Monday, September 26, 2016

Newly Arrived, Sydney #latepost

Sydney morning, 07.56 AEST


It’s freezing down here in Campsie, a neighborhood I knew earlier when I was still in Indonesia. A friend wrap his body tight in sarong, trying to get rid of cold breezes away. The family (the one their house I took over) are talking outside, straighten things up coz they’re about to leave tonight. Yes, tonight I’d be left out with a flatmate living in a small unit in a 3-storeys building in a neighborhood about 20 km away from downtown Sydney. It looks warm as the sun shines so bright, but it doesn’t stop the wind from whirling, spreading the love of their coldness into every corner of Sydney.

I got here yesterday morning. But my plane got stuck at the prone waiting to park. We (me and all the other passangers) were trapped in the plane on the runway, waiting to finally be able to get down to the airport. I stared out the window, looking afar to the silhouette of buildings, Sydney Tower, the downtown Sydney. Mesmerized, that eventually I drop myself into a situation I’ve always wanted to experience. A new place, new experience, a dynamic of life. I feel… hypnotized by the amazing places God has created. A foreign country.

I got out of the plane then took care of everything, when things started to impress me. Immigration, baggage claim, new phone number and data package, travel card, and done. Everything’s new for me. It’s the first time that I experience so many people from many different cultures worldwide, living, having business, studying, within the exact same city. It’s curious to see Sikh people on the train, K-pop-styled girl standing by the platform, short-skirt-ed blonde sitting right in front of me, elderly couple with their 2 grandsons and a stroll.

And the weather surprised me. It’s winter right now and almost all of us are so conscious and aware about the weather. How could you not. In the early morning as the sun is rising, you can see bright ray of sun but at the same time, it’s wrapped by winding flow of cold I have no idea where it comes from. I have to wear three layers of clothing, a t-shirt and a sweater, longjohn and sweatpants, plus thic socks. You know what, the first time I got here was in the airport and train, and they already conditioned the air so that it’ll get warm inside both train and airport. I thought at first that’s the normal temperature, and it will also be like that outside. I was wrong, they set it warmer inside. And when I got outside the train station… woooshh… it blows me out! LoL. I liked it very much, but then it constantly goes inside my eyes, and it’s really dry. The longer I stay, the colder it gets. Even right now…

Awareness of temperature is so high, unlike those times when I was still in Indonesia. We never really care about how high the temperature, how many degree it goes up when it gets hotter in Indonesia. Especially during hot and longlasting dry season. Here, I ask all the time about how cold it is, how low the temperature is. It’s 6 degrees this morning, yesterday afternoon was 14 degrees.



Sunday, June 12, 2016

Ketika Akhir Datang

Bila suatu ketika datang surya dari barat
Dan semua manusia berucap, "Aduhai betapa malangnya aku, lupa akan datangnya hari akhir."
Padahal sesungguhnya mereka telah diperingatkan, dan selalu diperingatkan
Berdayakah harta yang dipuja dan ditimbun selama masanya ia hidup?
Bergunakah kerabat keluarganya yang sayang ia pada mereka?
Adakah tahta dunianya memberi manfaat melindunginya?
Maka tidak ada seorang mampu lari darinya (kiamat)...
Dan semua orang sempoyongan
Berlarian mendapati dirinya akan disiksa
Dengan siksa yang pedih, dan pula kekal
Menangislah manusia sejadi-jadinya...
Berteriak memohon ampunan, tetapi bergunakan yang demikian itu di hari kiamat?
Hanya orang-orang yang beriman dan beramal sholeh semasa hidupnya yang akan terhindar...
Dari api yang menggelegak...
Dari panas yang membara...
Dari nanah yang mendidih...
Yang demikian itulah hari pembalasan...
Dan sebenarnya hari akhir itu benar adanya...

Wednesday, June 8, 2016

Lebih Baik Saja

Hari ketiga Ramadhan. 2016 Masehi. Dan kejadian itu sudah berlalu lebih dari satu tahun yang lalu. Desember 2014, tepat di hari dimana usiaku waktu itu menginjak angka 26 tahun. Dan beberapa hari kemudian.

Hari itu masih terpatri di kenangan, meskipun sudah tidak benar-benar kuingat atau bahkan kucoba ingat, kecuali sekarang ketika aku menuliskan ini. Rasa awalnya manis, karena penantianku untuk bertemu setelah sebulan lebih berada jauh di Jakarta, magang, akhirnya terjawab juga saat aku datang kembali Semarang. Rindu terobati, ada hangat (biarpun nantinya aku tahu itu palsu dan tak berguna) yang memeluk dari relung jantung. Terlebih lagi setelah aku mempercayakan padanya kunci kamar kosku, bukan pada orang lain. Ada sebagian harapan yang terpenuhi, meskipun ada harapan lagi di balik itu (yang sepertinya tak berkehabisan).

Semua sepertinya baik-baik saja, sampai akhirnya ketidaksabaran dan pertanyaan sebulan lebih itu menggerogotiku dari dalam, memicu nafsu mempertanyakan. Kami menjalani sesuatu yang tidak terdeskripsikan, dari jarak jauh. Yang dia sendiri tidak mampu jelaskan, tapi aku merasa aku bisa merasakannya kala itu dan terlena pada manja rasa. Kupikir, biar saja nanti ketika bertemu kembali, merajut benang demi benang menghangatkan hati. Dan ketika tiba waktu, akhirnya dengan emosi aku benar mempertanyakan, dengan harapan dipasang setinggi langit tanpa pelindung apapun. Hatiku telanjang tanpa suatu penangkal perih apapun, tak paham resiko.

Dan aku yang tak menduga licin medan, terpeleset kata demi katanya, terperosok dalam di jurang sakit hati. Di dalam itu gelap, murung, penuh kerikil kenangan, ikatan fisik yang sempat terbentuk, dan harapan yang tadinya melejit. Terlalu tinggi aku memasang diriku di tebing harapan, dan luka jatuhnya tak terperi. Aku goncang, bermuram entah berapa lama. Mencari pelarian kesana kemari, seperti anak ayam kehilangan induk. Panik tak keruan, memohon-mohon padanya untuk kembali, mengemis belasnya. Padahal aku tahu hanya percuma.

Aku yang waktu itu berhati, pedih karena sakit hati, dan akhirnya belajar menggunakan hati. Tertatih, dan jatuh lagi, tapi aku memulai kendali atas degup jantung. Aku membuka mata pada logika, bahwa rasa tak selalu harus diikuti dan dituruti. Aku terantuk kembali, beberapa kali setelah itu. Tapi aku jauh lebih kuat dari apa yang dulu pernah aku rasai.

Hari ini ia kembali, hanya mengungkap kabar. Setelah sekian lama, kami berkabar juga.

