Thursday, December 31, 2015

From Desperation to Miracles


It started with an istikharah prayer. After-graduation unemployedness for a 26 years old single guy like me is never easy. I got a degree right behind my name, a bachelor. A degree with which people expect me to do something great, yet I can only find myself begging for pity from anyone who would even have a bit of mercy to accept me as their employee. I applied here and there, sent my CVs everywhere, so many companies. The answers keep dragging my heart down.
Hesitating of what should I do, I finally come tou You, my dear Allah swt. I kneel down to you, after all those ridiculous sins I’ve made, all those countless mistakes I’ve done. I beg for Your Blessing, Your Mercy, Your Forgiveness, now I repent shamelessly in front of You. I still feel so stupid, even until now, as to why had I only come to You after all these problems? I’m a weak human indeed, O God. And You are the Almighty. I give up my life to you, to worship You and be nothing but worshipper of Allah, as this is the reason why You created us all, human beings.
Now I have my life in front of me, but indecision of what should I do with it. I can’t stay unemployed, yet I’m no good at doing business. I’m good at studying, and keep studying. And that’s what I’ve been doing. And now that I ask you what should I do, it seems like studying is the answer. I should study more, and even spread my knowledge all over the world, help people with what I know. I feel like I should even become a teacher.
But the frustration comes into desperation when I found myself doing things that I thought would be important yet I can’t provide any advantage for the society, for the people. I’m a teacher without student, I’m a learner with no practice, I have no chance and felt so useless.  I study materials, read and write articles, read books but there’s nothing I can do to implement all those knowledge. Also, my applications for those jobs must’ve been thrown away in a rubbish bin, because apparently I got no answer for months. Even a look in the eye from anyone looks like it’s telling me that I’m a jobless worthless sucker. Simply, I was depressed.
And when my confusion peaked up, I got answer from my istikharah question about what I should do with my life: I should get a scholarship. That’ll totally improve the situation. It’s like a blink of a light when I’m stuck in the pitch dark cave, crouching on a wall looking for a chance to stay alive. It’s been inside my heart, hiding, because I always look at university websites, campuses, university ranking for no reason. I’ve been dreaming about since… I don’t even know since when but I’ve always wanted to study abroad. It’s like the primary school version of me is telling me to make my dream come true.
Ever since I realize this goal, my ambition to study abroad has been resurfacing. It’s buried in a shallow grave, I know, but my desperation and frustration of being rejected from companies had always keeping me away from it. It’s not just that, but I also have that faith in me, that I will be able to struggle even the hardest I should to get this. That no matter how many obstacles lie on my pathway there, I would always be able to kick it away and make my way there. And You, Allah swt., that I trust You, that You’ll always be on my side, and I believe that everything will just gonna be alright, including this struggle over scholarship. That’s the time that I start to apply for scholarship again.
That day, August 18th 2015, I sent my application to many universities abroad, in many countries. In my count, I can only remember 20 or more. I remember that day precisely I was sitting on my nephew’s bench concentrating on my laptop since very early in the morning. I filled up forms, uploaded my documents, made personal statements and submit my application. New Zealand, Australia, Turkey, United Kingdom, Japan, China, literally everywhere. Literally to every university I’m interested in. At first I was so excited, but then the excitement slowly turned down and it came into boredom. Nevertheless, I kept going. It sounds silly but I have a faith in what I was doing.

Since then, miracles have come into my life endlessly. I started to feel much happier with my struggle, my heart was even calmer than it was before. I study consistently, with belief in my head that it’ll be advantageous. I struggle, yet I no longer feel desperate for the result. During my struggle over scholarship, I got a lot of help that I believe could only come from You dear Allah. Those are, the miracles I never thought I would have in my life. It’s like you put sticks and stones  away to clear up my path and reach my goal. If it isn’t You, it wouldn’t be possible. Looking back to where I was and how I felt back then, it feels like impossible. But then again I’m already here. It was amazing.

That’s the time that I fully submit my life to You dear Allah, that it started to change. I change the orientation of my life, giving up my entire life to only worship Allah and struggle for my religion. And I did, with Your Help, O Allah the Almighty. That’s the best decision I’ve ever taken in my whole life. I thank You for all these great achievements, for all these experience, opportunity, life, breathe, and every single thing You provide right here in front of me. I just can thank You enough for these blessing, these gifts. May I be Your servant for the rest of my life.

Friday, December 25, 2015

Seri Beasiswa LPDP: Beda Afirmasi dan BPI

Halo, pejuang beasiswa! =D


Halo, pejuang beasiswa! =D

Tulisan kedua tentang beasiswa LPDP ini akan menjawab pertanyaan beberapa orang teman yang kebetulan berminat melanjutkan studi lewat beasiswa LPDP. Tepatnya pertanyaan yang satu ini:

Apa sih bedanya Beasiswa Afirmasi sama Beasiswa Pendidikan Indonesia LPDP?

Buat yang sudah pengalaman ubek2 situsnya beasiswa LPDP, pasti sudah paham betul bagian yang mana pertanyaan ini. Di menu laman beasiswa LPDP, ada 2 macam beasiswa yang bikin orang bertanya yaitu afirmasi dan magister-doktor. Lha terus apa bedanya? Ini kudu ambil yang mana?

Sebenarnya, dua beasiswa LPDP ini memang beda. Perbedaan awal dari tujuan masing-masing. Beasiswa Pendidikan Indonesia atau BPI itu diberikan secara umum untuk semua golongan masyarakat, tujuannya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, memberikan pendidikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan dan memang unggul. Kalo afirmasi tujuannya buat menjangkau masyarakat yang seringkali termarjinalkan dan sangat membutuhkan pendidikan tinggi, juga untuk orang-orang yang sudah berjasa mengharumkan nama bangsa dengan macam-macam prestasi.

Dari tujuan itu pula, sasaran penerima kedua beasiswa itu berbeda. Kalau BPI, asalkan kita memang unggul dan memenuhi kriteria penerima beasiswa LPDP entah dari golongan mana pun, bisa lulus (dan ingat, beasiswa LPDP tidak mengenal sistem kuota untuk penerimanya). Jadi jangan heran, pendaftarnya puluhan ribu! Tahun 2015 setidaknya 50.000 pendaftar untuk kategori ini. Takut saingan sama temen sendiri? Jangan khawatir, tidak ada istilah saingan buat seleksi beasiswa LPDP. Yang ada cuma saingan sama diri sendiri. Iya betul, diri sendiri! So be the best version of yourself!

Kalau afirmasi, penerimanya terbatas dari beberapa golongan. Kategori pertama adalah penerima dari daerah 3T, singkatan dari terdepan, terluar dan tertinggal. Jadi LPDP sendiri punya daftar daerah-daerah yang termasuk di kategori 3T ini (http://www.lpdp.kemenkeu.go.id/wp-content/uploads/2015/07/Daftar-Daerah-3T-2015.pdf ). Nah, bagi siapa saja yang memenuhi syarat beasiswa LPDP dan berdomisili atau berasal dari daerah ini berarti masuk ke kategori penerima beasiswa yang satu ini. Kategori kedua berasal dari kelompok masyarakat berprestasi namun miskin secara ekonomi, seperti alumni beasiswa bidikmisi, yang memilih piagam penghargaan, punya banyak prestasi, dengan syarat IPK minimal 3,50. Kategori yang ketiga adalah orang-orang yang memiliki prestasi baik nasional maupun internasional.

Karena masing-masing kategori itu tadi perlu dibuktikan, syarat pendaftaran afirmasi secara birokrasi lebih rumit. Seleksi kedua kategori beasiswa berlangsung bersamaan, meskipun masing-masing pewawancara paham betul mana yang afirmasi dan mana yang BPI. Proses pendaftaran sama dengan BPI yaitu lewat formulir daring di laman beasiswa LPDP. Bedanya untuk afirmasi, ada dokumen-dokumen tambahan seperti surat keterangan tidak mampu, rekening listrik selama 3 bulan, surat keterangan penghasilan, surat domisili atau KTP dengan keterangan penduduk di daerah tertentu, dan dokumen lain yang relevan tergantung dari masing-masing kategori. Eits, jangan sedih dulu, pendaftar beasiswa afirmasi justru dimudahkan dengan rendahnya syarat minimal skor TOEFL untuk bisa lulus seleksi administratif. Kalau BPI mensyaratkan skor TOEFL 500 untuk dalam negeri dan 550 untuk luar negeri, beasiswa Afirmasi hanya membutuhkan skor yang relatif rendah, 400 untuk magister dan doktor dalam negeri serta 450 untuk magister dan doktor luar negeri.

