It’s just like this, almost every single day of my life
recently. Aku selalu berpikir tentang banyak sekali hal yang dulu sering tak
terpikirkan olehku. Memikirkan kembali tentang kehidupanku, selama
bertahun-tahun ini. Memikirkan kembali apa saja yang telah aku jalani selama
ini.
Dan malam ini hal yang sama berulang kembali.
Aku baru saja pulang dari sebuah kencan sederhana dadakan
yang meskipun sudah ku atur beberapa waktu yang lalu namun nyatanya tidak
sesuai dengan rencana. Tapi toh kencan ini tetap berjalan dengan sendirinya.
It was fun, we laughed, we talked, we said goodbye. And
that’s it. Dan aku justru merasa hampa dengan apa yang aku lakukan ini. Aku
bertanya pada diri dan hatiku sendiri, apa ini, sedang apa aku ini?
Pertanyaan sesungguhnya ditujukan pada sang hati. Kemana
engkau mau pergi? Apa yang ingin kau lakukan? Apa yang harus aku lakukan?
Aku adalah seorang yang selalu ingin merasakan hangat hati,
tapi aku sadar aku terlalu gegabah. Aku seringkali tak sabar dengan perasaanku
dan akhirnya justru membuat macam2 rencana menjadi runyam.
Jika aku ungkapkan, ada sekelmuit rumit benang panjang yang
menjuntai dan terbelit di tengah otakku. Benang-benang ini tipis, berwarna
kusam dan basah. Mengurai satu persatu bakal melelahkan, membiarkannya tetap
rumit pun tidak memberikan manfaat untukku.
Aku adalah manusia dengan hati sebesar bola dunia yang siap
memberikan hatiku untuk sesuatu, atau lebih tepatnya seseorang yang berharga
buatku yang layak mendapatkannya.
Tapi bukankah manusia yang lain juga punya hati semacamku?
Lalu apa istimewanya aku di antara mereka yang juga menawarkan hal yang sama?
Bukankah sama saja, aku menawarkan hal yang sama, hati sebesar bahkan serumit
dan sebanyak buih di lautan pun. Apa yang membuatku spesial?
Entahlah, aku ya aku. Dengan apa adanya diriku. Dan yang aku
tahu, menemukan orang untuk berbagi hati itu tidak mudah…
Maka aku hanya mencari, jatuh, terperosok, berusaha bangkit
lalu mencari lagi…
Apa untungnya? Mengulang kejatuhan yang sama? Kembali pada
lubang yang serupa? Untuk apa?
Hanya untuk merasakan sakit hati kembali?
Adakah yang lebih berharga dan lebih berguna daripada itu?
Tentunya ada. Tapi kemudian, untuk apa hati ini? Mengapa ia
merasakan? Mengapa ia punya cinta? Mengapa ada cinta yang seperti ini? Mengapa
banyak yang menginginkan instan? Bukankah cinta instan itu juga yang nantinya
akan hilang dengan instan?
Instannya cinta itu, untuk apa?
Jika cinta datang dengan mudah, maka dengan semudah itu pula
ia pergi. Untuk apa pula cinta yang demikian? Lalu cinta yang datang dengan
perlahan, apa juga berguna? Jika hakikatnya cinta itu tidak diterima!
Orang merasakan cinta, selalu merasakan pedihnya pula. Ia
tersenyum, tapi banyak luka memenuhi rongga-rongga hatinya. Ia menangis, tapi
ia tetap bertahan dengan lukanya. Sampai akhirnya, ada yang gila, ada yang
menjual nyawanya, bahkan menjual harga dirinya untuk cinta, yang mereka katakan
akan bertahan dan berharga untuknya. Untuk apa? Untuk merasa dihargai? Untuk
menjadi dicintai dan merasa penting dengan cinta itu?
Ada pepatah mengatakan, kebahagiaan itu ada ketika seorang
merasa bahwa ia dicintai. Dengan begitu ia merasa penting, ia tahu bahwa ia
berarti bagi orang lain. Keberadaannya akan diperhitungkan dan berpengaruh
setidaknya bagi 1 orang lain di dunia.
Namun merasa penting itu bukan hanya bisa didapat dari
kepastian bahwa kita dicintai!
Lakukanlah sesuatu dengan hatimu, yang kau lakukan dengan
cinta dan kasih sayang. Maka ia akan kembali dengan kasih sayang yang tak kau
duga!
Hatiku sekarang ini, sedang mencari itu. Cinta, yang katanya
berasal dari dalam tubuhku sendiri. Cinta yang mengisi tulang rusukku.
Melengkapi kembali tubuh tak sempurnaku.
No comments:
Post a Comment