Tuesday, August 4, 2015

Kesah Pak Sampah

Kulitku dengan riang menyapa kembali hangat matahari Semarang siang ini. Senyum mentari begitu terang ketika aku menjelajahi tepi jalanan kota Lumpia ini. Bersamanya aku bergirang mengabdi pada alam, yang oleh kalian menjadi semakin runyam.

Aku yang hari ini masih sama dengan yang lalu dan yang dulu, yang menyusuri jalan dengan gerobak bauku. Kental lindi mengalir dari lubang kecil di sudut gerobak, menebarkan wewangian yang segera membikin mulas. Riuh kendaraan dan pandangan kosong menyesaki kota, melewatkan aku dan istri yang kugandeng mesra lewat gerobak di belakangku dari sibuk dan pentingnya mereka. Seperti hampanya udara, aku dilewati seperti tidak pernah terlihat. Hanya yang benar-benar bermata yang mampu mengindra bahwa aku ada. Aku penting dengan caraku sendiri, yang tidak kalian semua pahami.

Aku sudah abai dengan pandangan jijik, toh aku pula yang merawat apa yang dibuang. Jika bukan aku, siapa yang mau berkecimpung dengan sumpal hidung terhebat di muka bumi macam ini. Kemeja kumal ini seperti mengusik pandangmu, tapi apa daya hidupku berkutat dengan yang kotor? Hanya topi kusam ini pula yang menaungiku, menahanku dari pingsan dadakan karena sengatan siang.  Bacin popok anak-anak, minuman basi yang sudah entah berapa hari, nasi entah berapa kilo yang diluruhkan begitu saja tanpa teringat raut lapar si peminta kecil yang mengais di balik tembok istanamu.

Hanya, pernahkah terbersit sejenak berpikir apa yang kau buang? Bagaimana sampah seruah bisa berarti hidup sehari lagi bagi sanak sedarahmu? Sejenak, jadilah bijak. Bumi sudah makin runyam kau buat gegara sampah.


No comments:

Post a Comment