Sebagai gantinya, penerima beasiswa Afirmasi nantinya bakal menjalani yang namanya Pengayaan Bahasa (PB). PB ini pun menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing penerima beasiswa. Kalau sekiranya nilainya sudah memenuhi syarat minimal penerimaan di universitas atau sudah diterima (dengan bukti surat penerimaan dari universitas), penerima diperbolehkan tidak mengikuti PB atau berhenti dari jalannya PB. Komponen pembiayaan untuk beasiswa Afirmasi juga sudah mencakup tunjangan biaya hidup selama menjalani PB di kota yang ditentukan. Lokasinya biasanya tergantung LPDP, a.ka rahasia perusahaan.

Persiapan Keberangkatan (PK) yang wajib dijalani semua penerima beasiswa LPDP, meskipun sama untuk afirmasi maupun BPI, tapi berbeda dalam beberapa hal. Penerima BPI bisa langsung mengikuti PK, sedangkan penerima beasiswa afirmasi umumnya harus menunggu PB sebelum bisa mengikuti PK. Kasus khusus untuk penerima beasiswa afirmasi yang sudah memenuhi syarat bahasa, boleh langsung mengajukan PK. Selain itu, pengumuman PK untuk BPI biasanya diberikan 1 minggu setelah pengumuman kelulusan beasiswa. Untuk afirmasi, informasi tentang PB baru diberikan 2 bulan pasca-pengumuman kelulusan, jadi PK untuk afirmasi cenderung mundur beberapa bulan. Soal proses PK, kurang lebih sama baik untuk BPI maupun afirmasi.

Secara garis besar, Afirmasi dan BPI hanya berbeda dari segi penerimanya, syarat bahasa dan keberadaan PB. Tapi intinya, yang namanya perjuangan beasiswa itu tidak ada yang semudah membalikkan telapak tangan. Yang pasti, pontang panting untuk persyaratan itu pastinya tidak bisa terelakkan. Makanya, mari berjuang! =D


There’s no failure in this life, only those who give up too soon.

Thursday, December 10, 2015

Seri Beasiswa LPDP: On the Spot Essay



Selamat pagi, pejuang beasiswa!

Kali ini sapaan sengaja saya tulis seperti ini, karena saya yakin betul sekarang ini anda-anda sekalian yang sedang membaca tulisan kecil ini adalah para pejuang beasiswa yang sedang berkutat menghadapi ujian LPDP. Jangan khawatir, njenengan tidak salah tempat. Tulisan ini memang secara khusus didedikasikan untuk teman-teman semua dari seluruh penjuru Indonesia yang tengah berharap-harap cemas menantikan seleski Beasiswa LPDP, baik Afirmasi maupun Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI).
       Lebih khusus lagi, artikel ini akan membahas mengenai satu model seleksi baru untuk menyaring penerima beasiswa LPDP yang dilaksanakan kedua kali pada periode 4 tahun 2015 yaitu, jeng jeng jeng… seleksi penulisan esai. Model seleksi baru ini sudah diumumkan sejak periode pertama tahun 2015, dan sejujurnya tidak se-menyeramkan yang banyak dikira. Waktu itu, saya lihat reaksi banyak pendaftar sepertinya begitu heboh, dan kemudian banyak yang bersegera mendaftar untuk menghindari proses yang satu ini. Saya rasa, tidak perlu menanggapi begitu paranoid, toh saya yang baru saja melewati proses itu seminggu lalu pun insyaAllah baik-baik saja.
        Tujuan dari seleksi esai ini ya betul-betul menguji kemampuan akademis si calon penerima beasiswa LPDP. Kita nantinya (kalau benar-benar lolos dan berangkat) diharapkan akan memberikan kontribusi untuk Indonesia, dan sudah sewajarnya memiliki kesiapan akademik yang matang, termasuk di antaranya kemampuan menyampaikan pendapat dan menjelaskan dalam bentuk tulisan. Aspek kemampuan menulis menjadi penting mengingat kemampuan orang berkomunikasi itu bervariasi, ada yang secara lisan lancar namun ada yang tidak bisa berkutik ketika harus berbicara di depan khalayak, tapi punya kecerdasan yang mengagumkan. Nah, celah inilah yang bisa dimanfaatkan si orang tersebut, sekaligus biar panitia seleksi beasiswa LPDP gak kecolongan karena salah strategi. Jadi orang yang betul-betul berkualitas bisa tersaring. Pelajaran ini saya dapatkan karena salah satu rekan saya satu tim waktu seleksi juga memiliki kendala dalam menyampaikan pendapat, tapi hasil karyanya betul-betul menakjubkan. Jadi kalau njenengan nggak terlalu bisa ngomong, jangan khawatir, ini kesempatan anda!
       Teknis penulisan ini sebenarnya sederhana. Kalau anda pernah mengikuti Test of Writing English di TOEFL atau IELTS, pasti paham dengan model seleksi penulisan esai ini. Waktu seleksi penulisan ini adalah 20 menit sebelum LGD, dan dilaksanakan selama 30 menit. Iya, cuma 30 menit! Aturannya pun mudah, tidak ada kertas atau alat tulis lain selain pena dan papan jalan (sebelumnya sudah diumumkan di undangan seleksi substantif yang dikirimkan ke surel masing-masing, makanya baca surelnya harus lengkap, gak boleh main-main!). Satu kelompok esai terdiri dari sekitar 20 orang yang nantinya duduk di ruang kelas dengan satu meja dengan selembar soal di atasnya (dan pastinya ada kursinya), dipandu seorang pembimbing di dalam ruangan. Pembimbing ini akan menjelaskan aturan penulisan esai, dan menghitung pelaksanaan esai selama 30 menit. Selain itu, selama proses penulisan esai, pembimbing juga akan memberitahukan waktu yang tersisa untuk menulis. Peringatan diberikan setelah berjalan 15 menit, sisa 10 menit, sisa 5 menit serta 1 menit. Karena selama seleksi penulisan esai ini tidak diperbolehkan membawa kertas lain atau mencorart-coret lembar soal, peserta bisa menulis gagasan di kartu peserta yang sudah dicetak sebelumnya.
          Soal esai terdiri dari 2 pilihan, yang keduanya terkait dengan isu tertentu terutama yang terkini. Dari savitriadelia.blogspot.co.id, saya dapat informasi kalau tema seleksi penulisan esai adalah sebelumnya adalah (1) revolusi mental yang digagas Presiden Jokowi dan (2) bonus demografi; sebuah tantangan ataukah bencana? Sedangkan di periode 4 tahun 2015 sewaktu saya mengikuti seleksi, tema pertama berkaitan dengan tantangan globalisasi, bagaimana peluang bagi Indonesia untuk memanfaatkannya dan bagaimana ancaman globalisasi terhadap budaya lokal, serta yang kedua yaitu tentang pola pengasuhan orang tua terutama yang berkaitan dengan perilaku seksual anak. Dari kedua tema, kita kemudian diminta untuk memilih salah satu topik kemudian menuliskan pendapat kita sesuai tema. Ada 3 kriteria penilaian yaitu struktur tata bahasa, orisinalitas ide atau gagasan anda dan sistematika penulisan, keterkaitan antar paragraf.
             Menulis dalam waktu singkat dan dengan gagasan yang bisa terbatas atau bisa juga melimpah itu betul-betul sebuah tantangan. Kalau kita punya banyak gagasan, biasanya justru akan bingung karena harus memilah mana yang tepat dan mengangkat nilai. Kalau miskin ide, nanti jadinya esai akan meluber dan hanya berputar di satu gagasan inti tapi dijelaskan panjang lebar tinggi dan kemana-mana, malah terlihat tidak efektif. Kalau kita sudah punya gagasan, lebih baik difokuskan pada menjawab pertanyaan tema yang sudah disediakan. Lalu gagasan bisa diurutkan seperti membuat skripsi, mulai dari pendahuluan, tinjauan pustaka, lalu pembahasan dan kesimpulan. Yang penting, antar paragraf nyambung satu sama lain. Selain itu, kita bisa buat penjelasan yang singkat, padat dan jelas. Waktu 30 menit untuk menulis itu benar-benar sebentar saja, jadi lebih baik kalau gagasan yang disampaikan tidak terlalu banyak tapi padat dan rinci.
           Terkait dengan tema, memang gampang-gampang susah. Kalau kita beruntung, tema yang kita dapatkan bisa jadi sesuai dengan studi kita dan itu kan gak masalah. Apesnya kalau kita sama sekali tidak tahu menahu tema tersebut. Untungnya, setidaknya kita bisa memilih 2 tema yang tersedia. Persiapan untuk seleksi ini ya pastinya memperbarui informasi dari macam-macam sumber, bisa koran (asal dibaca), atau berita on-line (yang nyambung dan relevan, bukan gosip seleb). Berita-beritanya juga yang memang menyedot perhatian publik, banyak didiskusikan, bisa jadi diomongin bapak-bapak PNS yang lagi nongkrong di warteg mau sarapan, atau tukang ojek yang lagi mangkal. Isu yang diangkat biasanya kontroversial, banyak memicu perdebatan dan memang lagi hot-hotnya.  
Kalau sudah, coba kita analisis kasus itu dengan sudut pandang sendiri. Beberapa teman mengaku sempat bingung karena studi kasus tidak ada hubungannya dengan studi, misalnya studi teknik geodesi sedangkan temanya kontroversi hukuman kebiri, kan gak ada sangkut pautnya berroohh. Nah kalau sudah begini, pakai saja perspektif pribadi. Dan jangan khawatir ini tidak nyambung, semua orang pasti punya hati nurani dan akal budi, yang pastinya masih bisa dipake buat mikir. Semua orang itu pasti punya perspektif yang unik, tergantung bagaimana kita menjelajahi lebih dalam pendapat kita sendiri.
Proses menulis esai umumnya berjalan dengan tertib. Sedari awal seleksi saya belum pernah mendengar ada kecurangan yang dilakukan peserta seleksi. Selain ada pemandu yang selalu berkeliling dan membantu peserta, saya pikir masing-masing peserta seleksi juga memiliki kesadaran yang tinggi kalau ini adalah seleksi untuk memilih calon pemimpin bangsa. Jadi kalau sedikit saja ada pikiran berbuat curang di benak calon pemimpin bangsa, terus bagaimana nasib bangsanya nanti? Maka dari itu, kecurangan dalam bentuk apapun benar-benar bukan solusi.
Kalau sudah selesai esai, ya mari kita berdoa saja. Sekarang pun saya sedang berdoa tanpa henti agar diberi kemudahan. Sekarang ini saya sedang menanti pengumuman, nanti tanggal 10 Desember 2015 diumumkan dan insyaAllah saya posting tulisan ini. Semoga bermanfaat. :)


