Pagi yang aku sudah
nantikan akhirnya datang juga. Ini dia hari H yang aku rencanakan beberapa
minggu sebelum lebaran, yang berarti lebih dari sebulan yang lalu. Bergegas
keluar, hari ini langit Grobogan cerah betul. Semoga secerah ini pula
pengalaman hari ini.
Hari
ini menurut rencanaku adalah hari penjelajahan kecil ke Gulingan. Gulingan
adalah nama air terjun yang letaknya tak jauh dari rumah, hanya sekitar 6
kilometer. Bisa jadi karena aku enggan berangkat sendirian atau karena malu
jika berkunjung tanpa teman, aku memutuskan mengundang rekanku ke air terjun
yang baru beberapa waktu lalu populer itu. Aku dan seorang rekan bernama
Arvian, yang sekarang ini sedang belajar Budidaya Perikanan di Undip,
bersepakat meluangkan waktu kami hari ini, Sabtu 8 Agustus 2015 untuk menilik
lebih dekat seperti apa tempat wisata yang sempat menjadi buah bibir beberapa
waktu belakangan di dunia maya.
Sebenarnya
aku berjanji jam 06.30 berangkat dari rumahku di Grobogan ke rumah Arvian, yang
sebetulnya lebih dekat dengan lokasi air terjun di Desa Sedayu, Kecamatan
Grobogan. Rumah Arvian berada di Desa Menduran, Kecamatan Brati, yang lokasinya
justru menempel tepat di tepi kota Purwodadi. Jarak rumah kami sekitar 6
kilometer dan karena kebetulan Arvian punya kendala terkait transportasi, jadi
aku yang kali ini menjemputnya. Yah, kebiasaan jam karet memang tidak bisa
sepenuhnya lepas dariku, jadi ya maklum saja, aku baru berangkat jam 07.00 WIB
dan bertemu Arvian setengah jam berikutnya. Dari sinilah perjalanan kecil kami
dimulai.
Menjangkau
lokasi air terjun Gulingan tidaklah sesulit yang diperkirakan, meskipun
letaknya di kaki pegunungan Kendeng Utara. Dari kota Purwodadi, jaraknya
sekitar 15 kilometer ke arah utara mengikuti jalur utama menuju kabupaten Pati.
Jalan ini sudah dibeton rabat, meskipun beberapa titik masih dalam proses
betonisasi. Jalannya pun datar sampai di kota kecamatan Grobogan, kemudian
menanjak dengan beberapa kali turunan dan belokan tajam menuju kawasan
pegunungan. Jika dijangkau dari arah Pati, lokasi ini tidak jauh dari desa
Sumberjatipohon yang tepat berbatasan dengan kecamatan Sukolilo, kabupaten
Pati. Ketika memasuki desa Sumberjatipohon, coba pelankan kendaraan dan perhatikan
tanda petunjuk di sekitar atau lebih baik lagi bertanya kepada penduduk sekitar
mengenai lokasi Dusun Sandi ini.
Lokasi tikungan
pertigaan menuju ke Dusun Sandi, Desa Sedayu ini memang agak sulit dikenali.
Tikungan ini berjarak beberapa ratus meter sebelum jalan masuk menuju Gua Lawa
dan Gua Macan (dari arah Purwodadi), tempat wisata lain yang juga berada di
kawasan pegunungan Kendeng Utara. Pertigaan ini ditandai dengan tugu kecil di
ujung jalan, yang berada di tikungan tajam berbentuk L yang juga merupakan
tanjakan. Motorku sempat kewalahan mengangkat berat kami berdua ketika mulai
mendaratkan roda di jalan berbatu. Ya, jalan masuk menuju desa Sedayu ini
sedikit berbatu di ujungnya dan ada pos ojek di satu sisi. Karena sempat ragu,
kami pun bertanya kepada salah satu bapak ojek yang kebetulan sedang menunggu
pelanggan di pos. Ramah, mereka membenarkan bahwa jalan ini memang betul menuju
desa Sedayu. Kami pun melanjutkan.
