Thursday, January 29, 2015

Minggu Ketiga di Jakarta



Semburat biru muda masih malu-malu menapaki langit pagi hari ini.
Pukul lima pagi seperti ini, Jakarta masih sepi. Apalagi ini hari sabtu.
Yah, ini adalah sabtu ketiga dalam minggu-minggu ku pertama kali tinggal di metropolitan terbesar negeri ini. Kota yang dikata orang sebagai kejamnya dunia, tempat si miskin dan si kaya beradu merebut bungkusan nasi segenggaman tangan saja. Tempat dimana manusia gerobak berserak di tepi-tepi jalan, menebarkan miris sekaligus wangi yang bikin siapa saja yang lewat mengendus kecut. Juga tempat si maling berdasi melancarkan aksi, di kantor-kantor bergelimangan uang di sana sini.

Kota ini menjadi perhentianku sejenak dalam perjalanan menuju manis hidup.

Beralih sebentar, tentang manis hidup. Apakah benar kita bisa mengecap manisnya hidup? Pernahkan satu kali kita bermanis tanpa ada pahit apapun? Hidup itu penuh dengan masalah, sebagai muslim aku percaya hanya akhirat yang menjadi perhentian tanpa masalah. Itu pun kalau beruntung masuk surga, dengan segala susah payah dunia. Toh kalau kita mengecap manisnya dunia, lalu akhirat mau dikecapi dengan apa?

Perjalanan hidup yang menuju akhir, hanya menuju akhir. Perjalanan hidup inilah yang sesungguhnya menjadikan semua ini berharga. Bukan akhirnya saja.

Sekarang ini, adalah masa dimana hidup nikmatku sebagai mahasiswa di Semarang tiba-tiba harus diubah 180 derajat menjadi kehidupan kerja yang penuh dengan tekanan psikis. Tentu aku adalah orang baru di Jakarta ini, orang yang sama sekali buta tentang Jakarta. Yang aku tahu hanya dari cuap-cuap tetangga atau rekanan yang pernah menyambangi kota super besar ini.
Ya, Jakarta adalah salah satu kota terbesar di dunia.
Awal kehidupan disini tidak mudah sama sekali bagiku. Adaptasi tempat, adaptasi lingkungan, juga ritme kehidupan yang banyak berbeda dengan Semarang. Begitu awalnya.
Aku hidup di lingkungan yang dikelilingi oleh orang-orang Jawa. Meskipun aku fasih dan sangat lancar berbahasa Indonesia, namun tentu dialek yang aku gunakan bena-benar terpengaruh dengan ke-Jawa-anku. Entah berasal dari mana, aku punya perasaan bahwa membawa dialek Jawa dalam berbahasa Indonesia di Jakarta tidak akan membawaku menuju kondisi yang nyaman. Ah, seperti ini saja sudah tidak nyaman. Tapi toh aku berusaha untuk mengikuti aksen tanah ini, seperti apa kata pepatah, dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Memang aku sudah cukup terbiasa bercakap-cakap dengan logat yang dikatakan ‘gaul’ tapi tentu berbeda ketika aku bicara dengan orang yang sama-sama dari Jawa, dengan orang yang asli setempat.
Itulah.
Jujur saja ada sedikit perasaan malu tadinya, ketika aku harus menggunakan logat Jawaku dalam berbahasa Indonesia. Aku merasa seperti orang desa yang baru saja mampir ke Jakarta dan terheran-heran dengan majunya sistem perkotaan di sini.
Tentu sebenarnya tidak begitu. Banyak sistem di Jakarta yang sudah diterapkan di Semarang, dan orang awam pun mahfum dengan hal itu. Tapi entah kenapa, tetap saja terasa berbeda.
Padahal jika aku punya cukup kepercayaan diri, ke-Jawa-anku inilah yang menjadi ciri khas yang membedakan aku dengan kebanyakan orang lainnya di Jakarta ini. Identitas ku adalah sebagai orang Jawa yang memiliki falsafah hidup yang bejibun banyaknya dan penuh dengan kebijaksanaan. Hidupku berada di lingkungan yang budayanya justru lebih kuat daripada orang-orang di Jakarta ini. Dan itu membuatku banyak berpikir, bahwa identitas budaya itulah yang sebenarnya menguatkan. Karena dengan begitu aku punya banyak kebijaksanaan berumur ratusan tahun yang berakar kuat di tanah kelahiranku.
Nah, harusnya hal itu menjadi modal bagiku untuk terus berkarya, penuh percaya diri dan penuh semangat menghadapi semua tantangan yang harus aku hadapi.
Itu tadi satu kendala beradaptasi di Jakarta ini, untuk diriku sebagai orang daerah yang sama sekali buta Jakarta.

Nah, itu teman-temanku sudah bangun…
Kami berencana untuk sekadar megunjungi monas, yang hanya berjarak selangkah kaki dari tempat kami tinggal. Kami tinggal sangat dekat dengan alun-alun Indonesia.

Sekarang ini kami sudah mampu bercampur baur dengan lingkungan Jakarta. Bukan karena kami berubah, tapi karena pemahaman kami bahwa apa adanya diri kami disini adalah cerminan diri kami. Dan bahkan jauh sebelum datang kemari, kami sudah bangga betul dengan apa yang kami punya ini. Kami berpakaian dengan penuh kesahajaan, kami berjalan dengan tenang, kami juga memiliki jiwa yang kuat. Identitas kami, kekuatan kami dan semangat kami.

Pengalaman hidup yang sejenak di Jakarta ini, tidak akan pernah aku lupa…
Selamat datang, Jakarta.

No comments:

Post a Comment