Thursday, November 26, 2015

Change The World

Everyone is determined to execute one specific huge job altogether with their existence. God sent humans to do something for the world, one task that they're gonna do whether they realize that or not: to become a betterment for the world. This particular person is created for this job, he/she would be perfect for this duty. Her/his character, personality, brain, physical appearances, may be even nose, their lumbar support, their hypothalamus, every single aspect in their life are made to fit this one particular duty. 

Why would I think so?

See, everybody who has faith will agree that God is the Almighty. God is our Creator, and therefore God creates us, humans, and also animals, planets, plants, rains, sun, galaxies, empty space, black hole, cells, pimples, because God is the one who manages the operation of this whole world. And humans are different than any other creatures because we have thoughts in our head, we can think, unlike plants and animals. Yes, they have instincts and empirically they have brains
but we admit that their brains would differ greatly than us regarding its performance and capability. Those who don't believe in God would say otherwise, but let's answer these questions.

Were you exist for nothing? Would be born to this world full of complicated things, in vain? With your specific setting you had in your body and soul, do you really think that you're useless and would do nothing after your birth to the world? Why would you have to be born then, we could just kill you when you were born if we knew that you're gonna do nothing for this world.

But no, we are someone really unique, and there must be something we were meant to be. 

In order for this duty to be achieved, there will be obstacles. Weaknesses would be inevitable, because a person can never be perfect, only God can be perfect. These weaknesses are the ones that sometimes cover their perfection for their determined job.

Humans are created with feelings, and sometimes because of frail feeling, they feel down. During their journey to understand what they aimed to be, to experience a slip is totally normal. Everybody would experience that during their lifetime. It is normal, in fact it is in our brain, research says, that we would feel down, without self-esteem, useless and even feel like nobody.

When we feel that way, let's just remember that we were born for some reason. We were born to do something in this world, and we have to achieve that. No matter what obstacles there are, no matter what people say, cause most of time people don't understand what's inside, they just commented on what they see. So be deaf and blind to their downgrading comments, step ahead and lead your world to your future success. Because you are determined, to change the world.

Tuesday, November 3, 2015

Bismillah Sekolah Lagi

Aku ki embuh. Persiapan beasiswa ketone kok akehe nemen. Tapi insyaAllah diparingi dalan karo gustine, insyaAllah. Sing maringi urip ki nduwe hadiah kanggo wong sing gelem ubet. Yen aku ubet, aku mumet, pancen, ning yo selamet. Yen rak tak uber, aku sing mengko keblinger, bar mengko pas wawancara dadi keder. Gusti Allah, Panjenengan ingkang gadhah urip. Kula mboten wantun menapa2 kaliyan Panjenengan. Kok ya ra sembada, diwenehi urip kok kakehan ngguaya. Lha apa aku ki wes sangar apa?




Friday, October 9, 2015

Pilihan-Nya

Ak berdiri di persimpangan kehidupan, kali ini di jalan-Nya yang sudah aku upayakan sedemikian rupa agar tidak melenceng, biar pun aku masih terperosok di lubang yang aku buat sendiri beberapa kali. Seperti tadi malam, yang aku terus saja tidur, lalai pada kewajibanku menemui-Nya sebelum berangkat ke pulau kasur. Benar saja, bangunku kesiangan.

Ada dua jalan yang ada di hadapanku, yang landai dan yang terjal. Aku melihat si terjal ini akan mengorbankan banyak hal, baik dari diriku maupun dari orang di sekitarku. Tapi si terjal ini memang memiliki pemandangan yang luar biasa indah di depannya, akan memperbaiki masa depanku dan aku akan hidup enak di sana. Aku berjuang untuk keduanya, toh ini sudah jalan yang aku pilih. Si terjal memiliki gerbang yang sulit dibuka, tapi bukan tidak mungkin. Beberapa gerbang ia miliki, tapi setidaknya ketika aku sudah membuka gerbang pertama, gerbang kemudiannya akan semakin terbuka. Dan aku buka si gerbang pertama ini, lalu aku di sambut.

Tidak aku lihat ada kesempatan aku bisa membuka gerbang kedua, aku berpaling. Aku pikir, aku akan pilih jalan yang biasa saja, yang landai dan pemandangannya pun sama indah. Tujuan ke depannya indah, hanya saja yang ini keindahannya ada pada kesederhanaan dan kebersahajaan. Aku pun menyukai hal itu, pemandangan indah yang biarpun banyak ditemui tapi tetap saja unik dan tidak bisa ditemukan di tempat lainnya. Aku berniat meminta si penunjuk jalan yang adalah kerabat, untuk menuntunku. Aku pikir, nantinya aku pun akan bersamanya dan menghabiskan waktu di perhentian yang juga disiapkan oleh saudaraku ini. Aku akan membantunya, untuk kepentingan rumah tangganya. Dan aku siap untuk itu, ini pilihanku.

