Saturday, August 29, 2015

Sang Singa dan Pemiliknya


Ada singa hati di kebun jiwaku yang merasa janggal. Singa yang mengaum minta makan, makanannya berupa kehangatan cinta. Tapi si empunya hati enggan memberinya makan, toh puasa pun tidak mengapa. Ada asupan cinta yang cukup, tidak berlebihan dari apa yang seharusnya. Dulu pernah ada asupan yang berlebih, yang membuat singaku menagih. Perut yang sudah terlanjur melebar, lalu minta dipenuhi. Karena itulah rasanya janggal, karena ada rongga yang kosong. Maka itulah si singa menggeram, karena nalurinya hanya minta makan.

Suatu kali dahulu ada yang menawarkan diri hendak memberinya makan. Diberi makan dengan besaran yang tak terkira. Aku sendiri ternganga dengan melimpahnya apa yang ia tawarkan. Ketika aku mengiyakan, sejenak semua berlangsung baik-baik saja dan singaku makan dengan lahapnya. Aku pun senang bukan main melihatnya bahagia.

Ketika perutnya penuh, ia justru malas tak bergerak. Hidupnya jadi begitu-begitu saja, tidak menarik. Aku melihatnya, bosan dan menjenuhkan. Jemu sudah makan dan makan terus, seolah tak ada yang lain bisa dilakukan. Kalau lupa sedikit diberi makan, lengah sedikit ia mengeluh. Ia jadi mudah mengeluh, dirinya jadi lemah. Ia sudah jadi begitu terbiasa dan tergantung dengan makanan melimpahnya.

Si pemberi makan tadi lalu pergi. Pamit dengan alasan, akan lebih baik bagi si singa untuk terbiasa berjuang untuk apa yang ia hendaki. Kalau begitu untuk apa ia memberi makan si singa dengan sebesar itu, bikin tergantung dan bikin menagih saja.

Begitu aku tak mampu memberi sang singa makan sebanyak yang ia mau, ia meronta-ronta minta lebih. Aku punya yang seadanya, ia mengamuk tak keruan. Meraung suaranya, aku hanya bisa miris dan iba. Tapi aku bisa apa, menuntut apa gunanya, karena ia sudah enyah siapa si pemberi makan tadi. Memohon merengek seperti apapun tak bisa.

Tapi aku si empunya, aku yang memelihara, aku yang memberinya makan, aku yang mengendalikannya. Sekarang yang aku bisa, membiarkannya berdiri dengan kekuatan sepenuhnya tanpa pikir tentang seberapa banyak asupannya. Ia jadi tampak terbiasa dengan lapar, tapi tetap tangguh berdiri di terjang deru kesulitan. Ia sudah melewati masa jatuhnya, sekarang sudah berdiri tegap lagi.

Kuatlah wahai singa. Ada angin siap menerpa, lumpur siap menghasut, dan badai di hadapan. Untuk itulah aku menolak kembali setiap tawaran pemberi makan. Pagar aku buat biar si singa aman, bukan untuk menghalangi kebaikan orang. Demi kebaikannya, demi kekuatannya. Agar si singa mengaum lebih kuat lagi.

Sunday, August 16, 2015

Nyebut!

Bokongmu leh jengkang jengking ruku, ning yo mbok nggo lungguh ning keplekan
Bathukmu leh mbok gasrukke nang njubin, ning yo njerone pikir ngalor ngidul
Drijimu leh methungul siji nyambi tahiyat, mbok nggo nylempitke cepekan
Jaremu ben lanyah urusan
Lambemu komat kamit maca fatihah, nanging metu ngomah nyebar fitnah
Lha karepmu ki piye?
Ben ngono penjalukanmu kok kakehan ra trimo
Iso ambegan wae sukur
Sujud le sujud, ora sah kakehan ribut
Ben ning nraka kowe ra katut, karo Gusti kudu manut
Uripmu ki mung nunut!