Semua seolah baik saja, setidaknya dihadapan kami. Ada sesuatu, itu pasti, tapi aku tak mau menguak lebih dalam. Luka lama sebenarnya sudah tertutup, atau malah terlupakan. Tapi masih ada, dan perih bila digores kembali. Datangnya ia memang menebar lagi perih, tapi aku tidak lagi merintih. Bukan tidak terasa sakit, aku sadar ternyata aku belum sembuh benar dari sakit itu. Hanya saja, kali ini berbeda.

Kali ini aku tahu bahwa kini aku mampu melogika pilihan hidupku jauh lebih baik dari yang dulu. Aku yang dulu menggebu menuruti ego, sekarang tahu mana yang lebih masuk akal, dan aku menjalani itu. Bukan tidak terasa sakit, tetap saja sakit. Tapi aku bisa mengabaikan perih, mengesampingkan inginku untuk kembali, lalu berjalan kembali dengan kehidupan.

Dan sekarang aku berjalan dengan genggam kemenangan. Bahwa aku lebih dari sekadar baik-baik saja.

Saturday, April 30, 2016

Bertanya Tauhid

Adalah Ia Yang Menciptakan Segalanya, Yang Awal dari segala awal. Yang Paling Awal, ada sebelum segala sesuatu dan Yang Paling Akhir, bahkan ketika segala sesuatu telah binasa. Ia yang tidak didahului oleh apapun keberadaannya, dan yang tersisa ketika tidak ada lagi apapun.

Betul, Ia yang menciptakanku, makhluk satu di antara jutaan, milyaran makhluk yang ada dan pernah ada di muka bumi, bahkan mungkin semesta lain. Aku ditentukan akan diciptakan pada suatu masa tertentu, yang tidak aku ketahui masa tersebut. Ia yang berkehendak, dan atas kuasa-Nya pula aku ada. Aku hidup, aku memiliki kehendak pula, mampu bertindak, dan mampu yang lain sebagaimana Ia menghendakiku, sebagaimana Ia mengaruniaku, mewujudkan aku sedemikian rupa, sebagai manusia.

Apa aku sebelum lahir? Yang aku ingat hanya hampa, tidak ada apa-apa. Tidak bernafas, tidak setitik pun ada. Bila satu sel sperma itu adalah diriku, lalu apa pula ovum itu? Aku adalah gabungan dari keduanya. Jadi bila salah satu tidak ada, maka itu bukan, atau setidaknya belum, jauh belum menjadi diriku. Dan yang aku ingat benar-benar hampa. Sama sekali tidak ada sesuatu apapun. Tidak ingat sedikit pun, aku mungkin belum bisa apa-apa.

Apakah aku sudah menjadi jiwa? Apakah aku sudah dalam bentuk nyawa?

Siapa yang tahu? Hanya Dia, sekali lagi Dia Yang Paling Awal.

Bukankah itu luar biasa? Aku, kamu, siapapun di muka bumi ini tidak akan ada karena diciptakan-Nya. Ia yang memulai, menciptakan remah kecil di alam semesta, menjadi butiran-butiran yang lalu bergumul menjadi bintang-bintang, berkobar lantang menerangi semesta, berputar dan melesat dan sempurna menjadi tempat dimana manusia mampu bertahan, hidup, bernafas dan beraktivitas seperti adanya kita sekarang.

Lalu kalau semuanya sudah usai, apakah kita akan kembali merasakan hampa? Kosong sama sekali tidak merasa, tidak hidup, seperti dahulu ketika sebelum kita ada? Lalu setelah mati, apa yang terjadi kalau bukan hidup selanjutnya?

Aku manusia dan aku hanya bertanya, jawabannya ada di Ummul Kitab, sebagaimana selama ini aku percaya dan aku yakin benar adanya. Maka aku berpasrah pada-Nya, Yang Abadi dan Tidak Mati.


Wallahu A’lam Bishshowab.

Monday, March 21, 2016

Menengok Lebih Dalam

Abis buka-buka timeline di facebook. Ada banyak banget cerita. Ada cerita pindah ke negara lain, entah betul atau tidak. Cerita reuni alumni sebuah jurusan dan kampus mentereng di negeri ini. Ada cerita berdampingan dengan pasangan. Ada juga duka pedih ratapan seorang yang merasa betul-betul dirundung nestapa selama di muka bumi. Ada cerita keluarga, ada narsis sendiri.

Semua macam cerita dunia ada di satu halaman itu.

Dan aku melihat ke dalam kehidupanku sendiri. Orang-orang di sana sedang membuat sejarah dalam kehidupan mereka masing-masing. Aku kadang baper, bawa perasaan, iri, anggap remeh (biarpun aku sendiri pun tak kalah remeh), kagum, sedih, empati, nafsu, bahkan dengki.

Tapi kupikir lagi, apa guna semuanya itu, baik perasaan maupun apa yang benar-benar mereka capai di dunia.

Pagi ini aku ditegur, “bermegah-megahan di dunia telah melalaikanmu.”

Dunia sering bikin lupa, karena kita terlalu menengok indah. Karena aku pun terlalu menatap ke sesuatu yang terasa indah. Padahal, itu semua semu, karena ‘dijadikan terasa indah’ saat aku menjalani kesalahan dan dosa itu tadi. Intinya, semua yang bukan karena-Nya, bukan di bawah ridho-Nya, itu percuma.

Ini bukan berarti mereka-mereka tadi tidak bertingkah demi ridho-Nya. Bisa jadi memang mereka mengarah ke sana. Tapi…

Aku merasa terlalu bersalah, terlalu melihat kehidupan orang lain yang bikin aku semakin ingin itu ingin ini. Tidak benar rasanya, kepo dengan apa yang mereka lakukan terhadap hidup mereka. Tapi coba pikirkan, coba lakukan. Aku coba baca semua posting itu tadi dengan kacamata yang lain, yang lebih besar. Kacamata tentang, signifikansi apa yang ada dalam semua postingan itu, secara garis besar.

Apa gunanya? Apakah dengan menginginkan ini itu, lalu hidupku lebih baik? Tidak. Bahkan sebaliknya, aku bakal semakin mumet karena berusaha mendapatkan apa yang mungkin tidak lebih baik dari apa yang aku punya sekarang.

Aku bukan tidak dilimpahi dengan keindahan, bahkan aku bersyukur dengan apa yang aku punya saat ini. Rencana hidup yang mantap. Hidup. Tidak semua orang mendapatkan kesempatan untuk diberikan sekian banyak harta ini.

Sekarang, terasa benar-benar fana, semua itu. Entah hidupku, entah apa pun yang di posting di sana. Pada akhirnya semua akan berakhir di tempat yang sama, liang lahat. Semua tubuh berakhir di sana, semua jiwa dikuburkan dalam barzah.