Ada yang berkata lain rupanya. Aku bertemu kerabat ilmuwan. Kepada si ilmuwan ini aku bercerita hendak mengikuti jalan landai, biarpun aku tahu aku sudah diterima di jalan yang terjal. Sang ilmuwan berkeras, aku harus ambil jalan terjal. Akan ada nama baik dan kebaikan yang lebih lebih lagi jika aku mengikuti jalan yang tampak menanjak tapi menjanjikan kebesaran dan keagungan yang lebih. Aku sesungguhnya tidak benar-benar berharap, aku melamar untuk membuka gerbang jalan terjal hanya sekadar iseng belaka. Biarpun dalam hati aku sangat ingin dan bersemangat untuk mendaki terjalnya jalan ini, aku membuang pikiran muluk untuk mampu memandang keindahan si terjal nun jauh di sana. Tapi si ilmuwan berkeras, dan ia kembali membukakan gerbang terjal yang pertama, untukku. Ah nanti jika aku benar-benar sampai di ujung pendakian, dialah yang pertama harus aku persembahkan terima kasih yang setulus dan sebesar hati.

Sekarang ini, aku sedang mendaki. Pendakian terjal menuju puncak, yang nantinya masih terus menanjak lagi. Tapi pemandangan dari atas sana, semakin tinggi semakin indah, biar pun resiko jatuh dan sakit hati pun semakin dalam. Sekarang ini, aku mendaki dengan dibantu banyak tangan. Aku heran dari mana datangnya tangan-tangan ini, tapi banyak sekali. Doa-doa, bantuan demi bantuan, ketulusan demi ketulusan, kebaikan hati mereka yang membantu, sedikit demi sedikit tapi mendorongku semakin naik. Aku sedang menapaki satu per satu pijakan di tebing terjal menuju puncak. Dan aku yakin akan mampu sampai di puncak dengan selamat, memandangi indah dunia. 

Yang aku tak boleh lupa, ketika aku berada di atas nanti, aku tak boleh melupakan tangan demi tangan yang menopangku tadi. Karena mereka itulah yang bersatu mengangkatku semakin ke atas. Aku harus memberi manfaat bagi mereka, bahkan bagi semuanya. Bagi semua khalayak, agar perjuangan tangan-tangan tadi tidak sia-sia belaka. Aku harus membawakan mereka kue manfaat, yang nanti bisa mereka kecap manis dan legitnya di kemudian hari, sadar bahwa aku begini atas perjuangan mereka pula. Kalau aku sombong, harusnya aku malu karena terlalu banyak yang membantu, ini bukan sejatinya hanya perjuanganku sendiri tapi banyak orang yang lain. Dan lagi, ini bukan milikku, tapi atas pertolongan-Nya. Aku hanya numpang lewat di puncak jalan terjal itu.

Yang utama yang bisa membantuku adalah Dia yang berada di ujung sana. Dia yang membuatku, dia yang menentukan jalan mana yang seperti apa nantinya. Aku berniat, berencana sedemikian rupa. Tapi nantinya ia yang tahu mana yang akan dan harus aku jalani. Jika jalan yang aku wajib lalui adalah yang terjal, maka kepada-Nya pula aku memohon kekuatan untuk tetap bertahan di jalannya dan tidak melenceng kemana pun agar aku tidak tersesat dan jatuh ke lubang yang sama, seperti yang dahulu itu. Aku memohon dengan kerendahan diri dan hati untuk pertolongan-Nya. Karena hanya dengan pertolongan-Nya aku akan selamat. 

Dan nanti ketika memang aku tidak mampu mendaki puncak, aku akan turun dan kembali ke jalan landai. Mereka yang sudah dengan tangan terbuka menerimaku, yang mengagumiku dengan kesederhanaanku dan diriku yang bukan apa-apa. Akan berbakti kepada mereka dengan setulus dan sepenuh hatiku.


Tapi sekarang, demi khalayak yang lebih banyak, demi tangan-tangan yang begitu bersemangat mendorongku, demi dunia dan negeriku, agamaku, dan diriku yang lebih baik. Perjuangan akan terus berjalan, dengan semangat yang berapi-api. Dengan kerendahan hati. Dan dengan pertolongan-Mu. Yang aku selalu doakan, semoga ini pun pilihan-Mu bagiku.

Saturday, August 29, 2015

Sang Singa dan Pemiliknya


Ada singa hati di kebun jiwaku yang merasa janggal. Singa yang mengaum minta makan, makanannya berupa kehangatan cinta. Tapi si empunya hati enggan memberinya makan, toh puasa pun tidak mengapa. Ada asupan cinta yang cukup, tidak berlebihan dari apa yang seharusnya. Dulu pernah ada asupan yang berlebih, yang membuat singaku menagih. Perut yang sudah terlanjur melebar, lalu minta dipenuhi. Karena itulah rasanya janggal, karena ada rongga yang kosong. Maka itulah si singa menggeram, karena nalurinya hanya minta makan.

Suatu kali dahulu ada yang menawarkan diri hendak memberinya makan. Diberi makan dengan besaran yang tak terkira. Aku sendiri ternganga dengan melimpahnya apa yang ia tawarkan. Ketika aku mengiyakan, sejenak semua berlangsung baik-baik saja dan singaku makan dengan lahapnya. Aku pun senang bukan main melihatnya bahagia.

Ketika perutnya penuh, ia justru malas tak bergerak. Hidupnya jadi begitu-begitu saja, tidak menarik. Aku melihatnya, bosan dan menjenuhkan. Jemu sudah makan dan makan terus, seolah tak ada yang lain bisa dilakukan. Kalau lupa sedikit diberi makan, lengah sedikit ia mengeluh. Ia jadi mudah mengeluh, dirinya jadi lemah. Ia sudah jadi begitu terbiasa dan tergantung dengan makanan melimpahnya.

Si pemberi makan tadi lalu pergi. Pamit dengan alasan, akan lebih baik bagi si singa untuk terbiasa berjuang untuk apa yang ia hendaki. Kalau begitu untuk apa ia memberi makan si singa dengan sebesar itu, bikin tergantung dan bikin menagih saja.

Begitu aku tak mampu memberi sang singa makan sebanyak yang ia mau, ia meronta-ronta minta lebih. Aku punya yang seadanya, ia mengamuk tak keruan. Meraung suaranya, aku hanya bisa miris dan iba. Tapi aku bisa apa, menuntut apa gunanya, karena ia sudah enyah siapa si pemberi makan tadi. Memohon merengek seperti apapun tak bisa.

Tapi aku si empunya, aku yang memelihara, aku yang memberinya makan, aku yang mengendalikannya. Sekarang yang aku bisa, membiarkannya berdiri dengan kekuatan sepenuhnya tanpa pikir tentang seberapa banyak asupannya. Ia jadi tampak terbiasa dengan lapar, tapi tetap tangguh berdiri di terjang deru kesulitan. Ia sudah melewati masa jatuhnya, sekarang sudah berdiri tegap lagi.

Kuatlah wahai singa. Ada angin siap menerpa, lumpur siap menghasut, dan badai di hadapan. Untuk itulah aku menolak kembali setiap tawaran pemberi makan. Pagar aku buat biar si singa aman, bukan untuk menghalangi kebaikan orang. Demi kebaikannya, demi kekuatannya. Agar si singa mengaum lebih kuat lagi.

Sunday, August 16, 2015

Nyebut!

Bokongmu leh jengkang jengking ruku, ning yo mbok nggo lungguh ning keplekan
Bathukmu leh mbok gasrukke nang njubin, ning yo njerone pikir ngalor ngidul
Drijimu leh methungul siji nyambi tahiyat, mbok nggo nylempitke cepekan
Jaremu ben lanyah urusan
Lambemu komat kamit maca fatihah, nanging metu ngomah nyebar fitnah
Lha karepmu ki piye?
Ben ngono penjalukanmu kok kakehan ra trimo
Iso ambegan wae sukur
Sujud le sujud, ora sah kakehan ribut
Ben ning nraka kowe ra katut, karo Gusti kudu manut
Uripmu ki mung nunut!



Friday, August 14, 2015

Suatu Jumat

Selasar masjid ini senyap. Ratusan lelaki sedang berdiri di sini, semuanya dalam diam. Hanya sayup-sayup suara imam yang melantunkan Al A’laa, terdengar perlahan tapi tartil. Indah, pikirku.
Lembut bayu mendayu di tengkuk, menguarkan syahdu. Dari kebun samping masjid, sepoi berdesir menadakan lagu alam. Suara riuh ranting bambu yang dibelai angin mengiringi lantunan Al Qur’an.
Aku bisa melihat dari delik mataku, barisan orang-orang yang membentuk shaf begitu apik. Shafnya tertata rapi seperti tonggak-tonggak penyangga istana yang ditata sedemikian rupa.  Semuanya tertunduk malu dihadapan-Nya, mendekapkan tangan kuat di dada masing-masing. Kami sedang mengingat-Nya, bermunajat kepada-Nya, memohon ampun dan berdoa kepada-Nya. Memohon untuk kini dan nanti.

