Thursday, August 13, 2015

Sepotong Firdaus di Gulingan


Pagi yang aku sudah nantikan akhirnya datang juga. Ini dia hari H yang aku rencanakan beberapa minggu sebelum lebaran, yang berarti lebih dari sebulan yang lalu. Bergegas keluar, hari ini langit Grobogan cerah betul. Semoga secerah ini pula pengalaman hari ini.
            Hari ini menurut rencanaku adalah hari penjelajahan kecil ke Gulingan. Gulingan adalah nama air terjun yang letaknya tak jauh dari rumah, hanya sekitar 6 kilometer. Bisa jadi karena aku enggan berangkat sendirian atau karena malu jika berkunjung tanpa teman, aku memutuskan mengundang rekanku ke air terjun yang baru beberapa waktu lalu populer itu. Aku dan seorang rekan bernama Arvian, yang sekarang ini sedang belajar Budidaya Perikanan di Undip, bersepakat meluangkan waktu kami hari ini, Sabtu 8 Agustus 2015 untuk menilik lebih dekat seperti apa tempat wisata yang sempat menjadi buah bibir beberapa waktu belakangan di dunia maya.
            Sebenarnya aku berjanji jam 06.30 berangkat dari rumahku di Grobogan ke rumah Arvian, yang sebetulnya lebih dekat dengan lokasi air terjun di Desa Sedayu, Kecamatan Grobogan. Rumah Arvian berada di Desa Menduran, Kecamatan Brati, yang lokasinya justru menempel tepat di tepi kota Purwodadi. Jarak rumah kami sekitar 6 kilometer dan karena kebetulan Arvian punya kendala terkait transportasi, jadi aku yang kali ini menjemputnya. Yah, kebiasaan jam karet memang tidak bisa sepenuhnya lepas dariku, jadi ya maklum saja, aku baru berangkat jam 07.00 WIB dan bertemu Arvian setengah jam berikutnya. Dari sinilah perjalanan kecil kami dimulai.
            Menjangkau lokasi air terjun Gulingan tidaklah sesulit yang diperkirakan, meskipun letaknya di kaki pegunungan Kendeng Utara. Dari kota Purwodadi, jaraknya sekitar 15 kilometer ke arah utara mengikuti jalur utama menuju kabupaten Pati. Jalan ini sudah dibeton rabat, meskipun beberapa titik masih dalam proses betonisasi. Jalannya pun datar sampai di kota kecamatan Grobogan, kemudian menanjak dengan beberapa kali turunan dan belokan tajam menuju kawasan pegunungan. Jika dijangkau dari arah Pati, lokasi ini tidak jauh dari desa Sumberjatipohon yang tepat berbatasan dengan kecamatan Sukolilo, kabupaten Pati. Ketika memasuki desa Sumberjatipohon, coba pelankan kendaraan dan perhatikan tanda petunjuk di sekitar atau lebih baik lagi bertanya kepada penduduk sekitar mengenai lokasi Dusun Sandi ini.
Lokasi tikungan pertigaan menuju ke Dusun Sandi, Desa Sedayu ini memang agak sulit dikenali. Tikungan ini berjarak beberapa ratus meter sebelum jalan masuk menuju Gua Lawa dan Gua Macan (dari arah Purwodadi), tempat wisata lain yang juga berada di kawasan pegunungan Kendeng Utara. Pertigaan ini ditandai dengan tugu kecil di ujung jalan, yang berada di tikungan tajam berbentuk L yang juga merupakan tanjakan. Motorku sempat kewalahan mengangkat berat kami berdua ketika mulai mendaratkan roda di jalan berbatu. Ya, jalan masuk menuju desa Sedayu ini sedikit berbatu di ujungnya dan ada pos ojek di satu sisi. Karena sempat ragu, kami pun bertanya kepada salah satu bapak ojek yang kebetulan sedang menunggu pelanggan di pos. Ramah, mereka membenarkan bahwa jalan ini memang betul menuju desa Sedayu. Kami pun melanjutkan.