Yang tinggal hanya amal…
Yang tinggal hanya amal…
Yang tinggal hanya amal…

Lalu apa hak-ku mempertontonkan semua bagian kehidupan, toh itu semua hanya sejenak. Tanpa niat yang tulus untuk bermanfaat, itu hanya berarti pamer, dan Allah tidak punya tempat di surga untuk orang yang pamer, barang sedikit. Memangnya siapa kita, punya siapa barang itu, sampai berani kita pamerkan.

Bahkan ketika gonta-ganti profile picture pun hanya sekadar pencitraan, bahwa kita ingin dilihat orang sebagai orang yang seperti ini atau seperti itu. Palsu. Yang tahu kita sebenarnya hanya Allah, yang menutupi aib-aib dan tidak membiarkan orang lain tahu, dan akhirnya kita terlihat luar biasa hebat di depan khalayak. Cih!

Malu… seharusnya kita malu. Bukan siapa-siapa tak punya apa-apa tapi pamer seolah ini milik kita. Aib yang kalau di umbar bisa bikin jijik seisi negeri. Mau dibuang kemana ini muka kalau sampai seluruh dunia tahu apa yang kita lakukan? Malu!

Introspeksi, menengok diri lebih dalam. Bahwa sadar atau tidak, disengaja atau tidak, dosa kita banyak. Tanggung jawab tidak bisa selalu kita tangani, hak orang lain tidak bisa selalu kita penuhi. Dan masih mau banyak tingkah? Memalukan.

Ini sekadar tamparan untuk diriku sendiri, betapa aku masih terlalu memandang dunia, dan terlepas dari kezuhudan terhadap akhirat. Berlakulah sebaliknya! Dunia habis terbakar dosa, di akhirat masih dibakar pula. Hina dunia, hina di sana, mau jadi apa?

Bahkan badan saja kita ‘numpang.’

Bahkan aku menulis begini pun pencitraan. Ah… Manusia memang terlalu banyak salah. Tapi kalau disalahkan tak pernah mau. Sudah suci, apa?

Yang sejati ada dalam ibadah kepada-Nya, karena itu lah yang benar-benar dihitung. Yang benar adalah bekerja untuk memperbaiki dunia, berbuat baik. Berusaha berbuat baik saja kita banyak salah, apalagi dengan sengaja berbuat salah.

Ikhlaskan hati, manusia. Kemegahan dunia itu bergelayut di kaki ketika berjalan menuju surga. Semakin sedikit kemegahan, semakin ringan langkah kita menuju pintu Firdaus, menemui utusan-Nya yang selalu kita rindukan. Menemui-Nya.

(Dikutip dari seseorang)



Menahan Drama

Bener sih. Kadang aku emang suka, entah sengaja atau enggak, mendramatisir keadaan jadi. Tujuannya kadang aku pun gak sadar, buat menikmati rasa, sedih itu terkadang bisa dinikmati. Iya betul, menikmati sedih. Terdengar konyol, tapi ada rasa senang setitik ketika aku merasa sedih, karena sepertinya ada bagian sedih dalam hidupku. Sedih terkadang menjadi bagian dari kebahagiaan, bahkan terpuruk itu membuatku merasa berharga, karena aku tahu rasanya terpuruk.

Aneh? Entahlah. Tapi aku sering merasa bahwa banyak orang lain yang sebenarnya pun merasa demikian, hanya saja mereka enggan mengungkapkan. Yang pasti karena gengsi, dan yang lain agar nikmat rasa sedih itu tidak terganggu dengan rasa bersalah bahwa ini ada sejumput senang dalam drama yang kita alami. Seperti hidup kita ini adalah sebuah episode penuh ratapan di sinetron atau serial drama manapun yang terkadang dilebih-lebihkan.

Contohnya sekarang aja. Grobogan lewat tengah malam, sekarang jam di komputerku keliatan jam 1.32 pagi. Yep, dini hari banget. Dan rasanya mellow berat. Abis ada kejadian sesuatu sih, well I don’t really wanna tell here, too many and too confusing, I just don’t wanna think bout that.

Justru karena perasaan ini aku jadi bisa nulis ini, semacam inspirasi. Katanya saat sedih cenderung lebih cerdas dibandingkan waktu kita bahagia. Padahal, orang bahagia punya lebih banyak energi yang diperlukan biat kerja. Trus apa itu berarti orang yang pengen pinter kudu sedih terus? Kan enggak gitu juga keleuuus. Over bahagia pun bikin kita lupa daratan, lupa sekitar, kadang lupa bersyukur gegara terlanjur terlena. Dangdut kali ah. Tapi suasana hati seperti ini emang bener bikin tulisan gampang keluar. Nikmat aja ngalir kayak kali depan rumah. Otak pun kayak udah gak mikir.

Perasaan ini kadang bisa jadi kendali. Maksudku, aku sekarang sudah cukup dewasa untuk mampu mengendalikan perasaan dan emosiku, bukan yang meledak seperti jaman dahulu (ini bukan dongeng, please). Aku bisa saja marah, tapi logikaku berjalan bahkan ketika aku berada dalam situasi yang cenderung tertekan, pelik, yang dulu kalau aku mengalami hal serupa mungkin sudah meledak. Aku lebih bisa menahan diri untuk tidak menyampaikan emosiku, lebih banyak tertahan, tapi jauh lebih terkendali dibandingkan dulu. Rasioku berpendapat seketika itu juga, dan bisa jadi karena aku mulai terbiasa, untuk berpikir bahwa mengeluarkan unek2ku di saat itu juga tidak akan menyelesaikan masalah, karena emosi bercampur opini sepihak, nada tinggi yang cenderung memicu semakin runcingnya perdebatan dan perdebatan yang tidak akan pernah ada ujungnya mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah. Ini sisi positif yang mulai aku tangkap dalam diriku, ketika aku menghadapi situasi pelik semacam itu.

Emosi dan sedih tak terkendali, itu dulu. Semoga aja gak ada urusan serupa lagi, karena aku pikir hatiku sudah ditempa macam pedangnya Godric Gryffindor (halah). Aku sudah jatuh bangun, kesusahan setengah mati bangun dari rasa pahit sakit hati. Sedih yang sampai setangis2nya cowok pun pernah. Sedu sedan semalaman tak karuan, menghadapi situasi sulit, pahit sepahit-pahitnya hati. Sudah dirobek secuil-cuilnya.

Tapi karena pernah hancur itu, aku tahu bagaimana caranya mengembalikan kepingan-kepingan, bahkan remah hati yang bercecer. Menyatukan hatiku kembali sampai kapan pun itu bukan perkara mudah, makanya aku lebih memilih untuk tidak mengizinkan diriku, akalku menuntut hatiku untuk tidak berpegang pada hal yang serupa lagi.