Friday, August 14, 2015

Suatu Jumat

Selasar masjid ini senyap. Ratusan lelaki sedang berdiri di sini, semuanya dalam diam. Hanya sayup-sayup suara imam yang melantunkan Al A’laa, terdengar perlahan tapi tartil. Indah, pikirku.
Lembut bayu mendayu di tengkuk, menguarkan syahdu. Dari kebun samping masjid, sepoi berdesir menadakan lagu alam. Suara riuh ranting bambu yang dibelai angin mengiringi lantunan Al Qur’an.
Aku bisa melihat dari delik mataku, barisan orang-orang yang membentuk shaf begitu apik. Shafnya tertata rapi seperti tonggak-tonggak penyangga istana yang ditata sedemikian rupa.  Semuanya tertunduk malu dihadapan-Nya, mendekapkan tangan kuat di dada masing-masing. Kami sedang mengingat-Nya, bermunajat kepada-Nya, memohon ampun dan berdoa kepada-Nya. Memohon untuk kini dan nanti.

Pada hari ini, dari tujuh yang Kau berikan untuk kami.

Thursday, August 13, 2015

Sepotong Firdaus di Gulingan


Pagi yang aku sudah nantikan akhirnya datang juga. Ini dia hari H yang aku rencanakan beberapa minggu sebelum lebaran, yang berarti lebih dari sebulan yang lalu. Bergegas keluar, hari ini langit Grobogan cerah betul. Semoga secerah ini pula pengalaman hari ini.
            Hari ini menurut rencanaku adalah hari penjelajahan kecil ke Gulingan. Gulingan adalah nama air terjun yang letaknya tak jauh dari rumah, hanya sekitar 6 kilometer. Bisa jadi karena aku enggan berangkat sendirian atau karena malu jika berkunjung tanpa teman, aku memutuskan mengundang rekanku ke air terjun yang baru beberapa waktu lalu populer itu. Aku dan seorang rekan bernama Arvian, yang sekarang ini sedang belajar Budidaya Perikanan di Undip, bersepakat meluangkan waktu kami hari ini, Sabtu 8 Agustus 2015 untuk menilik lebih dekat seperti apa tempat wisata yang sempat menjadi buah bibir beberapa waktu belakangan di dunia maya.
            Sebenarnya aku berjanji jam 06.30 berangkat dari rumahku di Grobogan ke rumah Arvian, yang sebetulnya lebih dekat dengan lokasi air terjun di Desa Sedayu, Kecamatan Grobogan. Rumah Arvian berada di Desa Menduran, Kecamatan Brati, yang lokasinya justru menempel tepat di tepi kota Purwodadi. Jarak rumah kami sekitar 6 kilometer dan karena kebetulan Arvian punya kendala terkait transportasi, jadi aku yang kali ini menjemputnya. Yah, kebiasaan jam karet memang tidak bisa sepenuhnya lepas dariku, jadi ya maklum saja, aku baru berangkat jam 07.00 WIB dan bertemu Arvian setengah jam berikutnya. Dari sinilah perjalanan kecil kami dimulai.
            Menjangkau lokasi air terjun Gulingan tidaklah sesulit yang diperkirakan, meskipun letaknya di kaki pegunungan Kendeng Utara. Dari kota Purwodadi, jaraknya sekitar 15 kilometer ke arah utara mengikuti jalur utama menuju kabupaten Pati. Jalan ini sudah dibeton rabat, meskipun beberapa titik masih dalam proses betonisasi. Jalannya pun datar sampai di kota kecamatan Grobogan, kemudian menanjak dengan beberapa kali turunan dan belokan tajam menuju kawasan pegunungan. Jika dijangkau dari arah Pati, lokasi ini tidak jauh dari desa Sumberjatipohon yang tepat berbatasan dengan kecamatan Sukolilo, kabupaten Pati. Ketika memasuki desa Sumberjatipohon, coba pelankan kendaraan dan perhatikan tanda petunjuk di sekitar atau lebih baik lagi bertanya kepada penduduk sekitar mengenai lokasi Dusun Sandi ini.
Lokasi tikungan pertigaan menuju ke Dusun Sandi, Desa Sedayu ini memang agak sulit dikenali. Tikungan ini berjarak beberapa ratus meter sebelum jalan masuk menuju Gua Lawa dan Gua Macan (dari arah Purwodadi), tempat wisata lain yang juga berada di kawasan pegunungan Kendeng Utara. Pertigaan ini ditandai dengan tugu kecil di ujung jalan, yang berada di tikungan tajam berbentuk L yang juga merupakan tanjakan. Motorku sempat kewalahan mengangkat berat kami berdua ketika mulai mendaratkan roda di jalan berbatu. Ya, jalan masuk menuju desa Sedayu ini sedikit berbatu di ujungnya dan ada pos ojek di satu sisi. Karena sempat ragu, kami pun bertanya kepada salah satu bapak ojek yang kebetulan sedang menunggu pelanggan di pos. Ramah, mereka membenarkan bahwa jalan ini memang betul menuju desa Sedayu. Kami pun melanjutkan.
            Jalan menuju lokasi pun layak dinikmati. Dari pertigaan tadi, jalan yang kami lalui sudah sepenuhnya beton rabat dengan sambungan berupa jalan bebatuan di beberapa titik. Meskipun jalanannya penuh tanjakan, turunan dan tikungan tajam, tapi pemandangan sepanjang perjalanan betul-betul mengundang decak kagum. Lebar jalan sekitar empat meter melewati pemukiman khas pedesaan kabupaten Grobogan yang masih tradisional. Rumah di kanan kiri jalan sebagian besar dibangun dari kayu dengan arsitektur lokal yang masih dijaga. Kami juga melewati ladang jagung serta kebun jati milik warga. Suasananya memang kering, tapi kami disajikan pandangan memikat di sebelah kiri, cakrawala yang membentang seolah tanpa batas. Di sebelah kanan, pegunungan karst yang menjulang tidak terlalu tinggi, tapi lebat dengan pepohonan jati.