Pada hari ini, dari tujuh yang Kau berikan untuk kami.

Thursday, August 13, 2015

Sepotong Firdaus di Gulingan


Pagi yang aku sudah nantikan akhirnya datang juga. Ini dia hari H yang aku rencanakan beberapa minggu sebelum lebaran, yang berarti lebih dari sebulan yang lalu. Bergegas keluar, hari ini langit Grobogan cerah betul. Semoga secerah ini pula pengalaman hari ini.
            Hari ini menurut rencanaku adalah hari penjelajahan kecil ke Gulingan. Gulingan adalah nama air terjun yang letaknya tak jauh dari rumah, hanya sekitar 6 kilometer. Bisa jadi karena aku enggan berangkat sendirian atau karena malu jika berkunjung tanpa teman, aku memutuskan mengundang rekanku ke air terjun yang baru beberapa waktu lalu populer itu. Aku dan seorang rekan bernama Arvian, yang sekarang ini sedang belajar Budidaya Perikanan di Undip, bersepakat meluangkan waktu kami hari ini, Sabtu 8 Agustus 2015 untuk menilik lebih dekat seperti apa tempat wisata yang sempat menjadi buah bibir beberapa waktu belakangan di dunia maya.
            Sebenarnya aku berjanji jam 06.30 berangkat dari rumahku di Grobogan ke rumah Arvian, yang sebetulnya lebih dekat dengan lokasi air terjun di Desa Sedayu, Kecamatan Grobogan. Rumah Arvian berada di Desa Menduran, Kecamatan Brati, yang lokasinya justru menempel tepat di tepi kota Purwodadi. Jarak rumah kami sekitar 6 kilometer dan karena kebetulan Arvian punya kendala terkait transportasi, jadi aku yang kali ini menjemputnya. Yah, kebiasaan jam karet memang tidak bisa sepenuhnya lepas dariku, jadi ya maklum saja, aku baru berangkat jam 07.00 WIB dan bertemu Arvian setengah jam berikutnya. Dari sinilah perjalanan kecil kami dimulai.
            Menjangkau lokasi air terjun Gulingan tidaklah sesulit yang diperkirakan, meskipun letaknya di kaki pegunungan Kendeng Utara. Dari kota Purwodadi, jaraknya sekitar 15 kilometer ke arah utara mengikuti jalur utama menuju kabupaten Pati. Jalan ini sudah dibeton rabat, meskipun beberapa titik masih dalam proses betonisasi. Jalannya pun datar sampai di kota kecamatan Grobogan, kemudian menanjak dengan beberapa kali turunan dan belokan tajam menuju kawasan pegunungan. Jika dijangkau dari arah Pati, lokasi ini tidak jauh dari desa Sumberjatipohon yang tepat berbatasan dengan kecamatan Sukolilo, kabupaten Pati. Ketika memasuki desa Sumberjatipohon, coba pelankan kendaraan dan perhatikan tanda petunjuk di sekitar atau lebih baik lagi bertanya kepada penduduk sekitar mengenai lokasi Dusun Sandi ini.
Lokasi tikungan pertigaan menuju ke Dusun Sandi, Desa Sedayu ini memang agak sulit dikenali. Tikungan ini berjarak beberapa ratus meter sebelum jalan masuk menuju Gua Lawa dan Gua Macan (dari arah Purwodadi), tempat wisata lain yang juga berada di kawasan pegunungan Kendeng Utara. Pertigaan ini ditandai dengan tugu kecil di ujung jalan, yang berada di tikungan tajam berbentuk L yang juga merupakan tanjakan. Motorku sempat kewalahan mengangkat berat kami berdua ketika mulai mendaratkan roda di jalan berbatu. Ya, jalan masuk menuju desa Sedayu ini sedikit berbatu di ujungnya dan ada pos ojek di satu sisi. Karena sempat ragu, kami pun bertanya kepada salah satu bapak ojek yang kebetulan sedang menunggu pelanggan di pos. Ramah, mereka membenarkan bahwa jalan ini memang betul menuju desa Sedayu. Kami pun melanjutkan.
            Jalan menuju lokasi pun layak dinikmati. Dari pertigaan tadi, jalan yang kami lalui sudah sepenuhnya beton rabat dengan sambungan berupa jalan bebatuan di beberapa titik. Meskipun jalanannya penuh tanjakan, turunan dan tikungan tajam, tapi pemandangan sepanjang perjalanan betul-betul mengundang decak kagum. Lebar jalan sekitar empat meter melewati pemukiman khas pedesaan kabupaten Grobogan yang masih tradisional. Rumah di kanan kiri jalan sebagian besar dibangun dari kayu dengan arsitektur lokal yang masih dijaga. Kami juga melewati ladang jagung serta kebun jati milik warga. Suasananya memang kering, tapi kami disajikan pandangan memikat di sebelah kiri, cakrawala yang membentang seolah tanpa batas. Di sebelah kanan, pegunungan karst yang menjulang tidak terlalu tinggi, tapi lebat dengan pepohonan jati.
            Ada setidaknya 2 tantangan yang harus dihadapi menuju lokasi air terjun: kendali kendaraan dan pertemuan dengan persimpangan. Turunan dan tanjakan di sepanjang jalan sangat menantang. Di beberapa tempat, motorku (yang memang sudah lapuk dan tua) harus digenjot di gigi 1 agar kuat menahan berat kami melawan curamnya jalan. Saat turunan pun tangan harus siap menggenggam rem, jadi rem kendaraan yang sehat mutlak diperlukan.
Nah, selain itu beberapa persimpangan dengan jalan yang juga sudah dibeton sempat membuat bingung. Beberapa kali kami bertanya, penduduk hanya bilang masih terus saja. Tanda menuju lokasi memang masih minim dan tidak cukup jelas, selain karena faktor kesalahan kami yang sedang asyik ngobrol sepanjang jalan. Ketika kami terus saja sampai di jalan berbatu dan terus saja sampai di tengah persawahan negeri antah berantah, mulailah kami khawatir dengan arah perjalanan. Untungnya si bapak yang sedang berkutat dengan pipa irigasi bersedia rehat sebentar menunjukkan kami “jalan yang benar.” Memang sebenarnya kami hanya perlu mengikuti jalan rabat beton yang sudah berkualitas itu.
Lokasi tempat memarkirkan kendaraan berada di belakang pemukiman warga. Areal parkir ini berada di kaki bukit tandus yang ditanami jati. Mas-mas parkir itu bilang kalau masih ada perjalanan sekitar 20 menit menuju lokasi yang kami harus tempuh dengan berjalan kaki. Kali ini musim kemarau dan sengatan matahari bisa jadi sangat panas. Baiklah, memang sudah diperkirakan sebelumnya, untuk itulah kami berangkat sepagi mungkin.
Jalan setapak menuju air terjun memanjakan kami dengan cantiknya pegunungan karst khas Grobogan. Tanah kapur ini kering dan penuh dengan bebatuan kapur/padas berwarna kuning pucat yang keras dan berbutiran besar (ilmu yang aku dapat dari kuliah mekanika tanah). Meskipun tidak cocok untuk lahan pertanian seperti tanah di pulau Jawa pada umumnya, jenis tanah ini bagus untuk beberapa jenis tanaman seperti pohon jati dan tanaman ladang seperti jagung. Dan memang awal perjalanan kami di jalan setapak ini disambut dengan kebun jati milik Perhutani Grobogan. Tipikal kebun jati yang kering ini bersebelahan dengan ladang jagung yang dibuat terasering. Uniknya, tepian masing-masing petak yang menyusun terasering terbuat dari batuan padas yang ditata sedemikian rupa sehingga membentuk petak-petak ladang berundak yang menyelimuti bukit kering. Karena keringnya, jika diperhatikan batuan padas ini tampak terbakar di bagian luar, namun tetap berwarna putih kekuningan di bagian yang tidak terpapar sinar matahari.