Jalan
menuju lokasi pun layak dinikmati. Dari pertigaan tadi, jalan yang kami lalui
sudah sepenuhnya beton rabat dengan sambungan berupa jalan bebatuan di beberapa
titik. Meskipun jalanannya penuh tanjakan, turunan dan tikungan tajam, tapi
pemandangan sepanjang perjalanan betul-betul mengundang decak kagum. Lebar
jalan sekitar empat meter melewati pemukiman khas pedesaan kabupaten Grobogan
yang masih tradisional. Rumah di kanan kiri jalan sebagian besar dibangun dari
kayu dengan arsitektur lokal yang masih dijaga. Kami juga melewati ladang jagung
serta kebun jati milik warga. Suasananya memang kering, tapi kami disajikan
pandangan memikat di sebelah kiri, cakrawala yang membentang seolah tanpa
batas. Di sebelah kanan, pegunungan karst yang menjulang tidak terlalu tinggi,
tapi lebat dengan pepohonan jati.
Ada
setidaknya 2 tantangan yang harus dihadapi menuju lokasi air terjun: kendali
kendaraan dan pertemuan dengan persimpangan. Turunan dan tanjakan di sepanjang
jalan sangat menantang. Di beberapa tempat, motorku (yang memang sudah lapuk
dan tua) harus digenjot di gigi 1 agar kuat menahan berat kami melawan curamnya
jalan. Saat turunan pun tangan harus siap menggenggam rem, jadi rem kendaraan yang
sehat mutlak diperlukan.
Nah, selain itu
beberapa persimpangan dengan jalan yang juga sudah dibeton sempat membuat
bingung. Beberapa kali kami bertanya, penduduk hanya bilang masih terus saja. Tanda
menuju lokasi memang masih minim dan tidak cukup jelas, selain karena faktor
kesalahan kami yang sedang asyik ngobrol sepanjang jalan. Ketika kami terus
saja sampai di jalan berbatu dan terus saja sampai di tengah persawahan negeri
antah berantah, mulailah kami khawatir dengan arah perjalanan. Untungnya si
bapak yang sedang berkutat dengan pipa irigasi bersedia rehat sebentar
menunjukkan kami “jalan yang benar.” Memang sebenarnya kami hanya perlu
mengikuti jalan rabat beton yang sudah berkualitas itu.
Lokasi tempat
memarkirkan kendaraan berada di belakang pemukiman warga. Areal parkir ini
berada di kaki bukit tandus yang ditanami jati. Mas-mas parkir itu bilang kalau
masih ada perjalanan sekitar 20 menit menuju lokasi yang kami harus tempuh
dengan berjalan kaki. Kali ini musim kemarau dan sengatan matahari bisa jadi
sangat panas. Baiklah, memang sudah diperkirakan sebelumnya, untuk itulah kami
berangkat sepagi mungkin.
Jalan setapak menuju
air terjun memanjakan kami dengan cantiknya pegunungan karst khas Grobogan.
Tanah kapur ini kering dan penuh dengan bebatuan kapur/padas berwarna kuning
pucat yang keras dan berbutiran besar (ilmu yang aku dapat dari kuliah mekanika
tanah). Meskipun tidak cocok untuk lahan pertanian seperti tanah di pulau Jawa
pada umumnya, jenis tanah ini bagus untuk beberapa jenis tanaman seperti pohon
jati dan tanaman ladang seperti jagung. Dan memang awal perjalanan kami di
jalan setapak ini disambut dengan kebun jati milik Perhutani Grobogan. Tipikal
kebun jati yang kering ini bersebelahan dengan ladang jagung yang dibuat
terasering. Uniknya, tepian masing-masing petak yang menyusun terasering terbuat
dari batuan padas yang ditata sedemikian rupa sehingga membentuk petak-petak
ladang berundak yang menyelimuti bukit kering. Karena keringnya, jika
diperhatikan batuan padas ini tampak terbakar di bagian luar, namun tetap
berwarna putih kekuningan di bagian yang tidak terpapar sinar matahari.
