang menyebabkan si penderita merasakan percepatan
penuaan yang 10 kali lebih cepat daripada manusia pada umumnya. Umurnya baru 10
tahun, tapi ia tampak dan secara fisik sudah merasakan penyakit orang yang
berumur lebih dari 80 tahun. Ia bisa saja meninggal kapan pun, apalagi mengingat
semua penyakit yang ia derita mulai dari pernapasan, mata yang mulai rabun,
pembuluh darah yang tersumbat bahkan hingga pecah.
Belum selesai aku menonton film ini ketika aku berpikir
bahwa, singkat atau lama hidup seseorang, semasa hidup manusia itu membawa jiwa
yang bisa dicintai. Adalah wajar bagi manusia lain untuk mencintai si empunya
jiwa itu. Pecinta itu bisa jadi orang tua, dan itu adalah yang paling wajar.
Bisa jadi kakak, adik, nenek, kakek, paman, atau siapapun dalam keluarga. Atau
bisa juga sahabat yang sejatinya seorang sahabat, yang peduli dan benar peduli.
Atau, yang satu lagi, cinta yang ia temukan ketika ia menjalani kehidupannya.
Cinta-cinta ini menyelinap di hati manusia, kedua belah
pihak. Ia tinggal di sana, bahkan mungkin ketika salah satu di antaranya sudah
tiada. Cinta tidak mengenal wujud, baik itu sekadar berupa citra dalam kenangan
yang sudah lama tidak bersua dalam dunia nyata, atau memang seseorang yang
masih dapat kita indra. Jadi ada atau tidak, hidup atau mati, kenangan mengenai
cinta, beserta citra orang yang kita cintai akan selalu ada di dalam hati dan
kenangan kita.
Mengingat mati, kupikir, terkadang lebih baik jika manusia
tidak mencintai. Terdengar kejam? Entahlah, bagiku itu sepertinya lebih masuk
akal jika aku ini tak berhati. Kita hidup, yang kata orang Jawa sekedar “mampir
ngombe” atau sekadar minum sebentar. Hidup sebegitu singkat sampai kita
seringkali tidak sadar bahwa kita terikat terlalu dalam pada hidup. Lupa bahwa
akan ada mati ketika kita meninggalkan semuanya. Ketika kita mati, kita
meninggalkan wujud fisik kita dari dunia nyata.
Semasa hidup, seringkali kita membentuk cinta ini. Kita
mencintai dan mengikat diri pada orang-orang ini, keluarga, pasangan hidup,
anak-anak kita, kerabat dan sahabat. Kita menjadi bagian tak terpisahkan,
saling tergantung satu sama lain, bukan hanya perkara hidup tetapi juga dalam
hal emosional. Seperti pelari yang kelelahan, manusia terkadang mencari tempat
untuk meneduh dan bersandar sejenak dari karut marutnya hidup. Di situlah kita
menjadi tergantung pada orang lain, si orang-orang yang kita cintai tadi, untuk
menjadi penyejuk jiwa.
Yang kita lupa seringkali adalah ketika datang kematian,
kita menjadi terlalu bersedih dengan kematiannya. Seharusnya kematian, atau
ketiadaan citra fisik seseorang itu sejatinya mengekalkan ingatan tentang orang
tersebut di dalam hati kita. Orang ini tidak akan pernah benar-benar
meninggalkan kita, mereka ada di dalam hati kita selama kita masih
mengingatnya.
Apakah itu berarti tidak bersedih dengan kepergian
seseorang? Tidak juga. Adalah wajar kita memiliki emosi. Adalah maklum, bahwa
manusia itu makhluk yang penuh kelemahan. Dalam hal ini, kita kehilangan tempat
bersandar, dan emosi terguncang, maka butuh waktu untuk menyesuaikan dengan hal
itu. Yang justru lebih indah dari itu adalah ketika ingatan tentang masa-masa
indah itu muncul di dalam benak kita, dan betapa kita sudah seharusnya
menghargai masa itu. Bahwa cinta dan kasih sayang si empunya raga itu ada dan
nyata, tanpa perlu kita ragukan adanya.

No comments:
Post a Comment