Ada temen yang bilang, praktek itu gak segampang teori. Ada nilai
rasa 'meremehkan teori' dalam kalimat ini, yang saya sangat sayangkan.
Praktek
memang tidak bisa sesempurna dan sesederhana teori. Teori cuma
menjelaskan fenomena dengan 1 cara, oleh karena itu selalu ada teori
baru untuk menjelaskan dengan lebih sempurna.
Itu pula
yang terjadi dengan teori-teori sains umum seperti gravitasi, teori
tentang atom termasuk relativitasnya Einstein. Teori-teori ini saling
menyempurnakan dan menjelaskan fenomena dengan lebih baik. Misalnya, apa
kita yakin sekarang kalau atom itu bagian terkecil suatu materi? Atau
memang benar bahwa cahaya itu bersifat gelombang sekaligus partikel?
Bagaimana kalau ada penjelasan (teori) yang lebih baik dan terbukti
benar?
Begitu pula dengan teori dalam ilmu sosial yang
menjelaskan suatu peristiwa. Bedanya, dalam ilmu sosial, si pembuat
teori ini subyek sekaligus obyek yang masuk ke dalam situasi yang ia
teliti sendiri. Si pembuat teori itu tentunya membuat teori berdasarkan
nilai, karena dia bukan seorang yang tak bermoral. Ilmu sosial bukan
ilmu sains alam yang meneliti obyek dari luarnya saja. Si empunya teori,
juga bagian dari apa yang ia teliti dan secara langsung atau tidak, ia
mempengaruhi perilaku orang lain dengan teorinya itu. Dan si pembikin
teori ini juga punya nilai-nilai yang ia anggap mendasar, yang belum
tentu disepakati orang lain. Oleh karena itu, teori dalam ilmu sosial
itu memang benar, tapi subyektivitas selalu ada.
Maka dari
itu, fenomena sosial itu jauh lebih sulit untuk dijelaskan, karena
bukan hanya teori yang dibutuhkan tapi juga siapa saja dan nilai apa
saja yang dia gunakan. Itulah gunanya ilmu, menyempurnakan apa apa yang
masih diperlukan untuk memahami fenomena. Kalau kita meremehkan teori,
bukankah itu berarti kita melemahkan ilmu itu sendiri. Padahal ilmu itu
kunci kemajuan.
*ah teori,,. banyakan cingcong
No comments:
Post a Comment