Semakin menanjak,
atmosfer jalan setapak yang kami lalui semakin mempesona. Jalan setapak yang
menuntun kami ini berdampingan dengan jurang dalam di sebelah kanan dan bukit
di sebelah kirinya, serta hanya memiliki lebih kurang dan lebihnya dua meter. Panas
matahari pagi segera hilang oleh hembusan angin sepoi yang benar-benar
menyejukkan. Dalam diam, kami pun bisa merasakan hening suara alam. Dari jalan
setapak di lereng perbukitan terjal nan kering ini, kami bisa menyapukan
pandangan dengan lepas ke seluruh penjuru cakrawala yang membentang di sebelah
selatan. Langit seperti menyatu dengan bumi, entah di sebelah mana. Di kaki
langit, hanya ada hijau permadani hutan dan persawahan. Bernapas disini serasa
menghirup angin kebebasan.
Ketika mulai berkeringat,
kami tiba di bukit yang menyembunyikan lembah hijau di balik punggungnya.
Lembah ini tampak seperti anomali di tengah gersangnya lahan pertanian di
sekitarnya. Di satu tebing yang berada di ujung lembah inilah bersarang 3 air
terjun yang oleh warga disebut dengan nama Gulingan. Menuruni bukit, rupanya
jalan setapak sempit ini berujung pada gerbang kecil yang terbuat dari kayu,
dan terkunci. Kami tadinya bingung karena gembok gerbang ini masih terpasang
dan tentunya kami masih punya etika sopan santun. Tapi toh kami cari tak ada
satu pun penjaga yang menampakkan batang hidungnya, kami pun sudah sampai di
lokasi ini dengan jerih payah, maka kami putuskan untuk menerobos sela kecil di
samping kiri gerbang yang menggantung tepat di atas jurang. Et voi la, kami masuk di area wisata.
Aku menyebutnya firdaus
hehijauan yang tersembunyi di tengah gersangnya bukit kapur. Sampai di lokasi,
kami duduk di dipan bambu sederhana memandangi hamparan hijau di hadapan kami
sembari mengambil napas dan meneguk barang segelas. Tempat ini jelas sudah
ditata meskipun sederhana, ada gubuk kecil dari anyaman bambu di samping dipan
tempat kami duduk. Benar saja, selang beberapa menit kami tiba, kami disambut
si bapak yang kemudian membuka gembok gerbang yang tadi kami terobos. Duduk di
samping kami, bapak ini kemudian meminta maaf karena terlambat datang dan
didahului pengunjung (yaitu kami berdua).
Aku mulai berbincang
dengan bapak penjaga ini ketika Arvian berjalan turun menelusuri air terjun. Bapak
inilah yang menjaga sekaligus merawat lokasi wisata. Tak mahal, hanya perlu
membayar Rp 2.000,00 untuk kami berdua, yang artinya justru lebih murah dari
biaya parkir kendaraan kami tadi. “Untuk biaya perawatan, hanya sekadarnya”
ujar si Bapak menjelaskan. Rupanya kami datang di saat air memang sedang surut
pada musim kemarau bulan Agustus seperti ini. Bapak penjaga pun membenarkan,
mengingat sebagian air yang mengalir dari atas pun harus dialihkan untuk
mengairi ladang jagung milik beberapa warga. Sempat kecewa, namun kami belum
menyerah untuk menikmati si eksotik Gulingan ini.
Benar saja, atmosfer alam Gulingan yang tenang
memang benar memanjakan. Kami dihadapkan pada gagahnya 3 air terjun yang
mengalir menuju kolam di hadapan kami. Yang pertama dapat dilihat dari kejauhan
karena memang paling besar dan tidak tertutup pepohonan. Berlatar belakang endapan
kapur mengeras yang dibawa aliran air dari tanah karst, di depan air terjun
pertama terdapat sebuah jembatan kayu yang menghubungkan dua batu yang dibelah
aliran air membentuk air terjun kecil lain di bawahnya. Mendekati air terjun
kedua, rindang semakin terasa. Berhadapan dengan sebongkah batu besar serta
taman kecil tepat di depannya, airnya jatuh ke dalam sebuah kolam yang dialiri
sungai kecil dari air terjun pertama dan terhubung dengan kolam air terjun di
sebelahnya. Kami berlindung di bawah rindang pepohonan, disinari matahari yang
mengintip dari balik dedaunan.