Kebiasaan mendramatisir itu, perlahan berhenti menjadi kesabaran. Kemampuanku untuk mengikhlaskan, kesediaanku untuk menerima fakta, melepaskan apa yang dulu pernah aku inginkan, memasrahkan semua yang aku punya pada mengalirnya dunia.

Hal itu bukan berarti aku tidak merasa muak, jengkel, dongkol, ingin marah, ingin menangis dan semua macam ledakan emosi yang pernah aku lakukan dulu jaman aku masih ababil berat. Sekarang aku cenderung menahan semua itu, lebih banyak menampilkan wajah cerah ceria tanpa duka. Berusaha sebisaku mencari yang membuatku lebih banyak tertawa. Aku lebih kuat menahan emosiku, lebih mampu menguatkan benteng. Dan aku sangat bersyukur atas hal itu.

Dan drama yang lain siap aku hadapi, kali ini dengan lebih berani. Orang yang kuat adalah ia yang berjuang melawan apa yang ia takutkan dengan berani, tanpa mengeluh, dan seringkali tanpa diketahui oranglain.


Aku kuat!

Wednesday, February 3, 2016

Our Beloved Not-Just-Another-Grocery-Store-in-Town

I just want to express my deepest and most sincere gratitude for what You have provide me, and my family with. Gratitude I should’ve done long time ago and even more often, as You provide me with things I don’t realize was undeniably advantageous.

Like what I have in front of me right now. A plate full of delicious and nutritious food, I can have for every single day I’m alive. A loving family caring to each other. Many other things I won't have enough words to explain how great Your blessing is.

One thing in particular I want to thank You is my Dad’s grocery shop. We run this shop since I was a kid, it was quite a successful story for those who live in my town, Grobogan, that time. My dad established this shop in the 70s, when they first moved in. It’s gradually inclined toward the biggest store in town, since we’re one of the earliest business family here. During its ‘throne’, my mom and dad can even afford a pilgrimage to the Holy Land in Makkah and Madinah, visit our beloved Prophet Muhammad in his homeland. That’s when I was in primary school.

But a major decline in our shop characterized most of years during my senior high and college in the early 2000s. It wasn’t pretty at all. Our income constantly plummeting. Rumors spread about hypocrite dishonest people who work as our shop assistant. These shop assistant has worked in our shop almost 2 decades, so it’s natural that I, and also my mom, trust them with all our heart. I didn’t buy the issue saying they steal goods or even money from our store at all, but not my father. This further ruined the situation, as my dad fired them. Since then, employees has came and gone, uncertainty struck our shop.

Nowadays, our shop is a total mess compared to many others. It’s ancient, old-fashioned, less modern and certainly not as crowded as it used to when I was a kid. We only have one employee, a girl. My mom works back and forth from shop to kitchen, helping shop and also maintain the housework, also our meals. I can’t say our shop is clean, as many spiderweb nestled all over the place. Dusts are everywhere, but there’s something worth to notice.

Surprisingly, it’s this modesty that gain us a constant number of customers, and also loyal ones. The first plausible reason for this is our lower rate of benefit that attracts customers. I believe there are also nearly extinct goods but still popular among several communities that makes us survive this cruel competition with many better tenants.

I pray that this shop would become a blessing, instead of becoming just another commerce, for my family and the whole town. That whatever we sell, it would help people. That the process would make people more cheerful. I hope we would find this shop as a mean for us to gain a better future, even further extended to paradise. It’s You and only You, the only One who can make these all possible.


And I hereby avail my most humble gratitude. Ask You for Your kindest apology to forgive mistakes after mistakes we’ve done. And bless us with Your Mercy to guide us through our worldly life, to help others, praise You and simply be kind. That we will be in Your Jannah with You in the Afterlife. Amiin.

Saturday, January 30, 2016

THE Day of THE IELTS test

I'm in the day of judgement. No no not judgement as in the end of the world when apocalyse finally come, no. It's the day when my ielts test eventually come after months of waiting. I don't really expect myself to obtain such highest degree of english, no. I just do what i gotta do. Face the exam coz i believe i'm gonna kick this test.

It does matter. It depends on this result to finally know where i will study in australia. It would still be australia after all, so i wasn't really worried and anxious. So here's how the result would affect my life in the future: if i got 6.5, i'll get into australian national university. If i got 7.0, i'll get into university of sydney.

It may not seem to be a hard decision to make for you, but it was for me. My mom doesn't want me to study in canberra due to its (some say) extreme climate. It says on wikipedia that it would be as low as 0 degrees super freezing cold during winter in july to august. Yet now, they're currently experiencing heat wave, since it's summer. My mom was panicked, said that my disease will reappear (i got problem with my lung, or to be more precise, my respiratory system). The day i consult to idp, she said it is actually not that bad as it seems. So i decided, okay, canberra would be my second choice. ANU is the best place to study imho, in australia.

The first decision would be, according to the abovementioned agreement with my mom, the university of sydney. It's undeniably one of the best university on the continent. Besides, they have center of peace and conflict studies which fits perfectly to my focus study. Moreover, i could volunteer at cpacs and that'll improve my cv right. So many opportunities.
That's why i'm so nervous yet excited and relieved. Indeed the result will bring me to one of those 2 places but more importantly, i should stay consistent, work hard and struggle for my future. :)

Thursday, January 28, 2016

thank you for the pain

I found them. The word 'them' refers to those in my past, the ones I ever had history with. The ones claimed to always be there right next to me yet left me afterward. The ones who hurt me, also the ones I've hurt.

I already have this Line messenger for several years now, but never really have the thought to search for their names. And it's just like that, I typed it purely just to make a prank, and it showed exactly like the way their names spelled. Their pictures appeared, just like that. Even the exact same picture as the first time I saw them in pictures.

Do I have any intention to get back to them? No. It was a mere curiosity. I would never forget how painful it was.

It stuck in my head strongly, that's why I could never get rid of memories about them. Even sometimes I still had reminiscing shadows in my head, recalling those moments I had with them. Some were nice, laughable, hilarious, some others were worth the time. But, these wounds never lied. It's there, like it always does since they made it.

Hahaha, oh come on, it's enough. I have my wonderful life already, what's the point of moping.

To be even more honest, I have that thought to show them how okay I could be without them, like I could still win my life without them around and it feel so great now, after they left me away. But its a show off and i don't want to show them off my life. It's my life anyway, I've let thoughts about them driven away, so why bother trying to display them my life. I'm the one who can enjoy this, it doesn't have anything to do with them anyway.