            Ada setidaknya 2 tantangan yang harus dihadapi menuju lokasi air terjun: kendali kendaraan dan pertemuan dengan persimpangan. Turunan dan tanjakan di sepanjang jalan sangat menantang. Di beberapa tempat, motorku (yang memang sudah lapuk dan tua) harus digenjot di gigi 1 agar kuat menahan berat kami melawan curamnya jalan. Saat turunan pun tangan harus siap menggenggam rem, jadi rem kendaraan yang sehat mutlak diperlukan.
Nah, selain itu beberapa persimpangan dengan jalan yang juga sudah dibeton sempat membuat bingung. Beberapa kali kami bertanya, penduduk hanya bilang masih terus saja. Tanda menuju lokasi memang masih minim dan tidak cukup jelas, selain karena faktor kesalahan kami yang sedang asyik ngobrol sepanjang jalan. Ketika kami terus saja sampai di jalan berbatu dan terus saja sampai di tengah persawahan negeri antah berantah, mulailah kami khawatir dengan arah perjalanan. Untungnya si bapak yang sedang berkutat dengan pipa irigasi bersedia rehat sebentar menunjukkan kami “jalan yang benar.” Memang sebenarnya kami hanya perlu mengikuti jalan rabat beton yang sudah berkualitas itu.
Lokasi tempat memarkirkan kendaraan berada di belakang pemukiman warga. Areal parkir ini berada di kaki bukit tandus yang ditanami jati. Mas-mas parkir itu bilang kalau masih ada perjalanan sekitar 20 menit menuju lokasi yang kami harus tempuh dengan berjalan kaki. Kali ini musim kemarau dan sengatan matahari bisa jadi sangat panas. Baiklah, memang sudah diperkirakan sebelumnya, untuk itulah kami berangkat sepagi mungkin.
Jalan setapak menuju air terjun memanjakan kami dengan cantiknya pegunungan karst khas Grobogan. Tanah kapur ini kering dan penuh dengan bebatuan kapur/padas berwarna kuning pucat yang keras dan berbutiran besar (ilmu yang aku dapat dari kuliah mekanika tanah). Meskipun tidak cocok untuk lahan pertanian seperti tanah di pulau Jawa pada umumnya, jenis tanah ini bagus untuk beberapa jenis tanaman seperti pohon jati dan tanaman ladang seperti jagung. Dan memang awal perjalanan kami di jalan setapak ini disambut dengan kebun jati milik Perhutani Grobogan. Tipikal kebun jati yang kering ini bersebelahan dengan ladang jagung yang dibuat terasering. Uniknya, tepian masing-masing petak yang menyusun terasering terbuat dari batuan padas yang ditata sedemikian rupa sehingga membentuk petak-petak ladang berundak yang menyelimuti bukit kering. Karena keringnya, jika diperhatikan batuan padas ini tampak terbakar di bagian luar, namun tetap berwarna putih kekuningan di bagian yang tidak terpapar sinar matahari.
Semakin menanjak, atmosfer jalan setapak yang kami lalui semakin mempesona. Jalan setapak yang menuntun kami ini berdampingan dengan jurang dalam di sebelah kanan dan bukit di sebelah kirinya, serta hanya memiliki lebih kurang dan lebihnya dua meter. Panas matahari pagi segera hilang oleh hembusan angin sepoi yang benar-benar menyejukkan. Dalam diam, kami pun bisa merasakan hening suara alam. Dari jalan setapak di lereng perbukitan terjal nan kering ini, kami bisa menyapukan pandangan dengan lepas ke seluruh penjuru cakrawala yang membentang di sebelah selatan. Langit seperti menyatu dengan bumi, entah di sebelah mana. Di kaki langit, hanya ada hijau permadani hutan dan persawahan. Bernapas disini serasa menghirup angin kebebasan.
Ketika mulai berkeringat, kami tiba di bukit yang menyembunyikan lembah hijau di balik punggungnya. Lembah ini tampak seperti anomali di tengah gersangnya lahan pertanian di sekitarnya. Di satu tebing yang berada di ujung lembah inilah bersarang 3 air terjun yang oleh warga disebut dengan nama Gulingan. Menuruni bukit, rupanya jalan setapak sempit ini berujung pada gerbang kecil yang terbuat dari kayu, dan terkunci. Kami tadinya bingung karena gembok gerbang ini masih terpasang dan tentunya kami masih punya etika sopan santun. Tapi toh kami cari tak ada satu pun penjaga yang menampakkan batang hidungnya, kami pun sudah sampai di lokasi ini dengan jerih payah, maka kami putuskan untuk menerobos sela kecil di samping kiri gerbang yang menggantung tepat di atas jurang. Et voi la, kami masuk di area wisata.
