Ada singa hati di kebun jiwaku yang merasa janggal. Singa yang mengaum minta makan, makanannya berupa kehangatan cinta. Tapi si empunya hati enggan memberinya makan, toh puasa pun tidak mengapa. Ada asupan cinta yang cukup, tidak berlebihan dari apa yang seharusnya. Dulu pernah ada asupan yang berlebih, yang membuat singaku menagih. Perut yang sudah terlanjur melebar, lalu minta dipenuhi. Karena itulah rasanya janggal, karena ada rongga yang kosong. Maka itulah si singa menggeram, karena nalurinya hanya minta makan.
Suatu kali dahulu ada yang menawarkan diri hendak memberinya
makan. Diberi makan dengan besaran yang tak terkira. Aku sendiri ternganga
dengan melimpahnya apa yang ia tawarkan. Ketika aku mengiyakan, sejenak semua
berlangsung baik-baik saja dan singaku makan dengan lahapnya. Aku pun senang
bukan main melihatnya bahagia.
Ketika perutnya penuh, ia justru malas tak bergerak.
Hidupnya jadi begitu-begitu saja, tidak menarik. Aku melihatnya, bosan dan
menjenuhkan. Jemu sudah makan dan makan terus, seolah tak ada yang lain bisa
dilakukan. Kalau lupa sedikit diberi makan, lengah sedikit ia mengeluh. Ia jadi
mudah mengeluh, dirinya jadi lemah. Ia sudah jadi begitu terbiasa dan
tergantung dengan makanan melimpahnya.
Si pemberi makan tadi lalu pergi. Pamit dengan alasan, akan
lebih baik bagi si singa untuk terbiasa berjuang untuk apa yang ia hendaki. Kalau
begitu untuk apa ia memberi makan si singa dengan sebesar itu, bikin tergantung
dan bikin menagih saja.
Begitu aku tak mampu memberi sang singa makan sebanyak yang
ia mau, ia meronta-ronta minta lebih. Aku punya yang seadanya, ia mengamuk tak
keruan. Meraung suaranya, aku hanya bisa miris dan iba. Tapi aku bisa apa,
menuntut apa gunanya, karena ia sudah enyah siapa si pemberi makan tadi.
Memohon merengek seperti apapun tak bisa.
Tapi aku si empunya, aku yang memelihara, aku yang
memberinya makan, aku yang mengendalikannya. Sekarang yang aku bisa,
membiarkannya berdiri dengan kekuatan sepenuhnya tanpa pikir tentang seberapa
banyak asupannya. Ia jadi tampak terbiasa dengan lapar, tapi tetap tangguh
berdiri di terjang deru kesulitan. Ia sudah melewati masa jatuhnya, sekarang
sudah berdiri tegap lagi.
Kuatlah wahai singa. Ada angin siap menerpa, lumpur siap
menghasut, dan badai di hadapan. Untuk itulah aku menolak kembali setiap
tawaran pemberi makan. Pagar aku buat biar si singa aman, bukan untuk
menghalangi kebaikan orang. Demi kebaikannya, demi kekuatannya. Agar si singa
mengaum lebih kuat lagi.

No comments:
Post a Comment