But then again, I'd like to thank them for the agony. That it built my stronger, beat me harder that now I turn into the sharpest and brightest sword I never thought I would be.



Saturday, January 23, 2016

You

I fear of the life that is getting worst day by day. I'm afraid of what lies ahead, of what might happen in the future. I'm frightened by the fact that I've made terrible mistakes, terrified that something bad might happen to me as a result, a punishment to what I've done in the past. I indeed have ripped my youth apart, leaving it torn into pieces. I bow down, regretting second after second I ridiculously spent making sins. I shed my blood for uselessness, what an idiot.

Yet You provided me all those forgiveness, apology. I'm weak yet you make me strong beyond my limit. I've crossed the line but You're still standing there to drag me back to your righteous lane. What have I done it doesn't matter, You say, as long as i repent. What's in the past You've forgiven, what's happening You guide me through, what lies in the future You'll lead me ahead.

Wednesday, January 20, 2016

Fear Fighting

To be honest, I'm terrified of all greatness I might have in front of me. I'm on the verge of breaking down my own limit, getting into globally top ranked universities in Australia. My first choice would be University of Sydney (45th), the other would be University of Melbourne (43rd), Australian National University (19th) and University of Wollongong (243rd). All those universities, I chose them myself actually but still... It's kinda frightening.

It's the fact that those universities are so great that nudges my fear. I'm worried, would I be able to fit in with their system? Would I be brave to speak up in the classes? Would I have the ability to create those amazing papers, sparkling ideas, coherent writings, and so on? Even now I'm struggling for my IELTS, and it's been difficult. 

My fear is linked to the fact that I once failed to finish my study at a qualified state university in Semarang. It's horrifying for me every time I recall that memory. It's even hard for me to step into that aforementioned university campus, it was trembling just to face my lecturers, just to talk simple stuff about college. It's depressing, and it felt like I was under pressure.

It's those memories that got me frightened, trapped me into a dilemma. I don't want to experience all those feelings anymore, yet I am looking for best quality of education and teaching, so that I could do well and be advantageous once I come back to my beloved home land. I'm afraid of what might happen in the future. But some say, feeling afraid makes you feel like you're actually onto something important. Is this important?

Yes, it is important. I'm looking forward to study peace and conflict studies due to my previous result saying that there's a potential concept I believe would become a breakthrough in the field of peacemaking. I believe that Islam is a gateway to peace, instead of, as many narrow-minded people and media say, becoming the trigger of conflicts and terrorist attacks. I saw it through my previous university, that we promote tolerance among different religions. We embrace every other people from various religious groups, understanding differences, be okay with all those differences and appreciates them well. That's what I believe, a theory I beg to propose, and it is important.

Other than that, being away from home is never easy. Homesick might be one, but other obstacles are obvious. Having to adapt to new culture, new system, with no companies around, meeting strangers. It's hard but Allah said "verily, with hardship comes ease." What I will gain in the future, It would really worth the struggle.

Challenges are ahead of me, I should not be weak, and I believe that I am strong, I will strongly struggle. I'm not a naysayer when it comes to dreams, and this is my dream. No matter how fearful I am right now, no matter what hardship I will have to face, I'll break a leg and succeed. 

Don't be sad, indeed, Allah is with us.

Tuesday, January 19, 2016

Cuapan di Sosial Media

Ngomong di media sosial itu ibarat2 'cuap2' di tengah area pejalan kaki, saat banyak orang lewat (termasuk yang saya lakukan sekarang ini lewat tulisan ini).
Bisa saja ada 'cuapan' yang menarik, yang jadi trending topik
Ada pula keluhan sehari-hari, cerita inspirasi, lantunan pujangga dan ada pula cacian.
Tapi kadang banyak yang tidak sadar kalau facebook itu ruang publik meskipun rasanya mirip seperti curhat sama buku harian pribadi.
Selentingan miring pun kalau 'gothak gathuk' bisa dipaskan dengan situasi yang kita hadapi, orang yang tidak seharusnya menjadi sasaran justru merasa disinggung.
Tidak pas, kan?
Miskomunikasi di sana sini.
Apalagi ditambah bumbu pemanis gosip biar makin sedap.
Yang tadinya sayur sop malah jadi air got, yang manis jadi kotor.
Belum lagi kalau isu yang tersebar ternyata tidak benar, bubrah kabeh.
Bukan bermaksud naif, bahwa semuanya harus benar dan baik di media sosial, tidak juga.
Toh manusia itu tidak luput dari kesalahan.
Manusiawi saja, kalau bisa menghindari kesalahan, kenapa harus dibuat?
Bijaklah dalam berucap, lidah itu tajam.
Dimanfaatkan bila berguna, lewat ucapan, yang baik datang dari sumber yang baik, Al Qur'an dan As Sunnah.
Yang buruk, lebih baik sarungkan saja pedangnya, nanti malah menggores orang, kita pula yang harus tanggung jawab.
Salah-salah, kita sendiri yang luka.



Tuesday, January 12, 2016

Days of IELTS Struggle

So I guess this would be the way I practice my English for the sake of IELTS test, 3 weeks ahead. I’m going to have it by January 30th 2016 and I still have several weeks to prepare. To be frank, I’m not sure if it’s sufficient to improve my IELTS score but I’m pretty sure I can get reach my goal: IELTS 7.0.

I’m having my dinner right now while writing this. I’m chewing while typing words after words to this blank white page in Ms. Word. Life is a never ending struggle. Just like what I’m having right now, eating kerupuk while trying to arrange sentences. Well, to be honest I can’t say I’ve been working very hard, because this is just my first day of intensive IELTS study session, by myself. But afterall, I’m gonna make these weeks a real struggle.


I’m blabbing. But I actually am talkative.

Having my headache since earlier today. I just got back from Semarang yesterday, and I slept not quite early but woke up very early. Well not as early as usual, coz I usually wake up at 3 am, and yesterday I woke up at 4, so it’s quite late for me. But still, may lack of splendid sleep is the reason why I have my dizzy head right now. Other than that, probably because I had intensive listening session for several hours on earphones, that my hearing got exposed to direct (though not so loud) source of sound. I decided to study at the public library, but when I arrived and sat for only 5 minutes, my sleepy head stumbled. It felt like I had tons of wrecking ball (do I sound like miley?) tightly bounded to every strand of my hair and ripping my brain apart.

After several hours of study, I’m blasted by the fact that I should more for reading section. I specifically have difficulties in understanding reading passage, especially with various types of questions. Besides that, there so many words to read, so many articles to understand. They have tips on the IELTS practice book, so I think I’m going to use that as a guide.

I had my study for 2 hours, I went home right after dzuhur and lunch, I had my nap for 40 minutes or so. It didn’t really work well to recharge my energy, I still have this headache until now.