Semakin menanjak, atmosfer jalan setapak yang kami lalui semakin mempesona. Jalan setapak yang menuntun kami ini berdampingan dengan jurang dalam di sebelah kanan dan bukit di sebelah kirinya, serta hanya memiliki lebih kurang dan lebihnya dua meter. Panas matahari pagi segera hilang oleh hembusan angin sepoi yang benar-benar menyejukkan. Dalam diam, kami pun bisa merasakan hening suara alam. Dari jalan setapak di lereng perbukitan terjal nan kering ini, kami bisa menyapukan pandangan dengan lepas ke seluruh penjuru cakrawala yang membentang di sebelah selatan. Langit seperti menyatu dengan bumi, entah di sebelah mana. Di kaki langit, hanya ada hijau permadani hutan dan persawahan. Bernapas disini serasa menghirup angin kebebasan.
Ketika mulai berkeringat, kami tiba di bukit yang menyembunyikan lembah hijau di balik punggungnya. Lembah ini tampak seperti anomali di tengah gersangnya lahan pertanian di sekitarnya. Di satu tebing yang berada di ujung lembah inilah bersarang 3 air terjun yang oleh warga disebut dengan nama Gulingan. Menuruni bukit, rupanya jalan setapak sempit ini berujung pada gerbang kecil yang terbuat dari kayu, dan terkunci. Kami tadinya bingung karena gembok gerbang ini masih terpasang dan tentunya kami masih punya etika sopan santun. Tapi toh kami cari tak ada satu pun penjaga yang menampakkan batang hidungnya, kami pun sudah sampai di lokasi ini dengan jerih payah, maka kami putuskan untuk menerobos sela kecil di samping kiri gerbang yang menggantung tepat di atas jurang. Et voi la, kami masuk di area wisata.
Aku menyebutnya firdaus hehijauan yang tersembunyi di tengah gersangnya bukit kapur. Sampai di lokasi, kami duduk di dipan bambu sederhana memandangi hamparan hijau di hadapan kami sembari mengambil napas dan meneguk barang segelas. Tempat ini jelas sudah ditata meskipun sederhana, ada gubuk kecil dari anyaman bambu di samping dipan tempat kami duduk. Benar saja, selang beberapa menit kami tiba, kami disambut si bapak yang kemudian membuka gembok gerbang yang tadi kami terobos. Duduk di samping kami, bapak ini kemudian meminta maaf karena terlambat datang dan didahului pengunjung (yaitu kami berdua).
Aku mulai berbincang dengan bapak penjaga ini ketika Arvian berjalan turun menelusuri air terjun. Bapak inilah yang menjaga sekaligus merawat lokasi wisata. Tak mahal, hanya perlu membayar Rp 2.000,00 untuk kami berdua, yang artinya justru lebih murah dari biaya parkir kendaraan kami tadi. “Untuk biaya perawatan, hanya sekadarnya” ujar si Bapak menjelaskan. Rupanya kami datang di saat air memang sedang surut pada musim kemarau bulan Agustus seperti ini. Bapak penjaga pun membenarkan, mengingat sebagian air yang mengalir dari atas pun harus dialihkan untuk mengairi ladang jagung milik beberapa warga. Sempat kecewa, namun kami belum menyerah untuk menikmati si eksotik Gulingan ini.
 Benar saja, atmosfer alam Gulingan yang tenang memang benar memanjakan. Kami dihadapkan pada gagahnya 3 air terjun yang mengalir menuju kolam di hadapan kami. Yang pertama dapat dilihat dari kejauhan karena memang paling besar dan tidak tertutup pepohonan. Berlatar belakang endapan kapur mengeras yang dibawa aliran air dari tanah karst, di depan air terjun pertama terdapat sebuah jembatan kayu yang menghubungkan dua batu yang dibelah aliran air membentuk air terjun kecil lain di bawahnya. Mendekati air terjun kedua, rindang semakin terasa. Berhadapan dengan sebongkah batu besar serta taman kecil tepat di depannya, airnya jatuh ke dalam sebuah kolam yang dialiri sungai kecil dari air terjun pertama dan terhubung dengan kolam air terjun di sebelahnya. Kami berlindung di bawah rindang pepohonan, disinari matahari yang mengintip dari balik dedaunan.
Hening, ketika kami menghayati ketenangan di Gulingan. Gemercik air menadakan lagu alam, musik yang melantun merilekskan otak dari penat. Titik-titik air menyejukkan, dihembus angin yang membelai lembut. Suara dedaunan yang bergesekan dan sayup-sayup mentari yang malu menyapa. Pandangan kami pun lepas jauh ke ujung pemandangan, menegaskan kebebasan. Ketika aku bersandar di bangku kayu, aku mulai terantuk pelan, terhanyut sunyi dan damai. Tenang, ujar Arvian, yang memang aku akui benar adanya.
Sejenak kami menikmati sekadar duduk-duduk di taman buatan tangan pak penjaga ini. Tempat duduk yang terbuat dari bambu, dahan salak dan papan kayu dibuat di sana sini menghadap air terjun. Rasanya seperti sedang berada di dalam adegan film Tarzan di tengah rimba belantara yang segala sesuatunya terbuat dari bahan alam. Semua perlengkapan di sini terbuat dari kayu. Kami berbincang tentang absennya perhatian pemerintah terhadap obyek wisata yang satu ini. Bukankah itu lebih baik, setidaknya rasa tradisional dan tanpa sentuhan artifisial justru menjaga syahdu bertahan di tempat ini. Tidak ada semen atau bata yang menutup tanah, tidak ada perabotan plastik atau PVC, segala sesuatu yang sintetis. Semuanya dibuat dari bahan alam yang bisa lapuk, highly biodegradable, menurut istilah pengelolaan lingkungan. Justru kealamian berbaur tradisional yang tanpa sentuhan artifisial inilah yang menjadi daya tarik Gulingan yang tiada duanya.
Fasilitas di sini pun lengkap dan dibuat hanya dengan bahan alam. Di balik pepohonan salak, ada satu gazebo yang menggantung di puncak tebing dengan pemandangan menakjubkan. Tempat ini terbuat dari anyaman bambu dan dinaungi dedaunan ini rupanya tempat sholat bagi yang hendak menjalankan ibadah di lokasi. Di sudut yang agak gelap terdapat sebuah bilik sederhana yang terlindung cukup rapat tempat pengunjung mengganti pakaian. Bahkan di kedai yang tadi masih tutup, ada beberapa kaos cinderamata yang bergambar air terjun gulingan.
Karena pengunjung lain mulai berdatangan dan suasana tidak lagi khidmat, kami naik lagi dan berbincang dengan pak penjaga. Mengenai mengemukanya obyek wisata ini, ia menjelaskan kalau baru satu tahun ini saja Gulingan mulai dikunjungi wisatawan. Opini kami, tak lain dan tak bukan penyebabnya adalah media sosial seperti instagram, facebook dan twitter yang memegang kunci merangkaknya popularitas Gulingan di khalayak. Dan baru-baru ini pula pihaknya bersama dengan kelompok sadar wisata dusun setempat mulai mengelola dan merawat Gulingan menjadi seperti sekarang ini. Kabarnya ada juga sebuah batu terowongan tidak jauh dari lokasi ini, dan gua Lawa serta gua Macan seperti yang tadi disebutkan di awal tulisan ini. Karena tertarik, kami pun bergegas menuju lokasi kedua.