Aku menyebutnya firdaus hehijauan yang tersembunyi di tengah gersangnya bukit kapur. Sampai di lokasi, kami duduk di dipan bambu sederhana memandangi hamparan hijau di hadapan kami sembari mengambil napas dan meneguk barang segelas. Tempat ini jelas sudah ditata meskipun sederhana, ada gubuk kecil dari anyaman bambu di samping dipan tempat kami duduk. Benar saja, selang beberapa menit kami tiba, kami disambut si bapak yang kemudian membuka gembok gerbang yang tadi kami terobos. Duduk di samping kami, bapak ini kemudian meminta maaf karena terlambat datang dan didahului pengunjung (yaitu kami berdua).
Aku mulai berbincang dengan bapak penjaga ini ketika Arvian berjalan turun menelusuri air terjun. Bapak inilah yang menjaga sekaligus merawat lokasi wisata. Tak mahal, hanya perlu membayar Rp 2.000,00 untuk kami berdua, yang artinya justru lebih murah dari biaya parkir kendaraan kami tadi. “Untuk biaya perawatan, hanya sekadarnya” ujar si Bapak menjelaskan. Rupanya kami datang di saat air memang sedang surut pada musim kemarau bulan Agustus seperti ini. Bapak penjaga pun membenarkan, mengingat sebagian air yang mengalir dari atas pun harus dialihkan untuk mengairi ladang jagung milik beberapa warga. Sempat kecewa, namun kami belum menyerah untuk menikmati si eksotik Gulingan ini.
 Benar saja, atmosfer alam Gulingan yang tenang memang benar memanjakan. Kami dihadapkan pada gagahnya 3 air terjun yang mengalir menuju kolam di hadapan kami. Yang pertama dapat dilihat dari kejauhan karena memang paling besar dan tidak tertutup pepohonan. Berlatar belakang endapan kapur mengeras yang dibawa aliran air dari tanah karst, di depan air terjun pertama terdapat sebuah jembatan kayu yang menghubungkan dua batu yang dibelah aliran air membentuk air terjun kecil lain di bawahnya. Mendekati air terjun kedua, rindang semakin terasa. Berhadapan dengan sebongkah batu besar serta taman kecil tepat di depannya, airnya jatuh ke dalam sebuah kolam yang dialiri sungai kecil dari air terjun pertama dan terhubung dengan kolam air terjun di sebelahnya. Kami berlindung di bawah rindang pepohonan, disinari matahari yang mengintip dari balik dedaunan.
Hening, ketika kami menghayati ketenangan di Gulingan. Gemercik air menadakan lagu alam, musik yang melantun merilekskan otak dari penat. Titik-titik air menyejukkan, dihembus angin yang membelai lembut. Suara dedaunan yang bergesekan dan sayup-sayup mentari yang malu menyapa. Pandangan kami pun lepas jauh ke ujung pemandangan, menegaskan kebebasan. Ketika aku bersandar di bangku kayu, aku mulai terantuk pelan, terhanyut sunyi dan damai. Tenang, ujar Arvian, yang memang aku akui benar adanya.
Sejenak kami menikmati sekadar duduk-duduk di taman buatan tangan pak penjaga ini. Tempat duduk yang terbuat dari bambu, dahan salak dan papan kayu dibuat di sana sini menghadap air terjun. Rasanya seperti sedang berada di dalam adegan film Tarzan di tengah rimba belantara yang segala sesuatunya terbuat dari bahan alam. Semua perlengkapan di sini terbuat dari kayu. Kami berbincang tentang absennya perhatian pemerintah terhadap obyek wisata yang satu ini. Bukankah itu lebih baik, setidaknya rasa tradisional dan tanpa sentuhan artifisial justru menjaga syahdu bertahan di tempat ini. Tidak ada semen atau bata yang menutup tanah, tidak ada perabotan plastik atau PVC, segala sesuatu yang sintetis. Semuanya dibuat dari bahan alam yang bisa lapuk, highly biodegradable, menurut istilah pengelolaan lingkungan. Justru kealamian berbaur tradisional yang tanpa sentuhan artifisial inilah yang menjadi daya tarik Gulingan yang tiada duanya.
Fasilitas di sini pun lengkap dan dibuat hanya dengan bahan alam. Di balik pepohonan salak, ada satu gazebo yang menggantung di puncak tebing dengan pemandangan menakjubkan. Tempat ini terbuat dari anyaman bambu dan dinaungi dedaunan ini rupanya tempat sholat bagi yang hendak menjalankan ibadah di lokasi. Di sudut yang agak gelap terdapat sebuah bilik sederhana yang terlindung cukup rapat tempat pengunjung mengganti pakaian. Bahkan di kedai yang tadi masih tutup, ada beberapa kaos cinderamata yang bergambar air terjun gulingan.
Karena pengunjung lain mulai berdatangan dan suasana tidak lagi khidmat, kami naik lagi dan berbincang dengan pak penjaga. Mengenai mengemukanya obyek wisata ini, ia menjelaskan kalau baru satu tahun ini saja Gulingan mulai dikunjungi wisatawan. Opini kami, tak lain dan tak bukan penyebabnya adalah media sosial seperti instagram, facebook dan twitter yang memegang kunci merangkaknya popularitas Gulingan di khalayak. Dan baru-baru ini pula pihaknya bersama dengan kelompok sadar wisata dusun setempat mulai mengelola dan merawat Gulingan menjadi seperti sekarang ini. Kabarnya ada juga sebuah batu terowongan tidak jauh dari lokasi ini, dan gua Lawa serta gua Macan seperti yang tadi disebutkan di awal tulisan ini. Karena tertarik, kami pun bergegas menuju lokasi kedua.