The reason why I’m willing to study even more for IELTS is that I’m absolutely definitely tempted to continue my study (master’s degre) in the University of Sydney, and they require applicants to have IELTS 7.0. What a challenge. I myself took a simulation several months ago. The result is quite encouraging but I can’t say I’m pretty happy about that. I still feel like I need further and more intensive, excruciating study so that I can have my IELTS 7.0. No matter how hard I have to study, I will take that challenge and study even harder. And this writing, is just a little piece of writing section. LoL. =D

Oh, perhaps it’s also because I face my laptop for too long. You know, screen radiation from computer has a real bad impact on our sight, our eyes. I feel more sleepy, I can hardly pull my eyelids open sometimes, lingering to my bed like a lazy sloth. It feels like burning a little bit, and eyesore is definitely unavoidable. No matter what risks I might have, I should still face my laptop every day. This is the easiest way to keep being updated to information about scholarship I just obtained, through telegram and line (both instant messenger). Many informations are available there, and I don’t have any compatible smart phone so laptop is the only answer for now.


Okay, now it’s isya time and after that I gotta hit my bed. Hoping that tomorrow I’ll get better so that I can have my intensive study program going well. 

Sunday, January 3, 2016

Seri Beasiswa LPDP: Tips Menulis Esai

Tips Menulis Esai

Ada beberapa tips yang bisa saya berikan terkait dengan proses menulis esai:

·         Ikuti aturan yang sudah ditentukan LPDP. Aturan pertama terkait dengan ukuran tulisan yaitu 500 – 700 kata. Jadi pastikan tulisan kita tidak kurang dan tidak melebihi batas ini.

·         Sinkronkan ketiga tulisan. Isi ketiga tulisan bisa jadi akan saling beririsan satu sama lain, karena memang ketiganya berhubungan. Kalau sudah demikian, pastikan tulisan kita menjawab pertanyaan untuk masing-masing esai.

·         Perhatikan sistematika tulisan. Paragraf apa yang kita gunakan, apakah induktif atau deduktif? Dimana letak kesimpulannya? Kemudian, hubungkan antara satu paragraf dengan berikutnya sehingga menjadi satu rangkaian yang berkesinambungan. Dengan demikian, pembaca akan mudah memahami sekaligus mengetahui bahwa alur pikir penulis sudah cukup sistematis. Lebih jauh lagi, jika kita menggunakan plot dalam menyusun esai, pastikan plot ini tergambar jelas dan sudah runut sesuai dengan alur yang kita buat. Salah-salah, alur yang terlalu rumit malah membuat esai kita diabaikan.

·         Make the words yours. Jadikan kata-kata yang kita tuliskan merupakan kata-kata kita sendiri. Gaya bahasa kita, diksi kita, penggunaan majas dan aspek kebahasaan lainnya tergambar jelas dalam tulisan. Jika kita hanya sekadar menyalin tulisan orang lain dan disesuaikan dengan kondisi kita, tulisan yang dihasilkan tidak akan alami. Padahal, dari tulisan inilah terlihat jelas karakter kita. Maka dari itu, tidak perlu copy-paste karya orang, karena salah-salah malah kita dibilang palsu oleh si panitia seleksi. Nggak mau, kan? Tulis saja, sekali lagi saya tekankan, dengan jujur dan tulus apa adanya. Itu jauh lebih baik, lebih menenangkan dan gak perlu pura-pura nanti pas wawancara, betul kan?

·         I repeat, be the best version of yourself! Ini kalimat saya ulang entah berapa kali, tapi memang itulah cara terbaik menampilkan diri. Sejatinya di dalam diri kita itu ada keunikan yang sangat khas yang gak dimiliki satu orang pun di muka bumi. Keunikan itulah keunggulan kita, bukan sekadar pintar, cerdas, menarik, ganteng, cantik, dan sebagainya. Tuhan itu sebenar-benarnya Maha Adil yang ngasih kita kelebihan sekaligus kekurangan, jadi jangan kuwatir bakal kalah sama tetangga sebelah yang kelihatannya wah. Yang betul-betul keluar adalah jati diri kita, semangat kita, jiwa pemimpin kita, kebijaksanaan kita. Simply, your inner beauty will spark.

·         Literally, show them that you’re worthy. Esai yang kita buat harus “menjual”, meyakinkan pembacanya kalau kita memang punya integritas, punya jiwa kepemimpinan, kesungguhan dan motivasi yang kuat untuk belajar dan berkontribusi.

·         Pembuatan naskah dan proses pengeditan bisa berlangsung dalam waktu yang tidak sebentar. Bersabarlah, dan berjuanglah. Jujur saja, pada proses ini saya sampai begitu eneug menatap ketiga esai di komputer saya yang alurnya masih berantakan. Oleh karena itu, proses pematangan (emangnya telur?) esai memang tidak sederhana, namun hasil yang didapat betul-betul sesuai dengan usaha kita. No pain no gain, dude!

·         Kalau sudah jadi, jangan puas dulu. Tunjukkan hasil karya kita ini kepada orang-orang yang memang berkompeten untuk ditinjau ulang. Bisa jadi teman kerja, teman nongkrong, atau dosen pembimbing, atasan, siapa saja yang menurut kita punya kapasitas. Mintalah mereka meninjau dan mengritik dengan tulus dan jujur bagaimana esai kita menurut pendapat mereka pribadi, secara obyektif. Dengan demikian, kita tahu apa saja kekurangan tulisan kita yang sekiranya perlu diperbaiki. Tenang saja, tidak semua saran dan kritik harus dilakukan, kok. Sesuaikan saja dengan gambaran dalam pikiran kita tentang sebuah esai yang sempurna.

·         Terakhir, tinjau ulang semua gagasan, alur, ejaan, gaya bahasa, diksi, kutipan, catatan kaki, dan semua aksesori yang kita tambahkan dalam tulisan. Kalau perlu, kita bisa merekapitulasi masng-masing dengan membuat daftar centang. Kalau sudah mantab, berarti naskah siap diunggah di formulir pendaftaran.