            Jalan menuju lokasi pun layak dinikmati. Dari pertigaan tadi, jalan yang kami lalui sudah sepenuhnya beton rabat dengan sambungan berupa jalan bebatuan di beberapa titik. Meskipun jalanannya penuh tanjakan, turunan dan tikungan tajam, tapi pemandangan sepanjang perjalanan betul-betul mengundang decak kagum. Lebar jalan sekitar empat meter melewati pemukiman khas pedesaan kabupaten Grobogan yang masih tradisional. Rumah di kanan kiri jalan sebagian besar dibangun dari kayu dengan arsitektur lokal yang masih dijaga. Kami juga melewati ladang jagung serta kebun jati milik warga. Suasananya memang kering, tapi kami disajikan pandangan memikat di sebelah kiri, cakrawala yang membentang seolah tanpa batas. Di sebelah kanan, pegunungan karst yang menjulang tidak terlalu tinggi, tapi lebat dengan pepohonan jati.
            Ada setidaknya 2 tantangan yang harus dihadapi menuju lokasi air terjun: kendali kendaraan dan pertemuan dengan persimpangan. Turunan dan tanjakan di sepanjang jalan sangat menantang. Di beberapa tempat, motorku (yang memang sudah lapuk dan tua) harus digenjot di gigi 1 agar kuat menahan berat kami melawan curamnya jalan. Saat turunan pun tangan harus siap menggenggam rem, jadi rem kendaraan yang sehat mutlak diperlukan.
Nah, selain itu beberapa persimpangan dengan jalan yang juga sudah dibeton sempat membuat bingung. Beberapa kali kami bertanya, penduduk hanya bilang masih terus saja. Tanda menuju lokasi memang masih minim dan tidak cukup jelas, selain karena faktor kesalahan kami yang sedang asyik ngobrol sepanjang jalan. Ketika kami terus saja sampai di jalan berbatu dan terus saja sampai di tengah persawahan negeri antah berantah, mulailah kami khawatir dengan arah perjalanan. Untungnya si bapak yang sedang berkutat dengan pipa irigasi bersedia rehat sebentar menunjukkan kami “jalan yang benar.” Memang sebenarnya kami hanya perlu mengikuti jalan rabat beton yang sudah berkualitas itu.
Lokasi tempat memarkirkan kendaraan berada di belakang pemukiman warga. Areal parkir ini berada di kaki bukit tandus yang ditanami jati. Mas-mas parkir itu bilang kalau masih ada perjalanan sekitar 20 menit menuju lokasi yang kami harus tempuh dengan berjalan kaki. Kali ini musim kemarau dan sengatan matahari bisa jadi sangat panas. Baiklah, memang sudah diperkirakan sebelumnya, untuk itulah kami berangkat sepagi mungkin.
Jalan setapak menuju air terjun memanjakan kami dengan cantiknya pegunungan karst khas Grobogan. Tanah kapur ini kering dan penuh dengan bebatuan kapur/padas berwarna kuning pucat yang keras dan berbutiran besar (ilmu yang aku dapat dari kuliah mekanika tanah). Meskipun tidak cocok untuk lahan pertanian seperti tanah di pulau Jawa pada umumnya, jenis tanah ini bagus untuk beberapa jenis tanaman seperti pohon jati dan tanaman ladang seperti jagung. Dan memang awal perjalanan kami di jalan setapak ini disambut dengan kebun jati milik Perhutani Grobogan. Tipikal kebun jati yang kering ini bersebelahan dengan ladang jagung yang dibuat terasering. Uniknya, tepian masing-masing petak yang menyusun terasering terbuat dari batuan padas yang ditata sedemikian rupa sehingga membentuk petak-petak ladang berundak yang menyelimuti bukit kering. Karena keringnya, jika diperhatikan batuan padas ini tampak terbakar di bagian luar, namun tetap berwarna putih kekuningan di bagian yang tidak terpapar sinar matahari.