Sebenarnya Gulingan tidak banyak berbeda dengan air terjun lainnya. Air yang jatuh dari ketinggian sekian, ditemani kabut embun dan gemercik air serta hijau tumbuhan di sekitarnya. Tapi tempat ini dengan telaten dijaga agar selaras dengan alam. Pembangunannya memperhatikan aspek keberlanjutan, entah dengan kesadaran para pengelolanya atau tidak. Kesan yang muncul justru kekuatan alam yang sangat kental, tanpa ada intervensi artifisial. Aku tidak berharap Gulingan dibangun dengan dilengkapi tangga semen dan pegangan dari besi. Tidak juga meratakan jalan tanah serta parkiran dengan paving blok. Aku berharap Gulingan masih seperti itu, yang berbatu, berpegangan kayu dan beratapkan kanopi pohon. Harmoni pembangunan yang bisa berjalan beriringan dengan alam inilah yang justru membuat Gulingan semakin memikat. Semoga demikian seterusnya. 

Tuesday, August 4, 2015

Kesah Pak Sampah

Kulitku dengan riang menyapa kembali hangat matahari Semarang siang ini. Senyum mentari begitu terang ketika aku menjelajahi tepi jalanan kota Lumpia ini. Bersamanya aku bergirang mengabdi pada alam, yang oleh kalian menjadi semakin runyam.