Langkah terakhir yang paling akhir dari segala akhir, adalah memasrahkan hasil karya kita ini kepada Sang Maha Mengetahui. Hanya doa yang bisa kita panjatkan, dan insyaAllah dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, Dia tidak akan mengecewakan kita. Inna ma’al usri yusro. :)

Seri Beasiswa LPDP: Menulis Esai Bagian 2

Menulis Esai

Titik mulai menulis esai adalah saat yang tepat untuk merenung. Mengapa? Karena pada dasarnya ketiga pertanyaan yang diajukan LPDP melalui judul esai ini adalah pertanyaan reflektif. Masing-masing esai mengandung pertanyaan yang jawabannya harus terkandung di dalam isi esai tersebut. Yang tahu tentang jawaban dari ketiganya ya diri kita sendiri, maka dari itu tengoklah ke dalam diri kita sendiri, apa yang sudah, sedang dan akan kita lakukan. Ini berlaku untuk ketiga esai. Efeknya, terkadang kita jadi mewek-mewek atau malah penuh semangat membara karena mengingat apa yang sudah kita lakukan, nostalgia ceritanya. Tak apa, esai ini memang ditujukan untuk memberi kesan yang tidak terlupakan bagi pembacanya, jadi kalau kita sendiri bisa emosional, bagaimana dengan pembacanya nanti? Karena itu, jawablah setiap pertanyaan dengan jujur dan tulus dari dalam lubuk hati nurani yang paling dalam. #ciesokromantis #iniserius

Gagasan-gagasan yang tertulis secara acakadut tadi kemudian bisa mulai disusun dalam bentuk naskah. Tulis saja sesuai dengan apa yang ada di pikiran, apa pun yang melintas di kepala. Tulisan awal bisa meluber kemana-mana dari topik yang nyambung sampai topik yang nggak penting sama sekali. Ini bagus, berarti kita menjelajahi pikiran seluas-luasnya. Kalau kita punya waktu yang cukup untuk sekadar latihan, coba tuliskan naskah setiap hari dengan cara yang berbeda. Kita bisa menemukan banyak ide yang mengalir setiap harinya, memperindah tulisan. Beberapa teman saya bahkan bercerita kalau dia sendiri sampai membuat puluhan naskah sebelum akhirnya betul-betul matang dengan esainya. Ini waktunya melakukan percobaan dengan kemampuan menulis kita, jangan takut salah, karena nanti ada waktunya kita memperbaiki kesalahan. Justru semakin banyak kesalahan, semakin kita tahu mana yang benar, kan?

Berikut ini saya berikan gambaran kira-kira apa saja yang bisa dimasukkan ke dalam masing-masing esai. Ingat, kerangka karangan ini sangat subyektif sesuai pendapat saya pribadi. Anda bisa menulis dengan cara anda sendiri, karena esai ini adalah perwujudan anda di hadapan panitia seleksi. Tunjukkan keunikan anda, yang membuat anda beda dan menonjol di antara calon penerima yang lain. Be the best version of yourself!

1.       Rencana Studi
Pertama tama, jelaskan latar belakang mengapa memilih studi tersebut, apakah sejalan dengan studi sebelumnya, bila tidak jelaskan mengapa. Kemudian, paparkan tentang alasan mengapa studi atau fokus pendidikan tersebut penting bagi Indonesia. Bila memungkinkan, perkuat dengan data statistik yang menunjukkan urgensi studi. Lalu, jelaskan potensi dan kemampuan kita, situasi yang dihadapi, singkatnya mengapa kita adalah orang yang tepat yang bisa memperbaiki situasi, dan memerlukan pendidikan lebih tinggi. Jabarkan rencana pendidikan kita, universitasnya, mengapa harus universitas tersebut. Bila perlu, perkuat dengan informasi mengenai mata kuliah, dosen yang mengajar, atau pusat studi yang ada di universitas tersebut. Yakinkan bahwa universitas tersebut memang pilihan yang tepat. Paparkan rencana penelitian kita secara spesifik dan bagaimana studi tersebut berperan memperbaiki atau meningkatkan situasi terkini di Indonesia. Yang terakhir, jelaskan rencana ke depan. Ini terkait dengan kontribusi pasca-studi, apa yang akan kita lakukan, prioritas dan ingin jadi seperti apa setelah pulang. Disinilah visi kita ke depan di dipaparkan lebih jauh.
2.       Kontribusiku untuk Indonesia
Esai kedua ini sejatinya bercerita tentang apa yang sudah, sedang dan akan kita lakukan untuk negeri. Dalam esai saya, saya lebih menekankan pada aspek apa yang sudah saya lakukan untuk negeri. Ini memberikan saya kesempatan untuk menjelajahi masa lalu, bukti bahwa saya memang sudah berkarya untuk Indonesia. Bagian ini paling banyak saya jelaskan. Selain itu, aspek masa kini juga saya jelaskan meskipun tidak banyak. Intinya, jelaskan peran apa yang sudah kita berikan dalam memajukan negeri sebagai bukti nyata bakti bangsa.
        Dari sekian banyak kontribusi yang kita berikan, cukup dirangkum apa yang sejatinya telah, sedang dan akan kita lakukan bagi bangsa. Kita tidak perlu menuliskan satu persatu kontribusi apa saja, bisa jadi malah melebar kemana-mana dan tidak fokus, sasaran yang dituju nggak kena. Cukup satu atau dua, dan gambarkan garis besar alur apa yang sebenarnya kita tuju, visi dan misi kita yang terwujud melalui aktivitas kita. Kalau memang perlu, tambahkan kutipan yang kita jadikan slogan kita sehari-hari. Jika memang sudah ada keberhasilan yang dicapai, coba jelaskan dan apa saja manfaatnya bagi masyarakat.
        Di akhir tulisan, perlu diungkapkan mengapa pendidikan yang mau kita tempuh itu akan membantu. Kita bisa jelaskan bahwa sejauh ini kontribusi kita masih belum seberapa, dan pendidikan adalah jalan yang bisa membuka kesempatan untuk berkontribusi lebih luas dan lebih jauh. Paparkan pula kesempatan apa saja yang terbuka di masa depan, jika anda memiliki pendidikan tinggi tersebut.
3.       Sukses Terbesarku
Sebenarnya esai yang satu ini dan sebelumnya bersifat sangat pribadi. Kita sendiri yang tahu jawabannya seperti apa, dan kita sendiri yang paham. Permasalahannya hanya ada pada bagaimana kita menyampaikan struktur gagasan yang ada dalam pikiran kita agar si pembaca paham apa yang kita maksud.
        Dalam kasus ini, mindmap akan sangat membantu. Kita bisa memulai dengan mendefinisikan apa itu kesuksesan. Bagi setiap invididu, definisi ini bisa sangat berbeda, tergantung sudut pandang individu yang bersangkutan. Lebih jauh lagi, implikasi dari definisi tersebut tergambar dalam kehidupan kita. Aspek mana saja yang menurut kita merupakan sebuah keberhasilan sejati, bisa dipaparkan secara spesifik.

Kemudian kembalilah ke pertanyaan, sukses yang mana atau yang bagaimana yang menurut kita adalah sukses yang terbesar. Bisa jadi sesuatu yang konkrit, atau sesuatu yang abstrak. Pertanyaan yang satu ini memang sangat filosofis, dan pendapat masing-masing orang pasti berbeda, sifatnya sangat subyektif. Oleh karena itu, keunggulan dan keunikan masing-masing dari kita sendiri adalah jawaban yang paling tepat.