Semakin menanjak, atmosfer jalan setapak yang kami lalui semakin mempesona. Jalan setapak yang menuntun kami ini berdampingan dengan jurang dalam di sebelah kanan dan bukit di sebelah kirinya, serta hanya memiliki lebih kurang dan lebihnya dua meter. Panas matahari pagi segera hilang oleh hembusan angin sepoi yang benar-benar menyejukkan. Dalam diam, kami pun bisa merasakan hening suara alam. Dari jalan setapak di lereng perbukitan terjal nan kering ini, kami bisa menyapukan pandangan dengan lepas ke seluruh penjuru cakrawala yang membentang di sebelah selatan. Langit seperti menyatu dengan bumi, entah di sebelah mana. Di kaki langit, hanya ada hijau permadani hutan dan persawahan. Bernapas disini serasa menghirup angin kebebasan.
Ketika mulai berkeringat, kami tiba di bukit yang menyembunyikan lembah hijau di balik punggungnya. Lembah ini tampak seperti anomali di tengah gersangnya lahan pertanian di sekitarnya. Di satu tebing yang berada di ujung lembah inilah bersarang 3 air terjun yang oleh warga disebut dengan nama Gulingan. Menuruni bukit, rupanya jalan setapak sempit ini berujung pada gerbang kecil yang terbuat dari kayu, dan terkunci. Kami tadinya bingung karena gembok gerbang ini masih terpasang dan tentunya kami masih punya etika sopan santun. Tapi toh kami cari tak ada satu pun penjaga yang menampakkan batang hidungnya, kami pun sudah sampai di lokasi ini dengan jerih payah, maka kami putuskan untuk menerobos sela kecil di samping kiri gerbang yang menggantung tepat di atas jurang. Et voi la, kami masuk di area wisata.
Aku menyebutnya firdaus hehijauan yang tersembunyi di tengah gersangnya bukit kapur. Sampai di lokasi, kami duduk di dipan bambu sederhana memandangi hamparan hijau di hadapan kami sembari mengambil napas dan meneguk barang segelas. Tempat ini jelas sudah ditata meskipun sederhana, ada gubuk kecil dari anyaman bambu di samping dipan tempat kami duduk. Benar saja, selang beberapa menit kami tiba, kami disambut si bapak yang kemudian membuka gembok gerbang yang tadi kami terobos. Duduk di samping kami, bapak ini kemudian meminta maaf karena terlambat datang dan didahului pengunjung (yaitu kami berdua).
Aku mulai berbincang dengan bapak penjaga ini ketika Arvian berjalan turun menelusuri air terjun. Bapak inilah yang menjaga sekaligus merawat lokasi wisata. Tak mahal, hanya perlu membayar Rp 2.000,00 untuk kami berdua, yang artinya justru lebih murah dari biaya parkir kendaraan kami tadi. “Untuk biaya perawatan, hanya sekadarnya” ujar si Bapak menjelaskan. Rupanya kami datang di saat air memang sedang surut pada musim kemarau bulan Agustus seperti ini. Bapak penjaga pun membenarkan, mengingat sebagian air yang mengalir dari atas pun harus dialihkan untuk mengairi ladang jagung milik beberapa warga. Sempat kecewa, namun kami belum menyerah untuk menikmati si eksotik Gulingan ini.
 Benar saja, atmosfer alam Gulingan yang tenang memang benar memanjakan. Kami dihadapkan pada gagahnya 3 air terjun yang mengalir menuju kolam di hadapan kami. Yang pertama dapat dilihat dari kejauhan karena memang paling besar dan tidak tertutup pepohonan. Berlatar belakang endapan kapur mengeras yang dibawa aliran air dari tanah karst, di depan air terjun pertama terdapat sebuah jembatan kayu yang menghubungkan dua batu yang dibelah aliran air membentuk air terjun kecil lain di bawahnya. Mendekati air terjun kedua, rindang semakin terasa. Berhadapan dengan sebongkah batu besar serta taman kecil tepat di depannya, airnya jatuh ke dalam sebuah kolam yang dialiri sungai kecil dari air terjun pertama dan terhubung dengan kolam air terjun di sebelahnya. Kami berlindung di bawah rindang pepohonan, disinari matahari yang mengintip dari balik dedaunan.
