Thursday, January 29, 2015

Hampa



Dari kepala turunlah ke dada, dan masuklah ke dalam sana. Ada sebuah rongga kosong besar, gelap dan tak berwarna. Hampa dan hanya hitam dan putih. Ruang ini sedikit bercahaya, yang entah datang darimana, remang-remang menerangi sebuah obyek di tengah yang sedang berdenyut. Si empunya mengatakan itu hati, tapi jika hati itu benar adanya maka ia mungkin tak tampak seperti ini. Ia bulat, besar, memenuhi rongga, tapi sekaligus menyisakan kekosongan yang memenuhi rongga tadi. Berdenyut-denyut kuat seolah ia hendak meledakkan rongga ini. Ia hitam, kelam seperti kepulan asap hitam yang menyembul langsung dari api yang terbakar, dari ban yang tersulut. Pekat dan memenuhi, bergerak dengan cepat tak karuan. Asap ini seolah sedang ingin memakan apapun yang menghalanginya namun ia hanya bisa terperangkap di dalam rongga sempit itu. Anehnya, rongga yang berdenyut ini pun tertekan karena dentuman-dentuman dan gerakan kasar asap hitam. Lapisan luar rongga ini berkecamuk, suara-suara menggeretak terdengar dari rongga yang mulai merenggang dan membentuk retakan. Semakin cepat asap berputar, semakin cepat retakan muncul dan …

Si empunya dada itu sudah tak mampu menangis karena sesaknya dan muaknya dengan rasa hatinya yang seperti itu.

Diremas oleh tangan yang tak terlihat, dengan begitu kuat dan begitu kencang. Seolah ia hendak menghentikan denyut jantungku. Berdenyut dengan begitu kencang seolah ia mau meledak. Aku bahkan tak tahu perasaan macam apa ini. Marah? Kecewa? Sedih? Hampa?

Bodoh, aku sudah hidup selama sekian tahun tapi tetap saja tak mampu membedakan perasaan yang mana ini…

Empty…

No comments:

Post a Comment