Seri Beasiswa LPDP: Menulis Esai Bagian 1

Halo lagi, pejuang beasiswa! =D

Esai sebagai bagian dari seleksi beasiswa terkadang jadi momok terutama buat yang belum terbiasa dengan tulis menulis. Semuanya memang (paling tidak) sarjana yang sudah lewat dari skripsi, tapi toh tidak semua sarjana menyukai kegiatan menulis. Maka dari itu, tulisan ini akan memberikan tips menulis esai, terutama ditujukan untuk proses seleksi beasiswa LPDP.

Tujuan esai-esai yang menjadi bagian dari seleksi administratif ini sebenarnya memang sejalan dengan tujuan seleksi beasiswa itu sendiri. Esai diharapkan merupakan tulisan asli si calon penerima beasiswa, karena dari sinilah panitia seleksi bisa mengetahui seluk beluk peserta seleksi termasuk kematangan mental, motivasi si penulis dan kesungguhannya dalam mendaftar beasiswa. Hal ini penting bagi panitia seleksi, karena tentunya mereka tidak ingin salah pilih orang yang ternyata sekadar mau jalan-jalan tanpa memikirkan studinya, atau sekadar main-main belaka. Ada lho, pendaftar yang seperti ini. Selain itu, esai ini pula yang menjadi dasar bagi pewawancara untuk menelusuri jati diri dan karakter si calon penerima beasiswa. Maka dari itu tulislah setulus dan sejujur mungkin. Satu dari 3 pewawancara itu adalah psikolog, lho.

Bikin esai sebenarnya adalah bagian seleksi yang gampang-gampang susah. Yang namanya seleksi beasiswa pastinya berupaya untuk menjangkau individu dari berbagai latar belakang kecerdasan yang berbeda, termasuk yang punya kemampuan menulis tapi tidak punya kecakapan bicara. Nah untuk orang-orang yang lebih suka mengungkapkan gagasan lewat tulisan, bagian seleksi yang satu ini bisa jadi senjata ampuh untuk menunjukkan kepada panitia seleksi beasiswa kemampuan akademik kita yang sesungguhnya. Buat yang suka menulis pun, harus berhati-hati karena harus menyesuaikan dengan jenis tulisan yang mau dibuat. Ingat, ini tulisan yang mau dibaca oleh panitia seleksi beasiswa, jadi tidak bisa sembarangan.

Menulis esai dalam seleksi LPDP ada 2 bagian. Yang pertama yang menjadi syarat administratif untuk bisa maju ke babak substantif, sedangkan yang kedua merupakan bagian dari seleksi substantif yang jadwalnya ditentukan bersamaan dengan verifikasi berkas, seleksi wawancara dan Leaderless Group Discussion (LGD). Khusus artikel ini, yang akan dibahas adalah penulisan esai sebagai bagian dari seleksi administratif yang terdiri dari 3 judul: rencana studi, kontribusi untuk Indonesia dan sukses terbesar.

                Sebelum Menulis
Persiapan menulis yang utama pastinya isi tulisan. Biasanya saat memikirkan isi tulisan, macam-macam gagasan berkelebatan di otak dan semuanya datang begitu cepat silih berganti. Judulnya saja ada tiga, makanya nggak heran kalau ide-ide banyak bermunculan selama waktu ancang-ancang ini. Inilah yang namanya brainstorming karena benar-benar ada “badai” gagasan di otak. Dalam kondisi seperti ini, tuliskan sekian banyak gagasan tadi meskipun dalam kondisi tidak teratur. Bisa di catatan, kertas apapun yang anda temukan saat itu juga, telepon genggam, laptop, apapun. Tujuannya agar kita bisa meninjau ulang gagasan-gagasan tadi dan bisa menyusunnya, menjadi pemanis atau bahkan isi utama tulisan.

Sembari memikirkan gagasan, mulailah banyak membaca. Membaca akan memperkaya khasanah pengetahuan dan memperluas gaya bahasa yang nanti kita pakai untuk menulis esai. Bacaannya bisa dari aneka sumber, misalnya jurnal yang berkaitan dengan studi, majalah, surat kabar, novel, cerpen atau contoh esai penerima beasiswa sebelumnya yang bisa ada di blog milik awardee. Blog-walking ini betul-betul bermanfaat lho, soalnya bakal ada banyak info yang bisa kita serap dari pengalaman awardee sebelum-sebelumnya.

Dari berbagai macam gagasan tadi, coba petakan dengan mindmap. Tujuan dari mindmap ini tidak lain agar gagasan yang kita punya untuk masing-masing tulisan bisa lebih terstruktur dan enak dibaca. Peta gagasan seperti gambar di bawah sangat membantu, agar setiap gagasan yang penting tidak terlewat dan agar tulisan tetap berada pada koridor sistematika yang diharapkan. Atau kalau tidak terbiasa dengan mindmap, cukup buat kerangka karangan yang mudah dipahami. Nggak perlu bikin yang rumit, tulisan itu intinya menyederhanakan hal yang rumit, bukan mau pamer kerumitan biar dikira jenius.


Pastikan mulai mempersiapkan tulisan ini dengan rentang waktu yang cukup jauh dari tenggat waktu. Umumnya server website beasiswa LPDP akan mengalami gangguan mendekati deadline, karena mulai banyak calon peserta yang melakukan submit dokumen. Nah, agar terhindar dari gangguan semacam ini, upayakan sebaik mungkin untuk men-submit dokumen beasiswa, termasuk esai ini tidak terlalu mepet dari deadline. Saya sendiri melakukan submit seminggu sebelum tenggat. Selain itu, editting esai juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk benar-benar mencapai tulisan yang matang dan siap upload.

Saturday, January 2, 2016

Tulisan Tangan



Aku merindukan waktu ketika tanganku belum berkenalan dengan papan ketik di komputer lipat.
Ketika yang kumaksud dengan menulis adalah menarikan pena di atas secarik kertas. 
Saat kata demi kata teruntai dalam bentuk coretan. 
Ketika masing-masing huruf ditulis, digoreskan dengan tinta membentuk huruf-huruf yang memiliki kepribadian. 
Membuka karakter bagi siapa siapa yang mampu menerkanya lewat tulisan tangan. 
Di waktu goresan demi goresan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk membuka rasa.
Membiarkan si sutradara menelurkan rangkaian selanjutnya, dari apa yang hendak ia ungkapkan.
Ketika menulis itu lajunya lebih lambat dari pesat dan berkelebatan ribuan gagasan di otak.

Selasa malam, 25 Agustus 2015.