Hening, ketika kami
menghayati ketenangan di Gulingan. Gemercik air menadakan lagu alam, musik yang
melantun merilekskan otak dari penat. Titik-titik air menyejukkan, dihembus
angin yang membelai lembut. Suara dedaunan yang bergesekan dan sayup-sayup
mentari yang malu menyapa. Pandangan kami pun lepas jauh ke ujung pemandangan,
menegaskan kebebasan. Ketika aku bersandar di bangku kayu, aku mulai terantuk
pelan, terhanyut sunyi dan damai. Tenang, ujar Arvian, yang memang aku akui
benar adanya.
Sejenak kami menikmati
sekadar duduk-duduk di taman buatan tangan pak penjaga ini. Tempat duduk yang
terbuat dari bambu, dahan salak dan papan kayu dibuat di sana sini menghadap
air terjun. Rasanya seperti sedang berada di dalam adegan film Tarzan di tengah
rimba belantara yang segala sesuatunya terbuat dari bahan alam. Semua
perlengkapan di sini terbuat dari kayu. Kami berbincang tentang absennya
perhatian pemerintah terhadap obyek wisata yang satu ini. Bukankah itu lebih
baik, setidaknya rasa tradisional dan tanpa sentuhan artifisial justru menjaga
syahdu bertahan di tempat ini. Tidak ada semen atau bata yang menutup tanah,
tidak ada perabotan plastik atau PVC, segala sesuatu yang sintetis. Semuanya
dibuat dari bahan alam yang bisa lapuk, highly
biodegradable, menurut istilah
pengelolaan lingkungan. Justru kealamian berbaur tradisional yang tanpa
sentuhan artifisial inilah yang menjadi daya tarik Gulingan yang tiada duanya.
Fasilitas di sini pun
lengkap dan dibuat hanya dengan bahan alam. Di balik pepohonan salak, ada satu
gazebo yang menggantung di puncak tebing dengan pemandangan menakjubkan. Tempat
ini terbuat dari anyaman bambu dan dinaungi dedaunan ini rupanya tempat sholat
bagi yang hendak menjalankan ibadah di lokasi. Di sudut yang agak gelap
terdapat sebuah bilik sederhana yang terlindung cukup rapat tempat pengunjung
mengganti pakaian. Bahkan di kedai yang tadi masih tutup, ada beberapa kaos
cinderamata yang bergambar air terjun gulingan.
Karena pengunjung lain
mulai berdatangan dan suasana tidak lagi khidmat, kami naik lagi dan berbincang
dengan pak penjaga. Mengenai mengemukanya obyek wisata ini, ia menjelaskan
kalau baru satu tahun ini saja Gulingan mulai dikunjungi wisatawan. Opini kami,
tak lain dan tak bukan penyebabnya adalah media sosial seperti instagram, facebook dan twitter yang
memegang kunci merangkaknya popularitas Gulingan di khalayak. Dan baru-baru ini
pula pihaknya bersama dengan kelompok sadar wisata dusun setempat mulai mengelola
dan merawat Gulingan menjadi seperti sekarang ini. Kabarnya ada juga sebuah
batu terowongan tidak jauh dari lokasi ini, dan gua Lawa serta gua Macan
seperti yang tadi disebutkan di awal tulisan ini. Karena tertarik, kami pun
bergegas menuju lokasi kedua.
Sebenarnya Gulingan
tidak banyak berbeda dengan air terjun lainnya. Air yang jatuh dari ketinggian
sekian, ditemani kabut embun dan gemercik air serta hijau tumbuhan di
sekitarnya. Tapi tempat ini dengan telaten dijaga agar selaras dengan alam.
Pembangunannya memperhatikan aspek keberlanjutan, entah dengan kesadaran para
pengelolanya atau tidak. Kesan yang muncul justru kekuatan alam yang sangat
kental, tanpa ada intervensi artifisial. Aku tidak berharap Gulingan dibangun
dengan dilengkapi tangga semen dan pegangan dari besi. Tidak juga meratakan
jalan tanah serta parkiran dengan paving blok. Aku berharap Gulingan masih
seperti itu, yang berbatu, berpegangan kayu dan beratapkan kanopi pohon. Harmoni
pembangunan yang bisa berjalan beriringan dengan alam inilah yang justru
membuat Gulingan semakin memikat. Semoga demikian seterusnya.