Aku yang hari ini masih sama dengan yang lalu dan yang dulu, yang menyusuri jalan dengan gerobak bauku. Kental lindi mengalir dari lubang kecil di sudut gerobak, menebarkan wewangian yang segera membikin mulas. Riuh kendaraan dan pandangan kosong menyesaki kota, melewatkan aku dan istri yang kugandeng mesra lewat gerobak di belakangku dari sibuk dan pentingnya mereka. Seperti hampanya udara, aku dilewati seperti tidak pernah terlihat. Hanya yang benar-benar bermata yang mampu mengindra bahwa aku ada. Aku penting dengan caraku sendiri, yang tidak kalian semua pahami.

Aku sudah abai dengan pandangan jijik, toh aku pula yang merawat apa yang dibuang. Jika bukan aku, siapa yang mau berkecimpung dengan sumpal hidung terhebat di muka bumi macam ini. Kemeja kumal ini seperti mengusik pandangmu, tapi apa daya hidupku berkutat dengan yang kotor? Hanya topi kusam ini pula yang menaungiku, menahanku dari pingsan dadakan karena sengatan siang.  Bacin popok anak-anak, minuman basi yang sudah entah berapa hari, nasi entah berapa kilo yang diluruhkan begitu saja tanpa teringat raut lapar si peminta kecil yang mengais di balik tembok istanamu.

Hanya, pernahkah terbersit sejenak berpikir apa yang kau buang? Bagaimana sampah seruah bisa berarti hidup sehari lagi bagi sanak sedarahmu? Sejenak, jadilah bijak. Bumi sudah makin runyam kau buat gegara sampah.


Menikmati Baladamu


Halaman yang sama, dengan tampilan yang sama persis seperti yang waktu itu pertama kali aku telusuri ketika ia menunjukkan sebuah akun media sosial yang menuntunku menuju laman daring yang satu ini. Warna latarnya merah muda menyala dengan semburat jingga dan kuning, menyiratkan coretan yang hendak ia torehkan di sebuah lembaran kehidupan yang sedang ia warnai. Membawaku pada ingatan yang sama dua bulan lalu, pada saat aku baru saja mengenalnya.

Di halaman yang sama pula, terkagum benar aku akan kata demi kata yang tertuang dari pikirannya. Sajak yang bertemu lagi dengan sajak, memerintah tak sadar jariku untuk terus menekan tombol ke bawah di papan ketik komputerku, meneruskan petualangan sastra dalam buai kata-katanya. Di bagian halaman dan atmosfer ini pula aku jatuh cinta pada indah kata sekaligus si otak penuh kharisma yang menelurkan lantunan balada warna dunia.

Ia yang masih muda mengajariku mengenai menjadi dewasa. Bertanggung jawab kembali pada ambisi dan kehidupanku yang sudah beberapa waktu bergelantungan di atap pengabaian, karena si empunya sibuk berkutat dengan kekonyolan semata. Menengok kembali cinta-cinta sejati yang sudah lama kupandang usang karena tidak mampu berwujud nyata di hadapan mata, tapi teraih jauh di ufuk sana. Membuka kembali mataku pada serakan mimpi yang tercecer, untuk kembali mengangkat dan menyatukannya lebih erat.

Ia yang datang ketika lemah jiwaku merundungku pada nafsu fana. Ia yang kalbunya mewarnai kanvas cinta, dan menghitamkannya dengan luka. Hanya aku saja yang dengan otak sependek galah, berkernyit kesal karena sedikit perih. Dan ketika aku memundurkan langkah, melebarkan cakrawala, aku melihat kanvas yang lebih indah dari yang pernah aku kuaskan. Aku yang lebih dewasa, aku yang membuka mata, aku yang kembali bergerak.

Terima kasih, balada warna dunia.

Saturday, August 1, 2015

Prosesi Rindu


 Aku percaya satu hal: ketika kita merindukan seseorang, entah bagaimana caranya, rindu itu akan tersampaikan.

Perkara rindu itu akan dikirim kembali atau tidak, kita akan tahu kemudian.

Karena seperti halnya makanan, tak semua mudah dicerna.

Ada yang segera, ada yang perlu waktu. Ada yang perlu waktu sebentar untuk mengendap, ada yang langsung mengalir.

Terima kasih.
Sepertinya kau mengerti...


Mbaleni Geni

Geni ne ki wis arep mati,
 wes arep ditinggal le ngebong, 
ngapa mbok gebyur lenga meneh? 

Yen genine mbulat, 
apa ya kowe iso ngatasi dewean? 
Rak ya ora to? 

Regetan e pancen durung entek, 
ning yen omahe kobong apa kowe ra nangis kapiran? 
Mikir.