Semburat biru muda
masih malu-malu menapaki langit pagi hari ini.
Pukul lima pagi seperti
ini, Jakarta masih sepi. Apalagi ini hari sabtu.
Yah, ini adalah sabtu
ketiga dalam minggu-minggu ku pertama kali tinggal di metropolitan terbesar
negeri ini. Kota yang dikata orang sebagai kejamnya dunia, tempat si miskin dan
si kaya beradu merebut bungkusan nasi segenggaman tangan saja. Tempat dimana manusia
gerobak berserak di tepi-tepi jalan, menebarkan miris sekaligus wangi yang
bikin siapa saja yang lewat mengendus kecut. Juga tempat si maling berdasi
melancarkan aksi, di kantor-kantor bergelimangan uang di sana sini.
Kota ini menjadi
perhentianku sejenak dalam perjalanan menuju manis hidup.
Beralih sebentar,
tentang manis hidup. Apakah benar kita bisa mengecap manisnya hidup? Pernahkan
satu kali kita bermanis tanpa ada pahit apapun? Hidup itu penuh dengan masalah,
sebagai muslim aku percaya hanya akhirat yang menjadi perhentian tanpa masalah.
Itu pun kalau beruntung masuk surga, dengan segala susah payah dunia. Toh kalau
kita mengecap manisnya dunia, lalu akhirat mau dikecapi dengan apa?
Perjalanan hidup yang
menuju akhir, hanya menuju akhir. Perjalanan hidup inilah yang sesungguhnya
menjadikan semua ini berharga. Bukan akhirnya saja.
Sekarang ini, adalah
masa dimana hidup nikmatku sebagai mahasiswa di Semarang tiba-tiba harus diubah
180 derajat menjadi kehidupan kerja yang penuh dengan tekanan psikis. Tentu aku
adalah orang baru di Jakarta ini, orang yang sama sekali buta tentang Jakarta.
Yang aku tahu hanya dari cuap-cuap tetangga atau rekanan yang pernah
menyambangi kota super besar ini.
Ya, Jakarta adalah
salah satu kota terbesar di dunia.
Awal kehidupan disini
tidak mudah sama sekali bagiku. Adaptasi tempat, adaptasi lingkungan, juga
ritme kehidupan yang banyak berbeda dengan Semarang. Begitu awalnya.
Aku hidup di lingkungan
yang dikelilingi oleh orang-orang Jawa. Meskipun aku fasih dan sangat lancar
berbahasa Indonesia, namun tentu dialek yang aku gunakan bena-benar terpengaruh
dengan ke-Jawa-anku. Entah berasal dari mana, aku punya perasaan bahwa membawa
dialek Jawa dalam berbahasa Indonesia di Jakarta tidak akan membawaku menuju
kondisi yang nyaman. Ah, seperti ini saja sudah tidak nyaman. Tapi toh aku
berusaha untuk mengikuti aksen tanah ini, seperti apa kata pepatah, dimana bumi
dipijak di situ langit dijunjung. Memang aku sudah cukup terbiasa
bercakap-cakap dengan logat yang dikatakan ‘gaul’ tapi tentu berbeda ketika aku
bicara dengan orang yang sama-sama dari Jawa, dengan orang yang asli setempat.
Itulah.
Jujur saja ada sedikit
perasaan malu tadinya, ketika aku harus menggunakan logat Jawaku dalam
berbahasa Indonesia. Aku merasa seperti orang desa yang baru saja mampir ke
Jakarta dan terheran-heran dengan majunya sistem perkotaan di sini.
Tentu sebenarnya tidak
begitu. Banyak sistem di Jakarta yang sudah diterapkan di Semarang, dan orang
awam pun mahfum dengan hal itu. Tapi entah kenapa, tetap saja terasa berbeda.
Padahal jika aku punya
cukup kepercayaan diri, ke-Jawa-anku inilah yang menjadi ciri khas yang
membedakan aku dengan kebanyakan orang lainnya di Jakarta ini. Identitas ku
adalah sebagai orang Jawa yang memiliki falsafah hidup yang bejibun banyaknya
dan penuh dengan kebijaksanaan. Hidupku berada di lingkungan yang budayanya
justru lebih kuat daripada orang-orang di Jakarta ini. Dan itu membuatku banyak
berpikir, bahwa identitas budaya itulah yang sebenarnya menguatkan. Karena dengan
begitu aku punya banyak kebijaksanaan berumur ratusan tahun yang berakar kuat
di tanah kelahiranku.
Nah, harusnya hal itu
menjadi modal bagiku untuk terus berkarya, penuh percaya diri dan penuh
semangat menghadapi semua tantangan yang harus aku hadapi.
Itu tadi satu kendala
beradaptasi di Jakarta ini, untuk diriku sebagai orang daerah yang sama sekali
buta Jakarta.
Nah, itu teman-temanku
sudah bangun…
Kami berencana untuk
sekadar megunjungi monas, yang hanya berjarak selangkah kaki dari tempat kami tinggal.
Kami tinggal sangat dekat dengan alun-alun Indonesia.
Sekarang ini kami sudah
mampu bercampur baur dengan lingkungan Jakarta. Bukan karena kami berubah, tapi
karena pemahaman kami bahwa apa adanya diri kami disini adalah cerminan diri
kami. Dan bahkan jauh sebelum datang kemari, kami sudah bangga betul dengan apa
yang kami punya ini. Kami berpakaian dengan penuh kesahajaan, kami berjalan
dengan tenang, kami juga memiliki jiwa yang kuat. Identitas kami, kekuatan kami
dan semangat kami.
Pengalaman hidup yang
sejenak di Jakarta ini, tidak akan pernah aku lupa…
Selamat datang,
Jakarta.