Hening, ketika kami menghayati ketenangan di Gulingan. Gemercik air menadakan lagu alam, musik yang melantun merilekskan otak dari penat. Titik-titik air menyejukkan, dihembus angin yang membelai lembut. Suara dedaunan yang bergesekan dan sayup-sayup mentari yang malu menyapa. Pandangan kami pun lepas jauh ke ujung pemandangan, menegaskan kebebasan. Ketika aku bersandar di bangku kayu, aku mulai terantuk pelan, terhanyut sunyi dan damai. Tenang, ujar Arvian, yang memang aku akui benar adanya.
Sejenak kami menikmati sekadar duduk-duduk di taman buatan tangan pak penjaga ini. Tempat duduk yang terbuat dari bambu, dahan salak dan papan kayu dibuat di sana sini menghadap air terjun. Rasanya seperti sedang berada di dalam adegan film Tarzan di tengah rimba belantara yang segala sesuatunya terbuat dari bahan alam. Semua perlengkapan di sini terbuat dari kayu. Kami berbincang tentang absennya perhatian pemerintah terhadap obyek wisata yang satu ini. Bukankah itu lebih baik, setidaknya rasa tradisional dan tanpa sentuhan artifisial justru menjaga syahdu bertahan di tempat ini. Tidak ada semen atau bata yang menutup tanah, tidak ada perabotan plastik atau PVC, segala sesuatu yang sintetis. Semuanya dibuat dari bahan alam yang bisa lapuk, highly biodegradable, menurut istilah pengelolaan lingkungan. Justru kealamian berbaur tradisional yang tanpa sentuhan artifisial inilah yang menjadi daya tarik Gulingan yang tiada duanya.
Fasilitas di sini pun lengkap dan dibuat hanya dengan bahan alam. Di balik pepohonan salak, ada satu gazebo yang menggantung di puncak tebing dengan pemandangan menakjubkan. Tempat ini terbuat dari anyaman bambu dan dinaungi dedaunan ini rupanya tempat sholat bagi yang hendak menjalankan ibadah di lokasi. Di sudut yang agak gelap terdapat sebuah bilik sederhana yang terlindung cukup rapat tempat pengunjung mengganti pakaian. Bahkan di kedai yang tadi masih tutup, ada beberapa kaos cinderamata yang bergambar air terjun gulingan.
Karena pengunjung lain mulai berdatangan dan suasana tidak lagi khidmat, kami naik lagi dan berbincang dengan pak penjaga. Mengenai mengemukanya obyek wisata ini, ia menjelaskan kalau baru satu tahun ini saja Gulingan mulai dikunjungi wisatawan. Opini kami, tak lain dan tak bukan penyebabnya adalah media sosial seperti instagram, facebook dan twitter yang memegang kunci merangkaknya popularitas Gulingan di khalayak. Dan baru-baru ini pula pihaknya bersama dengan kelompok sadar wisata dusun setempat mulai mengelola dan merawat Gulingan menjadi seperti sekarang ini. Kabarnya ada juga sebuah batu terowongan tidak jauh dari lokasi ini, dan gua Lawa serta gua Macan seperti yang tadi disebutkan di awal tulisan ini. Karena tertarik, kami pun bergegas menuju lokasi kedua.


Sebenarnya Gulingan tidak banyak berbeda dengan air terjun lainnya. Air yang jatuh dari ketinggian sekian, ditemani kabut embun dan gemercik air serta hijau tumbuhan di sekitarnya. Tapi tempat ini dengan telaten dijaga agar selaras dengan alam. Pembangunannya memperhatikan aspek keberlanjutan, entah dengan kesadaran para pengelolanya atau tidak. Kesan yang muncul justru kekuatan alam yang sangat kental, tanpa ada intervensi artifisial. Aku tidak berharap Gulingan dibangun dengan dilengkapi tangga semen dan pegangan dari besi. Tidak juga meratakan jalan tanah serta parkiran dengan paving blok. Aku berharap Gulingan masih seperti itu, yang berbatu, berpegangan kayu dan beratapkan kanopi pohon. Harmoni pembangunan yang bisa berjalan beriringan dengan alam inilah yang justru membuat Gulingan semakin memikat. Semoga demikian seterusnya. 

No comments:

Post a Comment