Sebenarnya Gulingan tidak banyak berbeda dengan air terjun lainnya. Air yang jatuh dari ketinggian sekian, ditemani kabut embun dan gemercik air serta hijau tumbuhan di sekitarnya. Tapi tempat ini dengan telaten dijaga agar selaras dengan alam. Pembangunannya memperhatikan aspek keberlanjutan, entah dengan kesadaran para pengelolanya atau tidak. Kesan yang muncul justru kekuatan alam yang sangat kental, tanpa ada intervensi artifisial. Aku tidak berharap Gulingan dibangun dengan dilengkapi tangga semen dan pegangan dari besi. Tidak juga meratakan jalan tanah serta parkiran dengan paving blok. Aku berharap Gulingan masih seperti itu, yang berbatu, berpegangan kayu dan beratapkan kanopi pohon. Harmoni pembangunan yang bisa berjalan beriringan dengan alam inilah yang justru membuat Gulingan semakin memikat. Semoga demikian seterusnya. 

Tuesday, August 4, 2015

Kesah Pak Sampah

Kulitku dengan riang menyapa kembali hangat matahari Semarang siang ini. Senyum mentari begitu terang ketika aku menjelajahi tepi jalanan kota Lumpia ini. Bersamanya aku bergirang mengabdi pada alam, yang oleh kalian menjadi semakin runyam.

Aku yang hari ini masih sama dengan yang lalu dan yang dulu, yang menyusuri jalan dengan gerobak bauku. Kental lindi mengalir dari lubang kecil di sudut gerobak, menebarkan wewangian yang segera membikin mulas. Riuh kendaraan dan pandangan kosong menyesaki kota, melewatkan aku dan istri yang kugandeng mesra lewat gerobak di belakangku dari sibuk dan pentingnya mereka. Seperti hampanya udara, aku dilewati seperti tidak pernah terlihat. Hanya yang benar-benar bermata yang mampu mengindra bahwa aku ada. Aku penting dengan caraku sendiri, yang tidak kalian semua pahami.

Aku sudah abai dengan pandangan jijik, toh aku pula yang merawat apa yang dibuang. Jika bukan aku, siapa yang mau berkecimpung dengan sumpal hidung terhebat di muka bumi macam ini. Kemeja kumal ini seperti mengusik pandangmu, tapi apa daya hidupku berkutat dengan yang kotor? Hanya topi kusam ini pula yang menaungiku, menahanku dari pingsan dadakan karena sengatan siang.  Bacin popok anak-anak, minuman basi yang sudah entah berapa hari, nasi entah berapa kilo yang diluruhkan begitu saja tanpa teringat raut lapar si peminta kecil yang mengais di balik tembok istanamu.

Hanya, pernahkah terbersit sejenak berpikir apa yang kau buang? Bagaimana sampah seruah bisa berarti hidup sehari lagi bagi sanak sedarahmu? Sejenak, jadilah bijak. Bumi sudah makin runyam kau buat gegara sampah.


Menikmati Baladamu


Halaman yang sama, dengan tampilan yang sama persis seperti yang waktu itu pertama kali aku telusuri ketika ia menunjukkan sebuah akun media sosial yang menuntunku menuju laman daring yang satu ini. Warna latarnya merah muda menyala dengan semburat jingga dan kuning, menyiratkan coretan yang hendak ia torehkan di sebuah lembaran kehidupan yang sedang ia warnai. Membawaku pada ingatan yang sama dua bulan lalu, pada saat aku baru saja mengenalnya.

Di halaman yang sama pula, terkagum benar aku akan kata demi kata yang tertuang dari pikirannya. Sajak yang bertemu lagi dengan sajak, memerintah tak sadar jariku untuk terus menekan tombol ke bawah di papan ketik komputerku, meneruskan petualangan sastra dalam buai kata-katanya. Di bagian halaman dan atmosfer ini pula aku jatuh cinta pada indah kata sekaligus si otak penuh kharisma yang menelurkan lantunan balada warna dunia.

Ia yang masih muda mengajariku mengenai menjadi dewasa. Bertanggung jawab kembali pada ambisi dan kehidupanku yang sudah beberapa waktu bergelantungan di atap pengabaian, karena si empunya sibuk berkutat dengan kekonyolan semata. Menengok kembali cinta-cinta sejati yang sudah lama kupandang usang karena tidak mampu berwujud nyata di hadapan mata, tapi teraih jauh di ufuk sana. Membuka kembali mataku pada serakan mimpi yang tercecer, untuk kembali mengangkat dan menyatukannya lebih erat.

Ia yang datang ketika lemah jiwaku merundungku pada nafsu fana. Ia yang kalbunya mewarnai kanvas cinta, dan menghitamkannya dengan luka. Hanya aku saja yang dengan otak sependek galah, berkernyit kesal karena sedikit perih. Dan ketika aku memundurkan langkah, melebarkan cakrawala, aku melihat kanvas yang lebih indah dari yang pernah aku kuaskan. Aku yang lebih dewasa, aku yang membuka mata, aku yang kembali bergerak.

Terima kasih, balada warna dunia.

Saturday, August 1, 2015

Prosesi Rindu


 Aku percaya satu hal: ketika kita merindukan seseorang, entah bagaimana caranya, rindu itu akan tersampaikan.

Perkara rindu itu akan dikirim kembali atau tidak, kita akan tahu kemudian.

Karena seperti halnya makanan, tak semua mudah dicerna.

Ada yang segera, ada yang perlu waktu. Ada yang perlu waktu sebentar untuk mengendap, ada yang langsung mengalir.

Terima kasih.
Sepertinya kau mengerti...


Mbaleni Geni

Geni ne ki wis arep mati,
 wes arep ditinggal le ngebong, 
ngapa mbok gebyur lenga meneh? 

Yen genine mbulat, 
apa ya kowe iso ngatasi dewean? 
Rak ya ora to? 

Regetan e pancen durung entek, 
ning yen omahe kobong apa kowe ra nangis kapiran? 
Mikir.


Monday, July 13, 2015

Pengalaman: Nutrifood Leadership Award 2014

Hari itu Semarang masih terik seperti biasanya, matahari menyengat kuat. Aku sedang terduduk di kursi sebuah warung internet di kawasan Sampangan, kota Semarang. Sebagai mahasiswa semester 6, kegiatanku sekarang ini tidak lagi berorganisasi tapi memupuk prestasi yang selagi aku masih seorang mahasiswa bisa aku torehkan. Siapa tahu jadi catatan penting masa depanku nanti.

Pendaftaran untuk aktivitas dan pengalaman tak ternilai itu aku mulai dan dengan segera aku lupakan. Di laman daringnya, kegiatan ini mencantumkan penjelasan mengenai semacam pelatihan kepemimpinan yang memberi kesempatan bagi muda mudi berprestasi untuk berkumpul dan bersaing, juga berbagi inspirasi kepemimpinan. Yang sekiranya paling bermutu, nantinya akan dihadiahi sebuah kemudahan bagi masa depannya: sekolah pasca-sarjana gratis! Aku yang waktu itu sedang menggebu mengejar ilmu, tentu saja tidak bisa tidak bergeming begitu saja melihat formulir pendaftaran yang begitu mudah diisi dan menawarkan kenikmatan pendidikan di masa depan. Aku isi saja, siapa tahu iseng-iseng berhadiah aku lolos. Masih banyak yang lebih hebat, tapi bukan berarti aku tak bisa. Toh aku sudah buktikan mampu dan menang bersaing dengan banyak pihak di luar sana. Jadi kenapa tidak. Dan begitulah, aku daftar dan aku lupakan. Sama sekali.

Aku sudah kembali ke rutinitas dan tugas yang semakin menggunung di masa-masa akhir kuliahku dan pening akibat penelitian skripsi yang semakin dekat ketika aku terheran-heran membaca surel dari Nutrifood yang tepatnya berisi seperti di bawah ini. 
Saat itu bahkan aku sudah benar-benar lupa kalau aku pernah mendaftar untuk kegiatan yang satu ini. Agustus tahun 2014, aku sedang pusing dengan persiapan menuju penelitian untuk tugas akhir, persiapan untuk debat awal bulan September, begitu pula dengan Duta Museum yang segera di mulai. Agustus itu pula aku sedang menjalani program pengabdian masyarakat di sekitar kampusku. Aku hanya bisa melongo dan mengiyakan saja mengikuti program ini, toh ini program yang luar biasa menjanjikan, jadi kenapa tidak. Aku pikir, benar-benar sebuah keisengan yang berhadiah ternyata. Alhamdulillah.

Bergegas bersiap-siap, aku membalas surel ini dengan permohonan izin dari institusi penyelenggara terkait ketidakhadiranku di satu kelas, Politik Luar Negeri RI yang waktu itu dijadwalkan setiap hari sabtu. Aku pun menghubungi kakakku, bahwa nanti tanggal 20 September 2014 aku bisa sekadar berkunjung ke rumahnya sekalian untuk menghadiri kegiatan ini. Dokumen-dokumen pelengkap pun sudah aku persiapkan, mengingat ini kegiatan kepemimpinan yang mengadu prestasi, kepemimpinan dan mental pesertanya. Dan itu aku lakukan di tengah semua kegiatan, yang memang sibuk tapi begitu menyenangkan.

