Saturday, August 29, 2015

Sang Singa dan Pemiliknya


Ada singa hati di kebun jiwaku yang merasa janggal. Singa yang mengaum minta makan, makanannya berupa kehangatan cinta. Tapi si empunya hati enggan memberinya makan, toh puasa pun tidak mengapa. Ada asupan cinta yang cukup, tidak berlebihan dari apa yang seharusnya. Dulu pernah ada asupan yang berlebih, yang membuat singaku menagih. Perut yang sudah terlanjur melebar, lalu minta dipenuhi. Karena itulah rasanya janggal, karena ada rongga yang kosong. Maka itulah si singa menggeram, karena nalurinya hanya minta makan.

Suatu kali dahulu ada yang menawarkan diri hendak memberinya makan. Diberi makan dengan besaran yang tak terkira. Aku sendiri ternganga dengan melimpahnya apa yang ia tawarkan. Ketika aku mengiyakan, sejenak semua berlangsung baik-baik saja dan singaku makan dengan lahapnya. Aku pun senang bukan main melihatnya bahagia.

Ketika perutnya penuh, ia justru malas tak bergerak. Hidupnya jadi begitu-begitu saja, tidak menarik. Aku melihatnya, bosan dan menjenuhkan. Jemu sudah makan dan makan terus, seolah tak ada yang lain bisa dilakukan. Kalau lupa sedikit diberi makan, lengah sedikit ia mengeluh. Ia jadi mudah mengeluh, dirinya jadi lemah. Ia sudah jadi begitu terbiasa dan tergantung dengan makanan melimpahnya.

Si pemberi makan tadi lalu pergi. Pamit dengan alasan, akan lebih baik bagi si singa untuk terbiasa berjuang untuk apa yang ia hendaki. Kalau begitu untuk apa ia memberi makan si singa dengan sebesar itu, bikin tergantung dan bikin menagih saja.

Begitu aku tak mampu memberi sang singa makan sebanyak yang ia mau, ia meronta-ronta minta lebih. Aku punya yang seadanya, ia mengamuk tak keruan. Meraung suaranya, aku hanya bisa miris dan iba. Tapi aku bisa apa, menuntut apa gunanya, karena ia sudah enyah siapa si pemberi makan tadi. Memohon merengek seperti apapun tak bisa.

Tapi aku si empunya, aku yang memelihara, aku yang memberinya makan, aku yang mengendalikannya. Sekarang yang aku bisa, membiarkannya berdiri dengan kekuatan sepenuhnya tanpa pikir tentang seberapa banyak asupannya. Ia jadi tampak terbiasa dengan lapar, tapi tetap tangguh berdiri di terjang deru kesulitan. Ia sudah melewati masa jatuhnya, sekarang sudah berdiri tegap lagi.

Kuatlah wahai singa. Ada angin siap menerpa, lumpur siap menghasut, dan badai di hadapan. Untuk itulah aku menolak kembali setiap tawaran pemberi makan. Pagar aku buat biar si singa aman, bukan untuk menghalangi kebaikan orang. Demi kebaikannya, demi kekuatannya. Agar si singa mengaum lebih kuat lagi.

No comments:

Post a Comment