Membanggakan rasanya melihat daftar siapa saja yang lolos untuk acara itu. Orang-orang yang masuk dan bisa mengikuti kegiatan ini, adalah orang-orang terpilih yang dipertimbangkan dari segi prestasi, pengabdian masyarakat, dan wujud nyata karyanya bagi dunia. Aku benar-benar minder dan merasa rendah diri sebenarnya, dengan prestasiku yang sejatinya biasa saja. Tapi ada rasa bangga, ketika aku melihat bahwa aku adalah satu dari 40 orang berprestasi terpilih di kawasan Yogyakarta dan Jawa Tengah yang berhasil masuk untuk mengikuti kegiatan ini. Menurut kabar, bahkan ada sampai beberapa ribu orang yang diseleksi. Dalam hati, aku heran apa benar panitia seleksi tidak salah pilih. Hahaha.

Menjelang hari H, aku pun mematangkan persiapan. Aku berangkat bersama sahabatku, Umam, dengan kendaraannya dari Semarang sore hari, karena kami berdua banyak kegiatan di siang harinya. Sempat salah jalan, tapi akhirnya kami tiba di rumah kakakku tepat pukul 19.00 WIB. Tidak banyak malam itu yang kami lakukan, karena toh esok paginya aku dan Umam harus beraktivitas. Umam mau ke perpustakaan UGM, ujarnya, melanjutkan pencarian bahan penelitian untuk tugas akhirnya. 

Esok paginya, hari itu tiba juga. Aku sempat bingung ketika harus memarkirkan kendaraan yang aku kendarai menuju lokasi, tapi kemudian dibantu oleh pak satpam. Berjalan di lokasi, nyaman betul kuliah di UGM begini. Apalagi ketika sampai di gedung Pertamina lantai 6 tempat kegiatan ini akan dilaksanakan. Sudah banyak orang mengantri, dan tidak satu pun yang aku kenal. Hahaha tentu saja. Tapi aku tak merasa canggung, sok kenal sok deket dengan siapa pun yang dekat denganku. Aku berkenalan dengan Brian, mahasiswa jurusan Teknik Elektro UKSW Salatiga yang baru-baru ini aku ketahui berangkat ke Jerman, untuk mengikuti lomba robotik internasional! Juga shela, yang nantinya juga aku temui ketika di Duta Museum. Oh ya, Ovi yang model berbakat dan berprestasi. Ada pula Ryan yang dia ini mendirikan organisasi yang bergerak di bidang lingkungan, aku lupa namanya. Dan ketika masuk, duduk di sebelahku seorang mahasiswa tuan rumah, dari Ekonomi UGM yang jujur saja aku lupa siapa namanya. Belum mulai saja sudah menyenangkan begini.

Acara dimulai dengan dipandu si Mas Mas dari Nutrifood dengan perkenalan mengenai produk-produk mereka dan program serupa yang diadakan setiap tahun. Kami disambut oleh seorang desainer produk bernama pak Singgih yang karyanya sudah mendunia. Ia mendesain radio yang bahan pelindungnya terbuat dari kayu dan dengan desain yang ergonomis, proses yang ramah lingkungan dan efisien terhadap penggunaan energi (aku terdengar seperti agen pemasaran, ya?). Ceritanya apa? Inspirasi yang benar-benar menggugah mengenai bagaimana beliau memulai karir uniknya ini. Cibiran orang, kegagalan berulang kali, kesulitan yang dihadapi, tidak menjadi pengikis yang menghabiskan semangatnya untuk berkarya. Dan benar saja, apa yang diperjuangkannya kini menempatkan beliau sebagai salah satu desainer produk terbaik dunia. 

Bagian kedua acara ini, kami diperkenalkan satu persatu oleh pembawa acara! Sesuai urutan, kami kemudian berdiskusi mengenai pendapat kami terkait satu permasalahan tertentu. Di sinilah kemampuan kepemimpinan kami diuji. Malu sebetulnya, harus membeberkan prestasiku yang masih kalah jauh dengan mereka ini. Tapi decak kagum tetap saja keluar dari rekan-rekan hebatku itu, yang mereka masing-masing pun punya prestasi yang luar biasa. Memang semua yang ada di ruangan itu hari itu juga benar-benar luar biasa. Dan inspirasi serta motivasi yang datang dari mereka ini, rasanya tidak pernah berhenti mendorongku untuk terus berkarya dan terus berguna.

Di akhir acara, kami masih bertegur sapa dan bertukar kontak. Pertemanan ini bisa berlanjut kemana saja tentunya, dan aku pun orang yang suka berteman. Aku masih punya dan masih berhubungan dengan banyak di antara mereka. Senang rasanya punya teman-teman baru yang luar biasa.

Dari kegiatan ini, aku punya beberapa pelajaran luar biasa. Pertama, yang menjadi kualitas dari diri seseorang adalah apa yang ada di dalam dirinya, kita tidak pernah bisa meremehkan orang lain, siapa pun itu dan dari mana pun ia berasal. Aku ini dari universitas swasta yang bisa jadi belum seberapa populer di antara yang lain. Daftarnya di isi dengan mahasiswa dari universitas negeri maupun swasta berkelas di kawasan ini seperti UGM, Undip, UNS, Unsoed dan banyak lagi lainnya. Aku masih dari Universitas Wahid Hasyim yang umurnya saja waktu itu baru 13 tahun. Tapi, aku berhasil menembus dan mengalahkan banyak mahasiswa dari universitas terkemuka lainnya! Dan terlebih lagi, aku dengan apa yang aku perjuangkan ini sudah berhasil dihargai sebagai mahasiswa yang punya jiwa 'pemimpin'. Betapa membanggakan. 

Kedua, orang sukses itu jatuh bangunnya pun luar biasa. Pak Singgih itu misalnya, ia bukan orang berada yang punya harta untuk mendidiknya sampai sarjana. Ia orang desa yang sekadar mencari peruntungan kalau-kalau berhasil masuk di sebuah kampus negeri ternama bernama ITB. Modalnya hanya pensil dan ia bercerita bahwa ia banyak minder dari rekan yang ujian juga bersamanya karena pakaiannya yang nampak biasa saja bahkan kumal. Tapi ia berjuang, dan berjuang lagi menutup telinga ketika masyarakat mencibirnya dengan karyanya. Dan lagi dianggap sebagai pengangguran tak berguna karena tak kunjung bekerja di perusahaan terkemuka, seperti apa yang dipandang pantas oleh banyak orang. Yang membedakan adalah ia memulai dengan niat hebat yang jelas bermanfaat dan konsistensi yang jelas terjaga. Bahwa karyanya akan berguna, bahwa niatnya akan membuahkan hasil, dan dengan keyakinan yang kuat. Bahwa ia datang dengan jiwa memperbaiki kondisi diri dan orang di sekitarnya, tanpa rasa ragu sedikit pun. Maka seperti itulah yang akan didapatkan: hasil yang memuaskan. 

Ketiga, kesuksesan itu tidak sepantasnya membuat orang angkat kepala. Orang-orang yang sejatinya benar-benar sukses justru akan memahami bagaimana semua kejadian luar biasa itu bisa terjadi dan akan menunduk malu mengingat perjuangannya. Orang yang sudah berjuang mati-matian akan memahami bagaimana rasanya terantuk batu kegagalan entah berapa puluh, ratus bahkan ribu kali, tapi tetap tidak berhenti berjuang untuk apa yang ia yakini. Orang-orang ini akan lebih bijak melihat dunia, jadi lebih memahami hakikat segala sesuatu. Merunduk malu pula, karena tanpa kehadiran-Nya, semua usaha kerasnya mungkin akan sia-sia belaka. 

Dengan niat yang kuat untuk memberikan manfaat, konsistensi yang jelas terjaga dan kebijaksanaan tanpa kesombongan, atas nama Allah aku melangkah menuju masa depanku. Bismillah... 

Lawe in Pixels